CSR Hambat Investasi

CSR Penghambat Investasi
Saat ini DPR dan DPD tengah menggodok RUU Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (TJSP) atau lazim dikenal dengan sebutan CSR (corporate social responsibility). Dari Naskah RUU CSR yang sudah dipublikasi, terlihat bahwa DPR ingin lebih mendorong dan memperluas
kewajiban CSR ke semua perusahaan. Dalam UU PT (Perseroan Terbatas) kewajiban
perusahaan hanya dibebankan kepada perusahaan yang berbentuk PT dan operasionalnya
berkaitan dengan sumber daya alam. 
Tak jauh berbeda dengan UU PT, RUU tersebut lebih menitik beratkan konsep dan praktik CSR pada pengembangan masyarakat dan sumbangan sosial perusahaan. Selain itu, DPR juga berencana mematok besaran atau prosentase “dana CSR” yang akan dibebankan kepada perusahaan. 
Perumusan RUU CSR ini memantik polemik dan penolakan dari pelaku bisnis, akademisi maupun organisasi masyarakat sipil. Mereka berpendapat bahwa konsep TJSP dalam RUU tersebut tidak sesuai dengan konsep TJSP atau CSR yang sudah disepakati dan diterima secara global dalam ISO 26000. Mereka juga khawatir RUU ini akan menimbulkan biaya tinggi, bedampak negatif pada iklim investasi, serta membuka peluang terjadinya korupsi berjamaah.
Sebelum polemik RUU TJSP ini bergulir, dalam empat tahun terakhir puluhan Perda
(peraturan daerah) dan Raperda (rancangan peraturan daerah) mengenai tanggung jawab
sosial perusahaan (TJSP) atau CSR bermunculan di berbagai daerah di Indonesia. Anggota
DPRD atau Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota ramai-ramai mengusulkan pembuatan
Perda TJSP di daerahnya dengan mengacu pada inisiatif dan pengalaman daerah lainnya.
Hasil kajian PIRAC menemukan 90 kebijakan yang sudah disahkan dan secara khusus mengatur tanggung jawab sosial perusahaan yang ruang lingkupnya meliputi perda provinsi,
kabupaten, dan kotamadya. Tren Pembuatan Perda TJSP ini dipicu oleh 3 faktor. Pertama, peran dan kontribusi kegiatan TJSP/CSR dinilai belum optimal terhadap pembangunan daerah. 
Kedua, keinginan Para pembuat kebijakan di daerah untuk mengkoordinir bahkan terlibat langsung dalam pelaksanaan program CSR di daerahnya. Pembuatan Perda TJSP ini diharapkan bisa mengoptimalkan peran perusahaan mendukung pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan dan mengatasi berbagai persoalan daerah, seperti kemiskinan, pengangguran, lingkungan dan minimnya akses pendidikan dan kesehatan. 
Ketiga, memberikan kepastian hukum terhadap TJSP yang dilakukan dan melindungi dari pungutan liar (pungli). Kajian PIRAC menunjukkan bahwa pembuatan Perda-perda ini merupakan bagian dari upaya pemerintah daerah untuk mencari dana alternatif atau dana tambahan APBD untuk pembiayaan pembangunan daerah, khususnya pembangunan infrastruktur. 
Dalam Perda TJSP yang sudah disahkan konsep TJSP atau CSR umumnya direduksi menjadi sebatas pemberian sumbangan dari perusahaan untuk membantu Pemda mengatasi persoalan- persoalan daerah. Bahkan, beberapa daerah sampai menentukan jenis program dan besaran prosentase atau besaran dana CSR yang harus diserahkan. Padahal, makna dan hakikat CSR tidak terbatas pada sumbangan sosial, tapi upaya perusahaan untuk
melakukan praktek usaha secara etis dan tidak melanggar hukum, meminimalisir dampak
sosial yang ditimbulkan oleh kegiatan usaha, serta berkontribusi terhadap kesejahteraan
masyarakat, khususnya di lingkungan perusahaan.
Munculnya puluhan Perda CSR di berbagai daerah ini memicu pro kontra dan keprihatinan
banyak pihak. Perda tentang CSR dinilai bisa memperburuk hubungan pemerintah daerah
dengan perusahaan. Selain itu, pembuatan Perda CSR juga bisa menjadi kebijakan yang
yang kontra-produktif bagi dalam mengembangan usaha dan iklim investasi di daerah.
Sebab, di satu sisi pemerintah daerah selalu berusaha untuk mencari investor untuk
menanamkan modal atau membuka usaha di daerahnya. Namun, Di sisi yang lain,
mereka membuat banyak aturan yang memperumit birokrasi dan berpotensi menimbulkan biaya tinggi. Waspadalah!

Saat ini DPR dan DPD tengah menggodok RUU Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (TJSP) atau lazim dikenal dengan sebutan CSR (corporate social responsibility). Dari Naskah RUU CSR yang sudah dipublikasi, terlihat bahwa DPR ingin lebih mendorong dan memperluas kewajiban CSR ke semua perusahaan. Dalam UU PT (Perseroan Terbatas) kewajiban perusahaan hanya dibebankan kepada perusahaan yang berbentuk PT dan operasionalnya berkaitan dengan sumber daya alam. 

