Korupsi dan Rusaknya Representasi Politik

Oleh: Umbu TW Pariangu, Dosen FISIP Universitas Nusa Cendana

Kasus suap KTP elektronik (KTP-el) hari-hari ini membuat elite politik tak bisa tidur nyenyak. Mereka di antaranya adalah anggota DPR yang sebagian besar berasal dari hampir semua fraksi 2009-2014, sebagaimana terungkap dalam sidang kasus pengadaan KTP-el  di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Kamis (9/3).

Pertemuan-pertemuan terselubung dalam rapat pembahasan proyek KTP-el sejak 2010 dan adanya pengembalian uang yang diterima para penerima suap sekitar Rp 30 miliar, membuktikan upaya menangguk rente dari proyek besar itu sengaja didesain. Pola memburu rente secara kolektif dengan melibatkan elite parpol yang memiliki jaringan internal dengan kekuasaan membuat pola korupsi itu seakan berlindung di balik katup pengaman politik.

Asumsi bahwa parpol menjadi kekuatan predator yang menciptakan lingkaran rente-transaksional, bukanlah berlebihan. Parpol membutuhkan suplai dana untuk memperkuat kemampuan finansial di tengah praktik demokrasi yang kian mahal.

Biaya operasional politik pilkada dan pemilu yang mahal dan berinsting pasar membuat parpol harus banting tulang menjaga daya tahan finansialnya, termasuk menjadikan kader yang dikirim di Senayan sebagai sarana menyedot rezeki politik sebesar-sebesarnya.

Biasanya pola curang seperti ini terproteksi dan dapat berlangsung secara terus-menerus (likely to endure) karena ditopang kekuatan patron yang menjadi tameng atau katup pengamannya baik secara material maupun pengaruh politis. Ini tentu saja kian memperkuat tesis patrimonial oligarchy state-nya Robison & Hadiz (2004) dan Nathan Quimpo (2005), di mana ada kekuatan-kekuatan politik oligarki yang besar yang mengendalikan permainan bisnis untuk memperoleh keuntungan ekonomi-politis.

Mereka, kekuatan oligarki itu, hidup dari ekosistem parasit seperti itu sekaligus membangun mekanisme pertahanan diri antara lain misalnya dengan mencoba mendikte dan memengaruhi institusi hukum.

Berdasarkan pantauan ICW sepanjang 2016, rata-rata vonis yang diterima terdakwa korupsi hanya 2 tahun 2 bulan, menunjukkan lembaga peradilan kita sedang ‘masuk angin’ dan tak serius menjerat koruptor. Ada pun pelaku kasus besar lain seperti BLBI dan Century, pun sampai kini tak disentuh. Jika ditarik ke garis politik-hukum, kemungkinan ini disebabkan ada intervensi kekuatan politis terhadap hukum.

Statemen Ketua KPK kepada media bahwa jika nama-nama besar pelaku suap KTP-el diungkap kemungkinan akan berefek pada stabilitas politik.  Namun, sesungguhnya hal itu sangat diinginkan oleh para oligar karena hal itu dapat dijadikan sebagai senjata untuk mengintimidasi publik, agar kasus itu bisa dikompromikan.

Padahal, kesimpulan tersebut selain prematur, juga mengada-ada, karena jika ‘nama-nama besar’ itu berhasil diusut, yang terjadi justru publik dan negara diuntungkan. Negara akan diselamatkan oleh praktik pencurian berdasi itu dan menjadi preseden positif untuk pejabat-pejabat negara yang kini sedang merancang aksi korupnya dengan agenda-agenda perampokan yang mungkin jauh lebih besar.

Agent-Principal

Mega skandal e-KTP jika dibaca dalam konteks politik (parpol) tadi, menunjukkan bahwa penguatan politik representasi selama ini mengalami kerusakan meski demokrasi langsung di Indonesia sudah dilaksanakan sejak 2004. Kalau meminjam teori Jose Maria Maravall (1999), yakni the agency theory, maka para politisi atau parpol dapat disebut sebagai agen sedangkan rakyat pemilih disebut the principal. Hubungan keduanya simbiosis mutualisme: agen membutuhkan dukungan, sedangkan the principal membutuhkan saluran untuk memperjuangkan kepentingannya.

Dalam pemilu, agen (politisi) bisa dipilih oleh the principal (konstituen/rakyat) jika ia dinilai mampu menjalankan program yang dijanjikan, sebaliknya jika gagal tidak akan dipilih lagi. Konsekuensi rasionalnya, politisi akan berusaha sekeras mungkin menjalankan program terbaiknya untuk bisa dipilih oleh rakyat.

Namun kenyataan, pola relasi agent-principal itu tidak berjalan karena keputusan pencalonan mereka di pemilu ditentukan oleh partai (berdasarkan faktor material, kedekatan subjektivitas, dan sebagainya), bukan oleh rakyat itu sendiri. Akibatnya politisi kita tidak takut jika tidak dipilih rakyat karena nasib politiknya ditentukan parpol.

Maka tak heran, banyak politisi korup yang bisa menjabat wakil rakyat dan kepala daerah berulang kali meski kinerja bobrok. Maka restorasi politik kepartaian harus dimulai dari kaderisasi dan rekrutmen yang transparan sehingga regenerasi politik di parlemen dan eksekutif dapat berjalan menurut azas meritokrasi bukan karena transaksional-predatif. (www.kontan.co.id)                   

 

BERITA TERKAIT

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…

BERITA LAINNYA DI Opini

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…