Surat Teguran Dinas Perumahan DKI - Bukti Pejabat Tidak Kuasai Masalah Rusun

Surat Teguran Dinas Perumahan DKI

Bukti Pejabat Tidak Kuasai Masalah Rusun

NERACA

Jakarta - Surat Teguran Dinas Perumahan dan Gedung Pemda Pemprov DKI Jakarta kepada para pengurus Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS) dan pelaku pembangunan selaku Pengelola Sementara Rumah Susun (Rusun) di wilayah Provinsi DKI Jakarta, akhir tahun lalu, menuai kritik dari Ketua Lembaga Kajian Hukum Properti Indonesia (LKHPI) Erwin Kallo.

Menurut Erwin, Surat Teguran yang ditandatangani langsung oleh Kepala Dinas Perumahan dan Gedung Pemda DKI Jakarta Drs. Arifin, M.AP., membuat masalah pengelola rumah susun di DKI Jakarta semakin runyam, di tengah belum diterbitkannya peraturan pelaksana (PP) dari Undang-Undang No 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun.

Ada dua point sensitif yang dimasuki oleh Dinas Perumahan DKI, yang sebenarnya masih dalam perdebatan, yaitu masalah kuasa untuk menghadiri rapat-rapat PPPSRS dan pemilihan pengurus dengan satu nama satu suara (one name one vote). Dinas telah menafsirkan secara keliru,” ungkap Erwin, di Jakarta, kemarin.

Jelasnya, Surat Teguran itu menyatakan, bahwa dalam hal pemberian suara pemilihan pengurus PPPSRS, hak suara untuk memilih dan dipilih hanya dimiliki oleh pemilik dan tidak dapat dikuasakan kepada penghuni, kecuali kepada anggota keluarga yang tercatat dalam Kartu Keluarga (KK) sebagaimana tertuang dalam Keputusan Menteri Perumahan Rakyat Nomor 06/KPTS/BKP4N/1995. Adapun hak suara yang digunakan dalam proses pemilihan pengurus PPPSRS adalah dengan satu nama satu suara (one name one vote).

Erwin menyanyangkan dikeluarkannya surat tersebut yang terkesan terburu-buru dan tanpa melalui kajian mendalam.“Ini membuktikan pejabat Dinas Perumahan DKI, tidak menguasai masalah rumah susun,” ujarnya.

Property lawyer ini menduga, Dinas Perumahan dan Gedung Pemda DKI Jakarta mendapatkan masukan yang tidak berimbang. Harusnya juga mendengarkan pendapat pelaku pembangunan dan pihak-pihak lain sebelum mengeluarkan surat tersebut.

Terkait dengan materi surat itu, Erwin Kallo mengatakan, surat yang dikeluarkan Dinas Perumahan dan Gedung Pemda DKI Jakarta itu tidak sesuai dengan aturan hukum. Dia mempersoalan jenis suratnya kategori teguran. Padahal dalam kasus ini tidak ada yang dilanggar, karena perhimpunan itu seperti RT/RW, yaitu tata kehidupan orang bermasyarakat yang merupakan ranah hukum privat.

Selanjutnya, kata Erwin, Surat Teguran ini mengacu kepada Kepmenpera Nomor 6/KPTS/BKP4N/1995 yang substansinya bertolak belakang dengan isi surat itu. Di Kepmenpera tersebut tidak mengatakan one name one vote untuk pemilihan pengurus perhimpunan, tetapi berdasarkan NPP (Nilai Perbandingan Proporsional).

Hak Suara Pemilikan dan Hak Suara Pengelolaan yang dipakai adalah NPP yang ada di sertifikat. Kalau itu hak, maka harus seimbang dengan kewajiban. Kewajibannya harus membayar service charge. Hak suara one name one vote, itu ada dalam hal penghunian saja,” tegas Erwin.

Sebenarnya, lanjut Erwin, dalam Kepmenpera itu sangat jelas dan rinci, sehingga tidak perlu ditafsirkan, termasuk pemilihan pengurus memakai hak suara pemilikan, yaitu NPP bukan one name one vote.“Surat ini fatal, karena merunjuk Kepmenpera 1995, tapi isinya tidak,” katanya menyayangkan.

Erwin pun mengingatkan, agar Dinas perumahan dan Gedung Pemda DKI Jakarta berhati-hati dan teliti dalam mengatur ranah terkaitan dengan hukum privat. Karena di situ ada asas hukum pacta sunt servanda, bahwa kesepakatan adalah undang-undang yang mengikat bagi yang membuatnya. Artinya undang-undang ini masuk kategori lex spesialis.

Faktanya undang-undang dan peraturan lain yang bersifat imperatif atau tidak memiliki sanksi pidana itu bisa diabaikan oleh para pihak berdasarkan kesepakatan. Asas kebebasan berkontrak yang juga punya kedudukan hukum yang kuat,” pungkasnya.

Oleh sebab itu, kata Erwin, tidak ada peraturan yang melarang sebuah perusahaan memberikan surat kuasa kepada karyawannya. Jangankan karyawan, pembantu rumah tangga juga boleh diberi kuasa.

Kuasa itu adalah kehendak pemberi kuasa. Orang menikah saja bisa pakai kuasa. Di pengadilan sendiri bisa pakai kuasa. Apa urusannya menghadiri suatu acara tidak bisa pakai kuasa. Surat Teguran ini sangat subyektif dan emosional. Subyektif karena misinya mengatakan hak suara sebuah institusi atau perusahaan harus dibatasi, karena punya banyak unit sehingga dia akan menang terus,” kata Erwin

Terkait dengan surat teguran ini, kepada pelaku pembangunan dan pengurus PPPSRS, Erwin mengatakan, ada dua sikap yang bisa diambil. Pertama, mereka somasi mengajukan tuntutan hukum yaitu perbuatan melawan hukum. Atau kedua, diamkan saja, tunggu setelah terguran itu apa?

Akar permasalahan dari pengelolaan rumah susun di Indonesia ini, imbuh Erwin, adalah belum adanya aturan teknis pelaksanaannya (PP). Yang ada sekarang undang-undang baru, tetapi peraturan teknisnya yang lama, yang tidak semuanya cocok. Inilah yang sering menimbulkan beda tafsir di dalam praktik pelaksanaan pengelolaan rumah susun.

Saya tidak tahu mengapa pemerintah begitu lama menyelesaikan pekerjaan sepenting ini? Anda harus tanya ke mereka. Tetapi asumsi saya, mereka sendiri belum yakin tentang apa filosofi dari rumah susun. Secara teori, yang membedakan bangunan rumah susun itu dengan bangunan lain adalah sistem kepemilikannya. Sedangkan undang-undang yang baru, filosofinya sudah bergeser. Saya tidak tahu, mengapa sudah 3 menteri yang mengurus PP ini tidak jadi-jadi juga,” katanya dengan nada heran. Mohar

 

BERITA TERKAIT

Grab Raih Sertifikat Kepatuhan Persaingan Usaha

NERACA Jakarta - Grab Indonesia menjadi perusahaan berbasis teknologi pertama penerima sertifikat penetapan program kepatuhan persaingan usaha menurut Komisi Pengawas…

KPK: Anggota Dewan Harus Mewariskan Budaya Antikorupsi

NERACA Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron mengatakan anggota dewan harus mewariskan budaya antikorupsi. “Tantangan terbesar…

KPPU: Skema Denda di UU Cipta Kerja Guna Beri Efek Jera

NERACA Jakarta - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengatakan skema denda yang diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) bertujuan…

BERITA LAINNYA DI Hukum Bisnis

Grab Raih Sertifikat Kepatuhan Persaingan Usaha

NERACA Jakarta - Grab Indonesia menjadi perusahaan berbasis teknologi pertama penerima sertifikat penetapan program kepatuhan persaingan usaha menurut Komisi Pengawas…

KPK: Anggota Dewan Harus Mewariskan Budaya Antikorupsi

NERACA Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron mengatakan anggota dewan harus mewariskan budaya antikorupsi. “Tantangan terbesar…

KPPU: Skema Denda di UU Cipta Kerja Guna Beri Efek Jera

NERACA Jakarta - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengatakan skema denda yang diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) bertujuan…