Masalah Kesenjangan Sosial

Masalah Kesenjangan Sosial
Di tengah maraknya pembangunan berbagai infrastruktur di dalam negeri saat ini, persoalan kesenjangan ekonomi terus menerus menjadi persoalan bangsa setiap waktu.  Data BPS yang merilis adanya perbaikan ketimpangan Indonesia per September 2016, tampaknya merupakan penurunan rasio gini yang masih bersifat semu. Artinya,  belum menggambarkan perbaikan kesenjangan riil yang sebenarnya. Ada tiga indikator yang mendukung pernyataan di atas yaitu metode pengukuran ketimpangan itu sendiri, besaran perubahan rasio gini serta perubahan distribusi pengeluaran rumah tangga dalam lima tahun terakhir.
Rasio gini yang digunakan BPS dalam mengukur kesenjangan umumnya menggunakan pengeluaran sebagai indikator, bukan penghasilan. Analoginya adalah dalam satu perusahaan dan pabrik terdapat pemilik pabrik dan pekerja. Penghasilan pegawai berada pada kisaran upah minimum Rp 3 juta per bulan, sedangkan pemilik pabrik bisa berlipat ganda, mungkin 100 kali sehingga total pemasukan pengusaha mencapai Rp 300 juta.
Pertanyaannya sekarang, apakah penghasilan pengusaha itu dalam sebulan akan dihabiskan semua? Pasti tidak.  Dapat diasumsikan maksimal 10 kali upah minimum karyawan yakni sebesar Rp 30 juta/bulan. Pengeluaran tersebutlah yang dijadikan sebagai dasar perhitungan rasio gini oleh BPS. Nah, jelas dipastikan bias, karena ada perbedaan rentang pengukuran dari nilai Rp 3 juta-Rp 300 juta ketimbang dengan Rp 3 juta-Rp 30 juta.
Lalu indikator berikutnya yang bisa digunakan untuk mendukung pernyataan bahwa perbaikan indikator ketimpangan itu semu, adalah besaran perubahan angka rasio gini. Berdasarkan rilis BPS awal Februari 2017 menyatakan, pada September 2016 tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur rasio gini tercatat 0,394.
Angka itu menurun 0,003 poin dibanding rasio gini Maret 2016 sebesar 0,397. Sementara jika dibandingkan rasio gini September 2015 yang sebesar 0,402, rasio gini September 2016 turun 0,008 poin. Bagi BPS, publikasi angka itu lebih rigid dan belum pernah dilakukan dalam periode sebelumnya.
Sebelumnya, BPS menampilkan angka rasio gini dengan 2 angka di belakang koma. Sehingga apabila menggunakan 2 angka di belakang koma, rasio gini Indonesia Maret dan September 2016 masih 0,39. Mungkin agar ada pesan yang bisa disampaikan ke khalayak bahwa penurunan angka ketimpangan nyata adanya.
Selanjutnya, pemerintah mengklaim penurunan gini rasio itu menunjukkan bahwa program yang bersinggungan langsung dengan masyarakat mulai menunjukkan hasil. Bappenas mengklaim program 40% penduduk berpengeluaran rendah sudah menunjukkan hasil melalui dana desa, PKH (program keluarga harapan), kartu pintar dan  kartu sehat. Benarkah demikian? 
Jika menyimak rata-rata pertumbuhan konsumsi penduduk 40% dengan pengeluaran rendah September 2013-September 2016 (yoy) sebesar 4,1% per tahun. Rentang perhitungan ini didasari pada mulai menurunnya share pengeluaran 20% penduduk berpengeluaran tinggi yang turun dari 49,04% di Maret 2013 menjadi 48,50% di September 2013, bahkan hingga September 2016, share itu terus menurun.
Di sisi lain, pertumbuhan konsumsi 40% penduduk berpengeluaran sedang (sebagian dari kelas menengah kita) sebesar 5,4% per tahun (September 2013-September 2016). Pertumbuhan itu merupakan pertumbuhan tertinggi dibanding dengan kelompok pengeluaran lainnya (40% pengeluaran rendah dan 20% pengeluaran tinggi).
Sedangkan pertumbuhan 20% penduduk berpengeluaran tinggi tumbuh rata-rata 2,5%/tahun. Berdasarkan hasil perhitungan itu, klaim pemerintah bisa dibenarkan. Namun demikian, bisa dipastikan perbaikan angka rasio gini lebih dipengaruhi oleh perlambatan pertumbuhan konsumsi 20% penduduk berpengeluaran tinggi.
Kita melihat pemerintah terus mengusahakan kebijakan selain kebijakan transfer cash yang saat ini diklaim sebagai salah satu sebab perbaikan angka rasio gini, meskipun kecil. Kebijakan itu adalah kebijakan yang mampu menambah nisbah output pembangunan ekonomi (PDB) yang bisa dinikmati oleh penduduk 40% berpendapatan rendah. Barulah penambahan pendapatan bagi 40% penduduk berpengeluaran rendah menjadi penurunan tingkat ketimpangan yang tidak semu.
Kebijakan tersebut adalah industrialisasi pertanian, peningkatan akses pelayanan dasar bagi 40% penduduk berpengeluaran rendah, peningkatan skill tenaga kerja, akses modal dan kesempatan yang sama.  Industrialisasi pertanian di sini maksudnya lebih kepada peningkatan value added sektor pertanian dengan mengusahakan kegiatan on farm pada skala ekonomi yang optimum. 
Kebijakan berikutnya adalah peningkatan akses pelayanan dasar bagi 40% penduduk berpengeluaran rendah, berupa akses terhadap pendidikan dan kesehatan gratis. Akses pelayanan dasar tersebut menjadi sebab produktifnya manusia. Bagi 40% penduduk berpengeluaran rendah akan menjadikan mereka memiliki peluang untuk lebih produktif dan meningkatkan penghasilan mereka.
Akses pelayanan dasar itu harus dibarengi dengan kebijakan peningkatan skill. Bagi mereka yang mampu menyelesaikan pendidikan setingkat SMU/SMK, maka pelatihan peningkatan skill menjadi penting agar lulusan SMU/SMK menjadi lebih kompetitif dan berdaya saing dan peluang untuk mendapatkan pekerjaan lebih baik terbuka lebar. Juga pemberian akses modal menjadi penting bagi 40% penduduk berpengeluaran rendah. Semoga!