Tak jauh berbeda dengan UU PT, RUU tersebut lebih menitik beratkan konsep dan praktik CSR pada pengembangan masyarakat dan sumbangan sosial perusahaan. Selain itu, DPR juga berencana mematok besaran atau prosentase “dana CSR” yang akan dibebankan kepada perusahaan. 

Perumusan RUU CSR ini memantik polemik dan penolakan dari pelaku bisnis, akademisi maupun organisasi masyarakat sipil. Mereka berpendapat bahwa konsep TJSP dalam RUU tersebut tidak sesuai dengan konsep TJSP atau CSR yang sudah disepakati dan diterima secara global dalam ISO 26000. Mereka juga khawatir RUU ini akan menimbulkan biaya tinggi, bedampak negatif pada iklim investasi, serta membuka peluang terjadinya korupsi berjamaah.

Sebelum polemik RUU TJSP ini bergulir, dalam empat tahun terakhir puluhan Perda (peraturan daerah) dan Raperda (rancangan peraturan daerah) mengenai tanggung jawab sosial perusahaan (TJSP) atau CSR bermunculan di berbagai daerah di Indonesia. Anggota DPRD atau Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota ramai-ramai mengusulkan pembuatan Perda TJSP di daerahnya dengan mengacu pada inisiatif dan pengalaman daerah lainnya.

Hasil kajian lembaga PIRAC menemukan 90 kebijakan yang sudah disahkan dan secara khusus mengatur tanggung jawab sosial perusahaan yang ruang lingkupnya meliputi perda provinsi, kabupaten, dan kotamadya. Tren Pembuatan Perda TJSP ini dipicu oleh 3 faktor. Pertama, peran dan kontribusi kegiatan TJSP/CSR dinilai belum optimal terhadap pembangunan daerah. 

Kedua, keinginan Para pembuat kebijakan di daerah untuk mengkoordinir bahkan terlibat langsung dalam pelaksanaan program CSR di daerahnya. Pembuatan Perda TJSP ini diharapkan bisa mengoptimalkan peran perusahaan mendukung pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan dan mengatasi berbagai persoalan daerah, seperti kemiskinan, pengangguran, lingkungan dan minimnya akses pendidikan dan kesehatan. 

Ketiga, memberikan kepastian hukum terhadap TJSP yang dilakukan dan melindungi dari pungutan liar (pungli). Kajian PIRAC menunjukkan bahwa pembuatan Perda-perda ini merupakan bagian dari upaya pemerintah daerah untuk mencari dana alternatif atau dana tambahan APBD untuk pembiayaan pembangunan daerah, khususnya pembangunan infrastruktur. 

Dalam Perda TJSP yang sudah disahkan konsep TJSP atau CSR umumnya direduksi menjadi sebatas pemberian sumbangan dari perusahaan untuk membantu Pemda mengatasi persoalan- persoalan daerah. Bahkan, beberapa daerah sampai menentukan jenis program dan besaran prosentase atau besaran dana CSR yang harus diserahkan. Padahal, makna dan hakikat CSR tidak terbatas pada sumbangan sosial, tapi upaya perusahaan untuk melakukan praktek usaha secara etis dan tidak melanggar hukum, meminimalisir dampak sosial yang ditimbulkan oleh kegiatan usaha, serta berkontribusi terhadap kesejahteraan masyarakat, khususnya di lingkungan perusahaan.

Munculnya puluhan Perda CSR di berbagai daerah ini memicu pro kontra dan keprihatinan banyak pihak. Perda tentang CSR dinilai bisa memperburuk hubungan pemerintah daerah (Pemda) dengan perusahaan. Selain itu, pembuatan Perda CSR juga bisa menjadi kebijakan yang yang kontra-produktif bagi dalam mengembangan usaha dan iklim investasi di daerah. 

Sebab, di satu sisi pemerintah daerah selalu berusaha untuk mencari investor untuk menanamkan modal atau membuka usaha di daerahnya. Namun, Di sisi yang lain, mereka membuat banyak aturan yang memperumit birokrasi dan berpotensi menimbulkan biaya tinggi melalui CSR. Waspadalah!

BERITA TERKAIT

IKN Magnet Investasi

  Eksistensi UU Cipta Kerja dinilai cukup strategis dalam memajukan perekonomian Indonesia. UU Cipta Kerja akan menjadi salah satu regulasi…

Persatuan dan Kesatuan

Pasca Pemilihan umum (Pemilu) 2024, penting bagi kita semua untuk memahami dan menjaga persatuan serta kesatuan sebagai pondasi utama kestabilan…

Laju Pertumbuhan Kian Pesat

  Pertumbuhan ekonomi sebagai sebuah proses peningkatan output dari waktu ke waktu menjadi indikator penting untuk mengukur keberhasilan pembangunan suatu…

BERITA LAINNYA DI Editorial

IKN Magnet Investasi

  Eksistensi UU Cipta Kerja dinilai cukup strategis dalam memajukan perekonomian Indonesia. UU Cipta Kerja akan menjadi salah satu regulasi…

Persatuan dan Kesatuan

Pasca Pemilihan umum (Pemilu) 2024, penting bagi kita semua untuk memahami dan menjaga persatuan serta kesatuan sebagai pondasi utama kestabilan…

Laju Pertumbuhan Kian Pesat

  Pertumbuhan ekonomi sebagai sebuah proses peningkatan output dari waktu ke waktu menjadi indikator penting untuk mengukur keberhasilan pembangunan suatu…