Penyegaran ala Tim Pansel OJK

 

 

Oleh: Bhima Yudhistira Adhinegara

Peneliti INDEF

 

Tahap kedua seleksi dewan komisioner OJK menyisakan 35 nama yang menjadi teka teki. Seluruh calon dari internal OJK termasuk ketua dewan komisioner incumbent tidak lolos seleksi. Tim Panitia Seleksi (Pansel) nampaknya ingin membuat penyegaraan di internal OJK. Tanpa wajah lama yang masuk bursa pemilihan komisioner OJK tentu publik bertanya-tanya, jangan-jangan kinerja OJK selama ini mengecewakan, atau ada unsur like and dislike.

Ada beberapa indikator yang bisa jadi tolak ukur terkait kinerja OJK selama 2 tahun terakhir. Di tengah perlambatan ekonomi, OJK terbukti belum sepenuhnya berhasil mendorong pertumbuhan perbankan. Buktinya, pertumbuhan kredit bank umum terus turun hingga terakhir hanya tumbuh 7,85% atau terendah sejak tahun 1998. Pertumbuhan DPK juga terjun di angka 9,6%. Sedangkan kredit bermasalah atau NPL naik signifikan menjadi 2,93%.

Sebagian pelaku industri sebagian mengritik aturan perbankan dibawah OJK terlalu ketat sehingga ruang gerak perbankan terbatas. Ujungnya fungsi OJK lebih dominan ke pro stabilitas keuangan dibandingkan mendorong sektor keuangan untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi. Ini kekosongan yang dilihat oleh tim Pansel OJK. Di satu sisi dengan adanya UU Penanganan Krisis No.9 tahun 2016, OJK dituntut untuk segera merilis aturan turunan secepat mungkin.

Di sisi lain kritik Robert Engle peraih Nobel Ekonomi perlu diperhatikan berkaitan dengan pengawasan sektor keuangan Indonesia yang justru jadi beban bagi industri untuk bergerak maju. Misalnya kecukupan modal bank atau CAR sudah mencapai 22,91%, belum lagi ditambah pencadangan dan dana persiapan krisis membuat dana nganggur di bank jadi lebih besar. Seharusnya sebagian dana tersebut bisa digunakan sebagai stimulus sektor industri pengolahan yang butuh ekspansi. Oleh karena itu perlu adanya titik keseimbangan antara kedua fungsi OJK tersebut.

Ada satu hal lagi PR OJK yang belum rampung yakni membuat bank jadi lebih efisien. Indikator tidak efisiennya bank adalah NIM (net interest margin). Dibanding negara lain margin bank di Indonesia terlalu besar. Per Desember 2016, NIM bank umum tercatat sebesar 5,63%, sebelumnya di 2015 sebesar 5,39%. Dalam kondisi seperti ini seagresif apapun cara Bank Indonesia menurunkan suku bunga acuan tetap sulit mewujudkan bunga kredit dibawah dobel digit.

Alasannya disebabkan oleh banyaknya jumlah bank yang ada di Indonesia yakni 117 bank. Sementara bank yang benar-benar efisien hanya 30%, sisanya bank-bank kecil yang saling berebut dana dengan menawarkan bunga spesial sebagai pemanis. Cara satu-satunya ada ditangan OJK dalam mendorong konsolidasi perbankan, entah melalui skenario merger atau akuisisi antar bank. Diharapkan dewan komisioner OJK yang baru punya taji untuk memangkas jumlah bank menjadi di bawah 80 bank pada akhir tahun 2019. 

BERITA TERKAIT

Antisipasi Kebijakan Ekonomi & Politik dalam Perang Iran -Israel

    Oleh: Prof. Dr. Didik Rachbini Guru Besar Ilmu Ekonomi, Ekonom Pendiri Indef   Serangan mengejutkan dari Iran sebagai…

Iklim dan Reformasi Kebijakan

Oleh: Suahasil Nazara Wakil Menteri Keuangan Sebagai upaya untuk memperkuat aksi iklim, Indonesia memainkan peran penting melalui kepemimpinan pada Koalisi…

Cawe-cawe APBN dalam Lebaran 1445 H

  Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi melaporkan kepada Presiden Joko…

BERITA LAINNYA DI

Antisipasi Kebijakan Ekonomi & Politik dalam Perang Iran -Israel

    Oleh: Prof. Dr. Didik Rachbini Guru Besar Ilmu Ekonomi, Ekonom Pendiri Indef   Serangan mengejutkan dari Iran sebagai…

Iklim dan Reformasi Kebijakan

Oleh: Suahasil Nazara Wakil Menteri Keuangan Sebagai upaya untuk memperkuat aksi iklim, Indonesia memainkan peran penting melalui kepemimpinan pada Koalisi…

Cawe-cawe APBN dalam Lebaran 1445 H

  Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi melaporkan kepada Presiden Joko…