Di tengah maraknya pembangunan berbagai infrastruktur di dalam negeri saat ini, persoalan kesenjangan ekonomi terus menerus menjadi persoalan bangsa setiap waktu.  Data BPS yang merilis adanya perbaikan ketimpangan Indonesia per September 2016, tampaknya merupakan penurunan rasio gini yang masih bersifat semu. Artinya, belum menggambarkan perbaikan kesenjangan riil yang sebenarnya. Ada tiga indikator yang mendukung pernyataan di atas yaitu metode pengukuran ketimpangan itu sendiri, besaran perubahan rasio gini serta perubahan distribusi pengeluaran rumah tangga dalam lima tahun terakhir.

Rasio gini yang digunakan BPS dalam mengukur kesenjangan umumnya menggunakan pengeluaran sebagai indikator, bukan penghasilan. Analoginya adalah dalam satu perusahaan dan pabrik terdapat pemilik pabrik dan pekerja. Penghasilan pegawai berada pada kisaran upah minimum Rp 3 juta per bulan, sedangkan pemilik pabrik bisa berlipat ganda, mungkin 100 kali sehingga total pemasukan pengusaha mencapai Rp 300 juta.

Pertanyaannya sekarang, apakah penghasilan pengusaha itu dalam sebulan akan dihabiskan semua? Pasti tidak.  

Karena dapat diasumsikan maksimal 10 kali upah minimum karyawan yakni sebesar Rp 30 juta/bulan. Pengeluaran tersebutlah yang dijadikan sebagai dasar perhitungan rasio gini oleh BPS. Nah, jelas dipastikan bias, karena ada perbedaan rentang pengukuran dari nilai Rp 3 juta-Rp 300 juta ketimbang dengan Rp 3 juta-Rp 30 juta.

Lalu indikator berikutnya yang bisa digunakan untuk mendukung pernyataan bahwa perbaikan indikator ketimpangan itu semu, adalah besaran perubahan angka rasio gini. Berdasarkan rilis BPS awal Februari 2017 menyatakan, pada September 2016 tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur rasio gini tercatat 0,394.

Angka itu menurun 0,003 poin dibanding rasio gini Maret 2016 sebesar 0,397. Sementara jika dibandingkan rasio gini September 2015 yang sebesar 0,402, rasio gini September 2016 turun 0,008 poin. Bagi BPS, publikasi angka itu lebih rigid dan belum pernah dilakukan dalam periode sebelumnya.

Sebelumnya, BPS menampilkan angka rasio gini dengan 2 angka di belakang koma. Sehingga apabila menggunakan dua angka di belakang koma, rasio gini Indonesia Maret dan September 2016 masih 0,39. Mungkin agar ada pesan yang bisa disampaikan ke khalayak bahwa penurunan angka ketimpangan nyata adanya.

Selanjutnya, pemerintah mengklaim penurunan gini rasio itu menunjukkan bahwa program yang bersinggungan langsung dengan masyarakat mulai menunjukkan hasil. Bappenas mengklaim program 40% penduduk berpengeluaran rendah sudah menunjukkan hasil melalui dana desa, PKH (program keluarga harapan), kartu pintar dan  kartu sehat. Benarkah demikian? 

Jika menyimak rata-rata pertumbuhan konsumsi penduduk 40% dengan pengeluaran rendah September 2013-September 2016 (yoy) sebesar 4,1% per tahun. Rentang perhitungan ini didasari pada mulai menurunnya share pengeluaran 20% penduduk berpengeluaran tinggi yang turun dari 49,04% di Maret 2013 menjadi 48,50% di September 2013, bahkan hingga September 2016, share itu terus menurun.

Di sisi lain, pertumbuhan konsumsi 40% penduduk berpengeluaran sedang (sebagian dari kelas menengah kita) sebesar 5,4% per tahun (September 2013-September 2016). Pertumbuhan itu merupakan pertumbuhan tertinggi dibanding dengan kelompok pengeluaran lainnya (40% pengeluaran rendah dan 20% pengeluaran tinggi).

Sedangkan pertumbuhan 20% penduduk berpengeluaran tinggi tumbuh rata-rata 2,5%/tahun. Berdasarkan hasil perhitungan itu, klaim pemerintah bisa dibenarkan. Namun demikian, bisa dipastikan perbaikan angka rasio gini lebih dipengaruhi oleh perlambatan pertumbuhan konsumsi 20% penduduk berpengeluaran tinggi.

Kita melihat pemerintah terus mengusahakan kebijakan selain kebijakan transfer cash yang saat ini diklaim sebagai salah satu sebab perbaikan angka rasio gini, meskipun kecil. Kebijakan itu adalah kebijakan yang mampu menambah nisbah output pembangunan ekonomi (PDB) yang bisa dinikmati oleh penduduk 40% berpendapatan rendah. Barulah penambahan pendapatan bagi 40% penduduk berpengeluaran rendah menjadi penurunan tingkat ketimpangan yang tidak semu.

Kebijakan tersebut adalah industrialisasi pertanian, peningkatan akses pelayanan dasar bagi 40% penduduk berpengeluaran rendah, peningkatan skill tenaga kerja, akses modal dan kesempatan yang sama.  Industrialisasi pertanian di sini maksudnya lebih kepada peningkatan value added sektor pertanian dengan mengusahakan kegiatan on farm pada skala ekonomi yang optimum. 

Kebijakan berikutnya adalah peningkatan akses pelayanan dasar bagi 40% penduduk berpengeluaran rendah, berupa akses terhadap pendidikan dan kesehatan gratis. Akses pelayanan dasar tersebut menjadi sebab produktifnya manusia. Bagi 40% penduduk berpengeluaran rendah akan menjadikan mereka memiliki peluang untuk lebih produktif dan meningkatkan penghasilan mereka.

Akses pelayanan dasar itu harus dibarengi dengan kebijakan peningkatan skill. Bagi mereka yang mampu menyelesaikan pendidikan setingkat SMU/SMK, maka pelatihan peningkatan skill menjadi penting agar lulusan SMU/SMK menjadi lebih kompetitif dan berdaya saing dan peluang untuk mendapatkan pekerjaan lebih baik terbuka lebar. Juga pemberian akses modal menjadi penting bagi 40% penduduk berpengeluaran rendah. Semoga!

BERITA TERKAIT

Cegah Dampak El Nino

Ancaman El Nino di negeri belakangan ini semakin kentara, apalagi data BPS mengungkapkan sektor pertanian saat ini hanya berkontribusi sekitar…

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…

IKN Magnet Investasi

  Eksistensi UU Cipta Kerja dinilai cukup strategis dalam memajukan perekonomian Indonesia. UU Cipta Kerja akan menjadi salah satu regulasi…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Cegah Dampak El Nino

Ancaman El Nino di negeri belakangan ini semakin kentara, apalagi data BPS mengungkapkan sektor pertanian saat ini hanya berkontribusi sekitar…

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…

IKN Magnet Investasi

  Eksistensi UU Cipta Kerja dinilai cukup strategis dalam memajukan perekonomian Indonesia. UU Cipta Kerja akan menjadi salah satu regulasi…