Simalakama SUN

Pemerintah Indonesia belakangan ini sering menerbitkan obligasi yang lazim dikenal dengan Surat Utang Negara (SUN), dimana sekarang sudah menjadi salah satu instrumen bagi pemerintah dalam rangka menutup defisit APBN. Awal mula penerbitan SUN dimulai ketika pemerintah dulu pernah menerbitkan obligasi rekapitalisasi (rekap bonds) pada 1999 kemudian disusul dimulainya perdagangan recapbonds di pasar sekunder pada tahun 2000.

Saat itu kondisi penurunan tingkat suku bunga sangat mendukung perkembangan pasar utang. Alhasil, nilai rekap bonds yang diperdagangkan di pasar sekunder tumbuh pesat dari Rp 31,6 triliun pada tahun 2000, melesat menjadi Rp 648,3 triliun di akhir tahun 2008. Untuk mendukung perkembangan SUN,  pemerintah kemudian mengeluarkan UU No. 24/2002 soal aturan main SUN.

Selanjutnya perkembangan SUN terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Penerbitan SUN pada 2009 mencapai Rp128 triliun, namun pada tahun 2014 penerbitan SUN melonjak 128% menjadi Rp352 triliun. Performa SUN di pasar sekunder juga tidak kalah menariknya. Berdasarkan data Indonesia Bond Price Agency (IBPA)  sepanjang Februari 2016 SUN ORI seri 012 diperdagangkan hingga 3.516 kali dengan nilai perdagangan mencapai Rp 12,77 triliun.

Tingginya penerbitan SUN dan nilai transaksinya tidak terlepas dari faktor internal dan faktor eksternal dalam berinvestasi. Faktor internal terkait dengan kebijakan dalam negeri seperti fundamental makroekonomi, stabilitas makroekonomi reformasi dan penurunan defisit fiskal. Sementara faktor eksternal dipengaruhi resesi atu perlambatan tingkat pertumbuhan, tingkat suku bunga, terutama di Amerika Serikat dan beberapa negara maju lainnya (IMF, 2010).

Menarik menyimak tingkat suku bunga apalagi beberapa waktu lalu BI telah menurunkan suku bunga acuannya (BI Rate) hingga ke level 6,75%. Dalam khasanah teoritis, penurunan BI Rate akan mendorong penurunan selisih antara suku bunga di Indonesia dengan suku bunga di luar negeri. Dengan menurunnya selisih suku bunga seharusnya mendorong investor asing untuk menarik modalnya dari instrumen-instrumen keuangan di Indonesia dan memindahkan ke negara dengan suku bunga yang lebih tinggi.

Realitanya justru berbanding terbalik. Ketika BI Rate turun, pasar obligasi di tanah air justru masih bergairah. Ini dapat terlihat dari tolok ukur kinerja pasar obligasi domestik (Indonesia Composite Bond Index) sejak 14 hingga 16 Maret 2016 yang mencatatkan return positif sebesar 7,5%. Selain itu, hingga 5 April 2016 secara year to date rata-rata obligasi pemerintah naik 6,69% hingga diikuti dengan kurva yield obligasi yang kompak bergerak bullish (positif).

Keadaan ini bisa terjadi karena imbal hasil (yield) obligasi di Indonesia yang masih tergolong paling tinggi bahkan dibandingkan negara-negara emerging market di kawasan Asia. Yield obligasi Indonesia sampai dengan maret mencapai 7,16%, angka ini lebih tinggi dari yield obligasi Malaysia (3,8%), Thailand (1,7%), China (2,8%), Singapura (2,1%). Pesaing terdekat Indonesia adalah Vietnam dengan imbal hasil obligasi 6,8%.

Tingginya minat investor kepada SUN tentu merupakan kabar baik tidak hanya untuk perkembangan pasar obligasi di Indonesia namun juga kepada pembiayaan fiskal. Seperti yang sudah disinggung  sebelumnya, SUN telah menjadi bagian penting dalam pembiayaan fiskal. Apalagi pada APBN tahun ini belanja pemerintah yang mencapai Rp 2.095 triliun hanya mampu ditutupi oleh pendapatan negara sebesar Rp 1.882 triliun. Defisit anggaran ini salah satunya dapat ditutupi dengan menerbitkan  SUN.

