Presiden Minta Revisi UU TKI Segera Diselesaikan

 

 

 

NERACA

 

Jakarta - Presiden Joko Widodo meminta revisi Undang-Undang Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) diselesaikan lebih cepat sehingga menghasilkan model pelayanan yang terpadu dan terintegrasi. Hal itu disampaikanh Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Nusron Wahid di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (20/3). "Presiden sudah arahkan supaya cepat diselesaikan dan model layanannya ke depan harus terpadu dan terintegrasi," kata Nusron setelah dipanggil Presiden Jokowi.

Ia menambahkan, revisi UU tersebut harus memungkinkan siapapun yang pergi ke luar negeri terlayani dengan mudah dan tercatat. Selama ini, kata dia, TKI yang bekerja di "sea base" termasuk anak buah kapal (ABK) juga belum pernah tercatat dalam data BNP2TKI. "Selama ini dilayani oleh Kemenhub, ini kan tidak terekam dan tercatat," katanya.

Oleh karena itulah, Presiden Jokowi mengharapkan revisi UU Perlindungan TKI segera diselesaikan sekaligus untuk tujuan memperkuat posisi perlindungan TKI. "Untuk memperkuat posisi perlindungan TKI, mempermudah proses dengan dilayani badan layanan yang terpadu dan terintegrasi," katanya.

Dalam revisi UU tersebut ditambahkan kewenangan BNP2TKI dalam hal pelayanan terpadu satu pintu. "Selama ini kan sebagian di Kemenaker, sebagian di Kemenhub. Ini nanti murni kementerian menjadi regulator, kemudian badan ini operator layanan tapi koordinasi dan tanggung jawab ke Presiden, tapi juga koordinasi melaporkan garis komandonya kepada Menaker," katanya. Nusron mengharapkan revisi bisa rampung dalam masa sidang periode tahun ini.

Sementara itu, Kementerian Tenaga Kerja mengaku telah mengirimkan daftar inventarisasi masalah revisi Undang-undang No. 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri ke DPR. Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri mengatakan daftar inventarisasi masalah (DIM) tersebut dikirimkan setelah menyelesaikan perbaikan substansi. Hal tersebut disampaikan usai menemui Presiden Joko Widodo.

"Intinya dari Presiden, pemerintah sangat berkomitmen terhadap penyelesaian revisi UU ini untuk meningkatkan perlindungan TKI," kata Hanif. Selain penyerahan DIM kepada DPR, lanjutnya, permasalahan yang dibahas adalah menyangkut kelembagaan atau badan sebagai pelaksana penempatan. Badan tersebut nantinya akan tetap ada, tetapi‎ tidak diperlukan dewan pengawas yang berisiko membuat rumit.

Selanjutnya, pembentukan badan tersebut akan diserahkan melalui peraturan pemerintah atau peraturan Presiden.‎ Kelonggaran tersebut akan membuat pemerintah menjadi fleksibel saat menjalin mitra dengan beberapa negara. "Kalau UU terlalu detil malah menghambat kerja sama dan tidak melindungi TKI kita," ujarnya. Hanif menuturkan badan tersebut akan diatur secara khusus oleh pemerintah, peranan undang-undang hanya bersifat normatif. Kewenangan badan tersebut tetap di bawah pemerintah. "Kita menunggu DPR saja, akan diselesaikan secepatnya," katanya.

Sementara itu, Jaringan Buruh Migran Indonesia (JBMI) menuntut DPR untuk melibatkan buruh dalam setiap pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. “Jangan bicara tentang kami tanpa kami karena kami buruh bukan budak,” kata Koordinator JBMI di Hong Kong & Macau, Sringatin.

Ia mengatakan proses revisi beleid tersebut tidak pernah melalui proses musyawarah dan dialog terbuka dengan berbagai organisasi buruh migran dan lembaga pendukungnya. Tidak hanya revisi tersebut, namun buruh migran juga tidak dilibatkan dalam pembahasan aturan lainnya termasuk moratorium dan program roadmap 2017 yang disebut dapat melindungi dan menyelesaikan persoalan buruh migran.

Menurut Sringatin, banyak peraturan dan terobosan yang diciptakan pemerintah namun tidak ada satu pun yang terbukti dapat memecahkan persoalan buruh migran. “Karena bagi pemerintah Indonesia, hakikatnya buruh migran hanyalah objek yang tidak punya hak menentukan nasibnya sendiri dan hanya dijadikan sumber pendapatan devisa negara,” kata dia.

Sringatin berharap keterlibatan buruh migran bisa membuat pemerintah tidak lagi memperlakukan buruh migran sebagai objek pembangunan, sumber pendapatan devisa negara dan solusi singkat untuk mengatasi kemiskinan. Ia pun menuntut revisi beleid harus mengakui dan menjamin hak dasar buruh migran sebagai pekerja dan anggota keluarganya seperti yang tertulis di dalam Konvensi PBB 1990, Konvensi ILO 188 dan 189.

BERITA TERKAIT

Pemerintah Komitmen Percepat Pengembangan Ekonomi Digital

    NERACA Jakarta – Pemerintah berkomitmen mempercepat pengembangan ekonomi digital sebagai pilar strategis transformasi Indonesia. Hal tersebut disampaikan oleh…

Sumber Daya Air Jadi Prioritas Pembangunan IKN

  NERACA Jakarta – Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menyebutkan sektor sumber daya air (SDA) dan infrastrukturnya menjadi…

Tingkat Kepatuhan DHE SDA Cukup Baik

  NERACA Jakarta – Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan, tingkat kepatuhan (compliance) untuk devisa hasil ekspor sumber daya alam (DHE…

BERITA LAINNYA DI Ekonomi Makro

UU DKJ, Masa Depan Jakarta Dijadikan Pusat Perdagangan Global

UU DKJ, Masa Depan Jakarta Dijadikan Pusat Perdagangan Global NERACA Jakarta - Lahirnya undang-undang tentang Daerah Khusus Jakarta (UU DKJ)…

Pemerintah akan Bentuk Tim Proyek Kereta Cepat Jakarta " Surabaya

  NERACA Jakarta – Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan segera membentuk tim untuk proyek kereta…

Surplus Neraca Perdagangan Terus Berlanjut

  NERACA Jakarta – Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada Maret 2024, Indonesia kembali surplus sebesar 4,47 miliar dolar AS,…