Perbaiki Ketimpangan Ekonomi!

Menyimak data Oxfam (2017), saat ini kekayaan kolektif dari empat orang terkaya di Indonesia sekitar US$25 miliar atau setara Rp335 triliun melampaui total kekayaan 40% penduduk termiskin yaitu sekitar 100 juta orang. Tingginya pengangguran dan kemiskinan dipastikan merupakan penyebab utama dari masalah gizi buruk dan rendahnya kualitas SDM yang terus menghantui negeri ini. Penderita gizi buruk kronis jika tidak segera ditolong, fisiknya akan lemah, mudah sakit, dan perkembangan otaknya terganggu.

Dengan demikian tentu akan melahirkan generasi yang lemah, kurang cerdas, dan inovatif. Selain rendahnya kualitas sistem pendidikan dan belum terwujudnya masyarakat meritokrasi, gizi buruk dan rendahnya status kesehatan mayoritas rakyat Indonesia akibat kemiskinan telah menyebabkan produktivitas dan kapasitas inovasi bangsa Indonesia berada di bawah kondisi bangsa di dunia.

Di kawasan ASEAN, produktivitas tenaga kerja Indonesia hanya setara dengan US$9.200/tahun. Sementara itu, produktivitas tertinggi diraih Singapura sekitar US$92.000/tahun, diikuti oleh Malaysia (US$33.000/tahun). Rata-rata produktivitas tenaga kerja di tingkat ASEAN sebesar US$10.700/tahun. Kapasitas inovasi bangsa Indonesia hanya berada di peringkat 97 dari 141 negara yang disurvei.

Sebagai perbandingan, Singapura menempati peringkat 7, Malaysia ke-32, Thailand ke-55, Brunei Darussalam ke-62, Filipina ke- 83, dan Kamboja ke-83 (Cornel University, INSEAD danWipo, 2015). Bila buruknya kualitas SDM dan rendahnya kapasitas inovasi akibat pengangguran dan kemiskinan yang masif itu tidak segera diperbaiki, maka peluang kita untuk dapat mengapitalisasi bonus demografi pada 2020-2032 bakal hilang percuma. Alih-alih, Indonesia bakal terjebak terus sebagai negara berpendapatan menengah (middle-income trap ),yang berarti sulit naik kelas menjadi negara yang maju dan sejahtera.  

Adalah sangat tepat Presiden Jokowi pada Rapat Kabinet Terbatas 7 Februari memutuskan bahwa pemerintah akan memprioritaskan upaya mengurangi ketimpangan ekonomi. Komitmen pemerintah ini ditegaskan kembali oleh Presiden Jokowi ketika dalam pidato sambutannya di acara pembukaan Tanwir Muhammadiyah di Ambon pada 24 Februari, yang mengusung tema “Kedaulatan dan Kesenjangan Sosial Menuju Indonesia yang Berkemajuan”.

Secara garis besar, kebijakan tersebut meliputi: reformasi agraria (land reform) dan redistribusi aset; peningkatan kesempatan berusaha bagi rakyat miskin untuk bisa hidup sejahtera, dan (3) peningkatan kapasitas SDM. Secara umum, tiga kebijakan itu sudah baik. Namun, masih ada sejumlah kelemahan yang bisa mengganjal, bahkan menggagalkannya. Supaya sukses, perlu penajaman ketiga kebijakan itu sehingga lebih operasional dan mencapai tujuannya. Selain itu perlu penambahan substansi dan cakupan kebijakan.

Pertama, tiga paket kebijakan pemerintah itu jelas hanya menyasar warga negara miskin yang berwirausaha alias bekerja untuk dirinya sendiri. Padahal, dengan UMR tertinggi hanya Rp3,3 juta/bulan (di DKI Jakarta) dan besaran serta struktur gaji PNS seperti sekarang, rakyat Indonesia yang miskin itu juga banyak yang profesi sebagai PNS, pegawai swasta nasional atau multinasional, pegawai koperasi atau UMKM, pembantu rumah tangga, atau pegiat LSM.