Meski demikian, pemerintah juga harus dihadapkan pada dilema ketika menerbitkan SUN. Banyaknya peminat SUN tidak terlalu baik untuk perkembangan pasar obligasi swasta. Selama periode 2015 jumlah volume perdagangan obligasi pemerintah rata-rata mencapai US$ 1360 miliar, sementara obligasi swasta ‘hanya’ US$ 408 miliar. Kondisi ini sedikit banyak menggambarkan relatif sepinya perdagangan obligasi swasta. Hal ini akhirnya mendorong pihak swasta untuk mencari alternatif pembiayaan lain seperti utang dari luar negeri.

Disamping itu Aliran investasi di SUN pada gilirannya akan menyebabkan apresiasi nilai tukar rupiah. Apresiasi rupiah mengakibatkan harga barang impor menjadi lebih murah dan harga barang ekspor di luar negeri menjadi lebih mahal kondisi pada ujungnya berpotensi melemahkan daya saing ekspor.

Selain itu jangan lupakan juga risiko pembiayaan obligasi yang tahun ini juga masih akan sangat tinggi  sebagai akibat dari pasar keuangan global yang volatile. Risiko ini tentu akan berpengaruh terhadap pengelolaan fiskal. Dalam mencegah terjadinya volatilitas di pasar SUN, sempat muncul wacana tobin tax. Pajak ini dimaksudkan untuk membatasi lalu lintas dana asing atau hot money yang terlalu cepat di pasar modal maupun di pasar obligasi.

Namun sebelum diterapkan, wacana ini perlu dikaji lebih dalam, sehingga pajak ini tidak menjadi disinsentif dan ditafsirkan secara negatif bagi pelaku pasar keuangan. Perlu diperhatikan juga apabila tobin tax hanya dikenakan di Indonesia dan tidak diikuti oleh negara-negara lainnya, tentu potensi pelarian modal dari Indonesia ke negara lain akan semakin besar.

Dilema SUN bukannya tanpa solusi. Kunci penyelesaiannya terletak pada koordinasi otoritas moneter dan fiskal dalam menyusun kebijakan. Otoritas fiskal perlu memikirkan cara agar yield SUN tidak berada pada level yang terlalu tinggi. Tujuannya agar obligasi swasta berada di level yang lebih kompetitif ketika bersaing dengan SUN. Salah satu langkah yang dapat dipertimbangkan adalah dengan menerbitkan obligasi dengan tenor jangka pendek (kajian CORE Indonesia,2016). Dengan langkah ini diharapkan imbal hasil SUN dapat terkerek turun dan berujung pada berkembangnya pasar obligasi swasta di Indonesia. Semoga!

 

BERITA TERKAIT

Sinergitas Lintas Sektoral

Dalam upaya menjaga Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Kamtibmas), serta untuk menciptakan situasi dan kondisi di wilayah agar tetap dalam keadaan…

Optimalisasi Pangan

Harga pangan di sejumlah wilayah Indonesia mengalami kenaikan dalam beberapa waktu terakhir, terlebih menjelang Ramadhan dan Lebaran Idul Fitri. Tidak…

Momentum Jalin Persatuan

Pasca pemilihan umum, bulan Ramadhan menyajikan momentum yang berharga bagi masyarakat untuk menyatukan diri. Meskipun perbedaan politik mungkin telah menimbulkan…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Sinergitas Lintas Sektoral

Dalam upaya menjaga Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Kamtibmas), serta untuk menciptakan situasi dan kondisi di wilayah agar tetap dalam keadaan…

Optimalisasi Pangan

Harga pangan di sejumlah wilayah Indonesia mengalami kenaikan dalam beberapa waktu terakhir, terlebih menjelang Ramadhan dan Lebaran Idul Fitri. Tidak…

Momentum Jalin Persatuan

Pasca pemilihan umum, bulan Ramadhan menyajikan momentum yang berharga bagi masyarakat untuk menyatukan diri. Meskipun perbedaan politik mungkin telah menimbulkan…