Fenomena Gelembung Saham

 

 

Oleh: Bhima Yudhistira Adhinegara

Peneliti INDEF

 

Banyak yang heran ketika suku bunga acuan AS atau Fed Rate naik pada pertengahan Maret lalu, ternyata kinerja saham dan rupiah justru positif. Bahkan dibanding rata-rata negara berkembang, indeks saham Indonesia terbilang paling hijau menembus level 5.500. Anomali ini sebelumnya berbeda dengan tahun 2016 lalu ketika Fed Rate naik, investor asing terbang keluar Indonesia mengakibatkan cadangan devisa terkuras US$3,5 miliar. Ternyata ada beberapa faktor yang membuat kinerja IHSG terus menorehkan rekor baru. Salah satunya yaitu spekulasi para investor terkait kenaikan peringkat surat utang Indonesia menjadi investment grade atau layak investasi dari Standard & Poor’s (S&P).

Pekan lalu memang terjadi pembicaraan cukup intens antara S&P dengan Kementerian bidang Perekonomian. Topik pembahasan berkisar kondisi fiskal Indonesia. Masalahnya S&P merupakan lembaga rating yang lebih konservatif dibanding Fitch dan Moody’s. Tahun lalu, investor juga bertaruh di pasar jika S&P meng-upgrade rating, nyatanya hal tersebut tidak terjadi kendati Pemerintah telah menuruti rekomendasi lembaga rating itu untuk memangkas subsidi BBM.

Kemungkinan besar meskipun beban subsidi berkurang, timbul beban baru yaitu penerimaan Negara yang anjlok akibat pelemahan ekonomi. Disini letak posisi hati-hati S&P. Maklum paska tax amnesty yang meraup Rp100 triliun lebih, Pemerintah belum menyiapkan senjata baru untuk mendongkrak pajak. Wajar kemudian realisasi pajak diprediksi hanya mencapai 80-85% dari target di tahun 2017. Oleh karena itu benar bahwa peningkatan rating investasi Indonesia masih berada ditataran spekulasi.

Jadi sangat jelas bahwa kinerja saham yang terbilang tinggi masih diliputi risiko profit taking yang dilakukan para spekulan. Kinerja emiten yang berkaitan dengan komoditas juga tidak bisa selalu diharapkan meningkat. Harga komoditas yang diprediksi naik ternyata dalam beberapa minggu terakhir cenderung menurun. Hal ini terlihat dari kegagalan OPEC dalam melakukan pengendalian produksi minyak setelah AS mengumumkan kenaikan cadangan yang besar. Harga minyak yang turun dipastikan akan menyeret komoditas lain seperti CPO, dan batu-bara.

Indikator lain dari kenaikan temporer bursa saham adalah kinerja ekonomi Indonesia yang belum menentu. Ekspor masih membukukan kinerja negatif, outlook ke depan belum stabil. China sebagai negara utama tujuan ekspor masih melambat, dibuktikan dari pesimisme Pemerintah China yang akhirnya memotong target pertumbuhan menjadi 6,5%. Selain itu tantangan paling berbahaya bagi sektor keuangan adalah inflasi yang diprediksi tembus 4,5%. Inflasi akan menggerus daya beli dan mengakibatkan konsumsi masyarakat tumbuh dibawah target. Jadi jangan terburu-buru menyimpulkan bahwa tingginya IHSG merupakan cerminan kondisi fundamental yang membaik. Semoga ini bukan bubble atau gelembung saham.

 

BERITA TERKAIT

Investasi Emas Pasca Lebaran

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Usai lebaran Idul Fitri 1445 H masyarakat Indonesia mulai menjalankan aktifitas kembali seperti biasanya…

Tantangan APBN Paska Pemilu

   Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Pemilu untuk Presiden dan Wakil Presiden, serta DPR, DPD…

Kebijakan Satu Peta

 Oleh: Susiwijono Moegiarso Plt. Deputi Bidang Koordinasi Pengembangan Wilayah dan Tata Ruang Kemenko Perekonomian Percepatan pelaksanaan Kebijakan Satu Peta atau…

BERITA LAINNYA DI

Investasi Emas Pasca Lebaran

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Usai lebaran Idul Fitri 1445 H masyarakat Indonesia mulai menjalankan aktifitas kembali seperti biasanya…

Tantangan APBN Paska Pemilu

   Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Pemilu untuk Presiden dan Wakil Presiden, serta DPR, DPD…

Kebijakan Satu Peta

 Oleh: Susiwijono Moegiarso Plt. Deputi Bidang Koordinasi Pengembangan Wilayah dan Tata Ruang Kemenko Perekonomian Percepatan pelaksanaan Kebijakan Satu Peta atau…