Pasalnya, berdasarkan pada garis kemiskinan versi Bank Dunia yaitu minimal US$2/ orang/hari atau US$60/ orang/ bulan, maka seorang tenaga PNS atau profesi lainnya digolongkan sudah sejahtera bila pendapatannya minimal Rp4 juta/bulan. Bagi pemerintah dan BUMN mestinya tidak sulit untuk meningkatkan gaji terendah bagi PNS dan karyawan BUMN sebesar Rp4 juta/bulan bagi yang sudah berkeluarga dan Rp2 juta/bulan bagi yang masih lajang.

Karena banyak sekali dana APBN/APBD yang digunakan dengan efisien, efektif, dan produktif atau dikorupsi. Pada masa pemerintahan Orde Baru, tingkat korupsi itu diperkirakan sekitar 30% dari total APBN. Pada masa reformasi, malah lebih parah, sekitar 45%. Artinya, uang negara yang dikorupsi atau digunakan secara tidak efisien ini sejatinya cukup untuk membuat seluruh PNS dan karyawan BUMN hidup sejahtera secara berkeadilan.

Namun, hingga sekarang Indonesia masih berstatus sebagai negara berkembang berpendapatan-menengah bawah dengan PDB per kapita US$4.200 (Bank Dunia, 2017), dan kapasitas Iptek hanya di kelas-3 (UNESCO, 2016). Padahal, suatu negara bisa dinobatkan sebagai negara maju dan makmur berada dengan kondisi PDB per kapitanya di atas US$11.750.

Karena itu, saatnya para pengusaha besar harus meningkatkan gaji semua karyawannya secara berkeadilan, dan membayar pajak lebih besar dan patuh sesuai ketentuan yang berlaku. Pajak ini sangat penting, sebab berkontribusi sekitar 85% dari total pendapatan negara, dan diperlukan untuk pembangunan infrastruktur, peningkatan pelayanan kesehatan dan pendidikan, dan keperluan pembangunan lainnya.

Selanjutnya, sejalan dengan agenda pemerintah melakukan reformasi birokrasi dan revolusi mental di kalangan pemerintahan, gaji PNS dengan golongan yang lebih tinggi dan pejabat tinggi negara sudah saatnya ditingkatkan. Selain peningkatan gaji, juga secara simultan harus dilakukan rewards and punishment serta penegakan hukum yang keras, tegas, dan adil; serta keteladanan dari atasan, mulai dari presiden, menteri, anggota DPR, kepala daerah sampai kepala desa. Semoga!

BERITA TERKAIT

Sinergitas Lintas Sektoral

Dalam upaya menjaga Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Kamtibmas), serta untuk menciptakan situasi dan kondisi di wilayah agar tetap dalam keadaan…

Optimalisasi Pangan

Harga pangan di sejumlah wilayah Indonesia mengalami kenaikan dalam beberapa waktu terakhir, terlebih menjelang Ramadhan dan Lebaran Idul Fitri. Tidak…

Momentum Jalin Persatuan

Pasca pemilihan umum, bulan Ramadhan menyajikan momentum yang berharga bagi masyarakat untuk menyatukan diri. Meskipun perbedaan politik mungkin telah menimbulkan…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Sinergitas Lintas Sektoral

Dalam upaya menjaga Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Kamtibmas), serta untuk menciptakan situasi dan kondisi di wilayah agar tetap dalam keadaan…

Optimalisasi Pangan

Harga pangan di sejumlah wilayah Indonesia mengalami kenaikan dalam beberapa waktu terakhir, terlebih menjelang Ramadhan dan Lebaran Idul Fitri. Tidak…

Momentum Jalin Persatuan

Pasca pemilihan umum, bulan Ramadhan menyajikan momentum yang berharga bagi masyarakat untuk menyatukan diri. Meskipun perbedaan politik mungkin telah menimbulkan…