Waspadai Dana Keluar!

Mengamati transaki perdagangan saham beberapa waktu lalu terlihat masih ada dana asing yang keluar dari Bursa Efek Indonesia (BEI) yang mencapai kisaran sekitar Rp 5 triliun lebih. Ini tentu mengindikasikan risiko di pasar modal negeri ini perlu perhatian serius. 

Selain  dipicu "Trump Effect" atau pulangnya dana-dana asing ke Amerika Serikat, kondisi ini juga dipengaruhi oleh rencana kenaikan suku bunga The Fed sebanyak tiga kali pada tahun ini. Kalangan pengamat menilai sebagian besar dana asing yang pulang "kandang" tersebut berasal dari negara berkembang termasuk Indonesia. 

Memang benar,  ada kekhawatiran kebijakan Trump yang cenderung proteksionis membuat perekonomian negara berkembang berpotensi goyah, terutama bagi negara yang punya porsi ekspor besar ke AS. “Trump nampaknya bersikukuh melakukan perombakan terhadap kerjasama perdagangan luar negerinya termasuk NAFTA dan TPP. Era perdagangan bebas di ujung tanduk, apalagi setelah Brexit beberapa waktu yang lalu,” ujar Bhima Yudhistira, peneliti Indef di Jakarta, belum lama ini. 

Tidak hanya itu. Majalah The Economist Intellegence Unit  juga menyebutkan bahwa kebijakan proteksi Trump sebagai salah satu ancaman terbesar perekonomian global saat ini. Karena itu, menghadapi situasi yang surprise seperti itu tentu butuh persiapan yang cukup matang.

Hanya persoalannya, Indonesia selama ini menganut paham devisa bebas, maka jika aksi jual besar-besaran di pasar saham dan surat utang oleh investor asing bukan hal yang tidak mungkin. Satu-satunya jalan untuk mencegah hal tersebut adalah memberlakukan pengendalian modal saham, dan membuat Perpu UU Lalu Lintas Devisa Negara. 

Bagaimanapun, nasib perdagangan Indonesia pun dipertaruhkan. Disatu sisi hampir 80% ekspor Indonesia secara keseluruhan adalah komoditas mentah yang rentan terhadap fluktuasi harga. Di sisi lain, Indonesia masih bergantung pada ekspor ke negara tujuan utama yaitu Amerika, China dan Jepang yang ketiganya saling berkaitan. 

Melihat kondisi demikian, adalah wajar jika investor sedang mengatur strategi baru. Sebab, dibanding istilah investor sedang wait and see selama ini, maka lebih pas sebenarnya melakukan rethinking new strategy.

Investor seharusnya memikirkan strategi terbaik untuk menanggulangi  ketidakpastian di negara berkembang paska Trump Effect, terlebih pertumbuhan ekonomi Indonesia terus menurun dari 5,18% menjadi 5,02% di triwulan III- 2016.

Sementara itu paska periode pertama program tax amnesty, nilai uang tebusan kembali menciut dan dana repatriasi belum bisa ditarik ke Indonesia karena berbagai alasan. Padahal,  imbasnya perekonomian domestik kehilangan sumber penerimaan baru sebagai penambal defisit APBN.

“Oleh karena itu sebelum terlambat otoritas moneter dan fiskal harus bersiap menghadapi kemungkinan terburuk di akhir tahun 2016. Hal yang perlu diwaspadai adalah stabilitas di sektor keuangan,” ujar Bhima. 

Pasca The Fed menaikkan sukubunganya, kondisi pasar saham domestik mengalami fluktuasi yang tidak menentu. Kondisi ini sudah mulai tercium saat imbal surat utang AS bertenor 2,10 dan 30 tahun menunjukkan kenaikan yield atau imbal hasil yang sangat tinggi paska terpilihnya Trump. Sudah pasti lonjakan yield jadi pertanda bahwa inflasi AS dalam jangka pendek maupun panjang diprediksi  akan naik. Inflasi yang meningkat jelas direspon dengan menaikkan Fed rate. 

Selain itu, Lembaga penelitian Indef mengungkapkan bahwa kondisi perekonomian global di tahun depan masih dibayangi oleh kelesuan. Pemerintah pun diminta untuk mengantisipasinya, agar tidak terlalu berdampak terhadap kondisi ekonomi di Tanah Air.

Kondisi global tentunya harus diantisipasi pemerintah adalah kecenderungan meningkatnya harga komoditas di spot internasional. Indeks harga komoditas yang mulai terkerek pasca keterpurukan yang dalam beberapa waktu lalu, akan mengerek penerimaan negara-negara yang kaya akan komoditas seperti Indonesia.

Pemerintah perlu mengantisipasi kecenderungan penerimaan negara‎ akan meningkat karena kenaikan harga komoditas di pasar internasional seperti harga minyak, karet, batubara, dan nikel yang  setidaknya dapat menjadi pemicu peningkatan ekonomi kita ke depan. 

Namun di sisi lain, kenaikan harga minyak dunia dan sejumlah harga komoditas lainnya juga akan berdampak pada kondisi fiskal di masa yang akan datang. Terutama, terkait dengan potensi adanya kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) karena harga minyak dunia yang mu‎lai naik.

Sebab, jika harga BBM naik cukup signifikan akibat hal tersebut, maka akan memengaruhi daya beli masyarakat. Tak hanya itu, harga-harga kebutuhan pokok lainnya juga akan ikut terkerek seiring dengan kenaikan tersebut. Ini akan jadi beban fiskal kita terutama untuk peningkatan harga BBM. Waspadalah!

BERITA TERKAIT

Laju Pertumbuhan Kian Pesat

  Pertumbuhan ekonomi sebagai sebuah proses peningkatan output dari waktu ke waktu menjadi indikator penting untuk mengukur keberhasilan pembangunan suatu…

Kredibilitas RI

Pemilu Presiden 2024 telah berlangsung secara damai, dan menjadi tonggak penting yang tidak boleh diabaikan. Meski ada suara kecurangan dalam…

Pangan Strategis

Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Laju Pertumbuhan Kian Pesat

  Pertumbuhan ekonomi sebagai sebuah proses peningkatan output dari waktu ke waktu menjadi indikator penting untuk mengukur keberhasilan pembangunan suatu…

Kredibilitas RI

Pemilu Presiden 2024 telah berlangsung secara damai, dan menjadi tonggak penting yang tidak boleh diabaikan. Meski ada suara kecurangan dalam…

Pangan Strategis

Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak…