Pelaku Usaha Dinilai Belum Siap Hadapi AEC 2015

NERACA

Jakarta - Terbentuknya masyarakat ASEAN Economic Community (AEC) 2015 dinilai bisa menjadi peluang, namun juga ancaman. Bila masyarakat tidak siap, banyak hal termasuk pekerjaan yang direbut warga dari negara-negara ASEAN. Namun, di balik mempersiapkan menuju AEC timbul pertanyaan mengenai kesiapan setiap negara ASEAN dengan rencana perekonomian terintergrasi.

“Bahwa tantangan bagi Indonesia dalam AEC diantaranya adalah ketidaksiapan kebijakan ekonomi yang mendukung dan tenaga kerja serta pelaku dunia usaha tanah air yang belum siap bersaing dengan negara lain yang memiliki perekonomian yang lebih kuat dibanding Indonesia,” ujar Senior Lecture Sampoerna School of Business Bambang Irawan di Jakarta, Rabu (28/12).

Menurut Bambang, untuk terwujudnya AEC diharapkan posisi tawar ASEAN di perekonomian global menjadi lebih kuat serta ASEAN menjadi wilayah ekonomi yang stabil, makmur dan sangat kompetitif sehingga bisa menciptakan pemerataan pembangunan ekonomi dan mengurangi kesenjangan sosial ekonomi di tahun 2020.

“Diperlukan kajian ulang atas kesalahan yang dilakukan oleh Eropa, para pemimpin ASEAN sebaiknya meninjau kembali akan cita-cita mengarah seperti Amerika Serikat. Sebenarnya model Eropa tidak salah, namun terjadi kesalahan pada implementasi dan berdasarkan itu ASEAN harus belajar dan mengobservasi kesalahan tersebut agar tidak terjadi pada ASEAN,” kata Bambang.

Bambang Irawan juga menambahkan bahwa perlunya membawa anggota ASEAN ke dalam tahapan kemajuan ekonomi yang lebih seragam. Kesenjangan yang terlalu besar di antara perekonomian yang terlibat dalam proses intergrasi akan berdampak buruk terhadap kemajuan intergrasi itu sendiri. Untuk saat ini, sangatlah penting bagi anggota-anggota untuk mulai memfokuskan kebijakan ekonomi domestik masing-masing negara untuk mengurangi kesenjangan ekonomi di antara negara ASEAN. “Agar pada saat AEC terbentuk, tidak ada negara anggota yang menjadi beban negara anggota yang lain dan semua memberikan kontribusi positif bagi kemajuan ASEAN sebagai satu entitas,” tambahnya.

Menurut Bambang, meski Indonesia telah mengalami peningkatan peringkat investasi, Indonesia masih belum mapan secara infrastruktur dan kebijakan. Maka perlu diingatkan agar pemerintah tidak terlena dengan masih lamanya waktu penerapan. “Pemerintah masih harus melakukan pembenahan daya saing, logistik, tingkat suku bunga, dan harmonisasi regulasi yang saat ini masih minim. Sebab, mau tidak mau, investasi asing pasti bakal berdampak terhadap iklim usaha dalam negeri,” lanjutnya.

Perlu diketahui, ASEAN kini telah menjadi sebagai sumber terbesar masuknya dana investasi langsung ke berbagai negara. Pada 2008, ASEAN memegang posisi kedua sebagai sumber Foreign Direct Investment (FDI) di berbagai negara sebesar US$10.913 miliar. Posisi pertama dipegang oleh Uni Eropa 25 dengan FDI sebesar US$13.118 miliar.

Selain sumber FDI, ASEAN menjadi sumber mendapatkan pasokan impor dan area memasarkan produk. Ekspor nonmigas Indonesia menuju ASEAN tercatat sebesar US$27 miliar. Untuk periode Januari-Mei 2010 sebesar US$10,3 miliar. Angka itu meningkat menjadi US$13,8 miliar untuk periode Januari-Mei 2011.

Pelaku Usaha Khawatir

Di mata para pelaku usaha, pemberlakuan komunitas ekonomi ASEAN pada 2015 benar-benar mengkhawatirkan dari sisi ketidaksiapan menghadapi persaingan regional. Kasus mundurnya Research in Motion (RIM), produsen ponsel pintar Blackberry, yang urung membangun pabrik di Indonesia dan lebih memilih Malaysia sebagai basis produksinya menjadi contoh betapa AEC 2015 memberi kesempatan maha luas kepada pelaku industri regional melakukan ekspansi usahanya.

"Apalagi kalau AEC berlaku. Pabriknya bisa di mana saja, produknya masuk ke Indonesia dengan mudah mudah ke Indonesia," kata Wakil Ketua Umum Bidang Distribusi, Logistik, dan Perdagangan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Natsir Mansyur, di Jakarta, belum lama ini.

Menurut dia, penerapan AEC mewajibkan adanya liberalisasi perdagangan barang, jasa, investasi, tenaga kerja terampil, serta arus modal di kawasan Asia Tenggara. Alasannya, pilar utama AEC menyinggung adanya pasar tunggal dan berbasis produksi. Kondisi itu pula, lanjut Natsir, pada gilirannya memungkinkan mekanisme perdagangan bebas di kawasan ASEAN yang dengan sendirinya bakal membentuk jaringan produksi regional.

Dijelaskan Natsir, khusus mengenai liberalisasi perdagangan barang, Indonesia harus menyepakati ASEAN Trade in Goods Agreement (ATIGA). Di antaranya, pemberian fasilitas perdagangan, integrasi kepabeanan, penghapusan hambatan nontarif, penu-runan/penghapusan tarif, penggunaan surat keterangan asal (SKA), dan ASEAN Single Window.

BERITA TERKAIT

Tiga Asosiasi Hilir Sawit dan Forwatan Berbagi Kebaikan

NERACA Jakarta – Kegiatan promosi sawit dan bakti sosial diselenggarakan Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) bersama tiga asosiasi hilir sawit yaitu…

Hingga H+3 Pertamina Tambah 14,4 juta Tabung LPG 3 Kg

NERACA Malang – Selama Ramadhan hingga H+3 Idul Fitri 2024, Pertamina melalui anak usahanya, Pertamina Patra Niaga, telah menambah pasokan…

Pengembangan Industri Pengolahan Kopi Terus Dirorong

NERACA Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus mendorong perkembangan industri pengolahan kopi nasional. Hal ini untuk semakin mengoptimalkan potensi besar…

BERITA LAINNYA DI Industri

Tiga Asosiasi Hilir Sawit dan Forwatan Berbagi Kebaikan

NERACA Jakarta – Kegiatan promosi sawit dan bakti sosial diselenggarakan Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) bersama tiga asosiasi hilir sawit yaitu…

Hingga H+3 Pertamina Tambah 14,4 juta Tabung LPG 3 Kg

NERACA Malang – Selama Ramadhan hingga H+3 Idul Fitri 2024, Pertamina melalui anak usahanya, Pertamina Patra Niaga, telah menambah pasokan…

Pengembangan Industri Pengolahan Kopi Terus Dirorong

NERACA Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus mendorong perkembangan industri pengolahan kopi nasional. Hal ini untuk semakin mengoptimalkan potensi besar…