Inflasi Jadi Ancaman

Pada tahun lalu, ekonomi Indonesia hanya mampu tumbuh 5,02%. Pencapaian itu meleset hingga 1,8% dari target APBN-P 2016. Padahal, struktur pertumbuhan 2016 itu tidak jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Artinya, motor pertumbuhan ekonomi masih mengandalkan komponen yang sama, yaitu sebagian besar berasal dari kontribusi konsumsi rumah tangga (sisi permintaan) dan tetap bertumpu pada industri manufaktur dari sisi penawarannya.

Tidak hanya itu. Pencapaian pertumbuhan ekonomi sepanjang 2016 tidaklah signifikan. Bahkan, elastisitas pertumbuhan ekonomi terhadap penyerapan tenaga kerja, yang menjadi ukuran pertumbuhan berkualitas, malah menurun. Lihat saja penyerapan tenaga kerja lewat investasi langsung terhadap pertumbuhan ekonomi, bahwa 1% pertumbuhan ekonomi hanya menyerap 277.000 tenaga kerja. Ini berarti kinerja pencapaian turun dari 299.000 orang pada 2015.

Sebelumnya World Economix Forum (WEF) mengumumkan kondisi inklusivitas ekonomi Indonesia berada di ke-22 dari 78 negara berkembang yang disurvei. Tiga indikator yang menentukan peringkat tersebut adalah pertumbuhan dan pembangunan, inklusivitas, keadilan, dan keberlanjutan antargenerasi. Untuk indikator yang sama, posisi Thailand menduduki peringkat 12; Malaysia (16); Vietnam (25) dan Filipina di urutan ke-40.

Nah, untuk meningkatkan kedalaman pertumbuhan ekonomi, maka pemerintah perlu menjaga daya beli masyarakat. Ini digambarkan oleh pergerakan inflasi rendah dan stabil. Saat inflasi terkelola dengan baik, maka seluruh komponen penyusun pertumbuhan berpartisipasi maksimal. Tetapi persoalannya, belakangan ini ada kecenderungan inflasi bergerak liar. Mengapa?

Karena dampak inflasi terhadap perekonomian tergambar dari pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Di mana saat inflasi tinggi, maka pertumbuhan konsumsi rumah tangga akan melambat dan peranannya terhadap PDB cenderung menurun. Kita melihat tekanan terhadap inflasi produsen sangat terkait dengan biaya produksi, terutama pada bahan baku hingga kebijakan pemerintah di bidang perdagangan. Di sektor industri pengolahan, inflasi produsen sangat terkait dengan stabilitas nilai tukar rupiah terhadap US$. Ini disebabkan kebutuhan bahan baku/penolong industri masih dipenuhi dari impor.

Data BPS mengungkapkan, impor bahan baku/penolong mencapai 70% dari total impor. Komponen "bahan pasokan, olahan untuk industri" berkontribusi hingga 49,74% terhadap total impor bahan baku dan bahan penolong. Artinya, industri nasional akan terus rentan terhadap gejolak nilai tukar, yang berpengaruh terhadap biaya produksi dan inflasi produsen.

Tidak hanya itu. Inflasi juga memengaruhi bisnis sektor keuangan. Sebagai lembaga yang mengelola dana masyarakat, maka bank harus memberikan imbal hasil atas dana simpanan masyarakat. Imbal hasil ini menjadi kompensasi terhadap opportunity dana nasabah yang ditempatkan di lembaga keuangan, yang seharusnya dapat diinvestasikan ke produk lainnya (price of capital).

Saat inflasi meningkat, maka nilai mata riil mata uang terhadap barang dan jasa akan menurun. Sehingga, lembaga keuangan harus menaikkan suku bunganya untuk menahan, agar simpanan masyarakat tidak berpindah ke investasi lain  seperti saham atau emas. Namun demikian, lonjakan inflasi yang terus memengaruhi suku bunga akan berdampak buruk terhadap realisasi kredit dan investasi. Sehingga, berpengaruh terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi.

Jelas, bahwa pengaruh inflasi bukan hanya terhenti pada erosi daya beli masyarakat, tetapi juga berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, persoalan inflasi harus menjadi target kebijakan otoritas moneter dan fiskal. Meski dalam UU No 23/1999 tentang Bank Indonesia disebutkan bahwa inflasi menjadi urusan BI, nyatanya sumber inflasi nasional lebih bergerak pada sisi penawaran (cost push inflation).  Padahal dalam praktiknya,  BI hanya menyasar inflasi sisi permintaan (demand pull inflation). Fakta yang ada, inflasi nasional lebih dipengaruhi sisi penawaran, yang disebabkan oleh masalah ketersediaan bahan makanan, distribusi, infrastruktur, dan ketersediaan energi.

Mengingat sumber inflasi dari sisi penawaran, maka kekuatan pemerintah daerah menjadi penentu tercapainya target inflasi. Salah satu langkah penting adalah menjaga laju konversi lahan pertanian menjadi lahan nonpertanian. Sehingga, produksi pangan tetap terjaga, minimal untuk memenuhi kebutuhan daerah produsen. Untuk itu, pemerintah daerah sudah sepatutnya harus menjaga dan mengawal rencana tata ruang wilayah (RTWR). Semoga!

BERITA TERKAIT

Optimalisasi Pangan

Harga pangan di sejumlah wilayah Indonesia mengalami kenaikan dalam beberapa waktu terakhir, terlebih menjelang Ramadhan dan Lebaran Idul Fitri. Tidak…

Momentum Jalin Persatuan

Pasca pemilihan umum, bulan Ramadhan menyajikan momentum yang berharga bagi masyarakat untuk menyatukan diri. Meskipun perbedaan politik mungkin telah menimbulkan…

Kota Netral Karbon Idaman

Adalah Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN) menjanjikan Nusantara sebagai kota netral karbon pertama di Indonesia. Bahkan OIKN juga mengklaim bahwa…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Optimalisasi Pangan

Harga pangan di sejumlah wilayah Indonesia mengalami kenaikan dalam beberapa waktu terakhir, terlebih menjelang Ramadhan dan Lebaran Idul Fitri. Tidak…

Momentum Jalin Persatuan

Pasca pemilihan umum, bulan Ramadhan menyajikan momentum yang berharga bagi masyarakat untuk menyatukan diri. Meskipun perbedaan politik mungkin telah menimbulkan…

Kota Netral Karbon Idaman

Adalah Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN) menjanjikan Nusantara sebagai kota netral karbon pertama di Indonesia. Bahkan OIKN juga mengklaim bahwa…