Jangan Terjebak Hoax

Jangan Terjebak Hoax
Lebih dari 20 tahun dunia pers dan masyarakat Indonesia menikmati kebebasan berpendapat, setelah reformasi nasional yang mengakhiri era Orde Baru pada 1998. Kebebasan berpendapat dan kemerdekaan pers ketika itu merupakan salah satu tuntutan dari euphoria reformasi. 
Memang benar, hasil dari reformasi itu adalah memberikan udara segar bagi wartawan dapat bekerja lebih leluasa dalam mengungkapkan realitas dan fakta yang ada di masyarakat, serta mengutip pendapat yang lebih kritis. Untuk menerbitkan sebuah surat kabar juga menjadi lebih mudah, dan tidak lagi harus memiliki SIUPP (Surat Izin Penerbitan Pers).
Berikutnya, di awal tahun-tahun reformasi, banyak bermunculan terbitan media baru baik cetak maupun online seperti jamur yang tumbuh di musim hujan. Namun juga secepat musim berubah, banyak media yang akhirnya tak bisa bertahan lama, dan segera hilang dari peredaran.
Pada satu dekade setelah reformasi, isu terkait media massa yang muncul adalah kuatnya aspek bisnis dalam pengelolaan media massa. Banyak pemilik modal besar yang masuk ke dan menguasai bisnis media massa.
Bagi wartawan, pada era ini, kebebasan mulai mengalami erosi, karena setelah terbebas dari intimidasi penguasa, masuk pada tekanan pemilik modal. Bahkan sempat perlindungan wartawan, terutama mereka yang tetap dalam idealisme dan kritis, menjadi makin lemah, karena ketika di lapangan tak jarang mereka harus berhadapan dengan premanisme.
Bagi pers Indonesia, awal melenium ini, terutama makin terasa di pertengahan dekade pertama, dinamika pers diwarnai oleh perkembangan teknologi informasi, khususnya internet dan kemudian media sosial yang tumbuh dengan pesat.
Sebuah perubahan yang sangat berpengaruh adalah bahwa arus informasi menjadi makin deras, akibat membanjirnya "sampah" informasi ke ruang media. Sumber informasi semakin luas, dan publik tidak hanya menerima informasi yang disodorkan, tetapi bisa memburunya sendiri. Bahkan penyebaran informasi antar warga menjadi keniscayaan.
Namun di sisi lain, Human Rights Working Group (HWRG) mengecam tindakan kekerasan kepada jurnalis/wartawan yang sedang bekerja meliput aksi damai 112. Lembaga HAM internasional ini mengatakan kekerasan dan intimidasi apapun terhadap media, terutama jurnalis yang sedang bekerja mengumpulkan informasi, merupakan ancaman terhadap kebebasan berekspresi dan pers yang dilindungi UU.
"Bahkan, di dalam Pasal 18 ayat (1) UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dimungkinkan adanya sanksi atas tindakan penghalangan atau penghambatan aktivitas tersebut," demikian siaran pers HRWG beberapa waktu lalu. Wartawan, menurut HRWG, adalah komponen penting demokrasi dan perlindungan HAM, sehingga keberadaannya harus dihormati oleh semua pihak. Harus diakui bahwa kekerasan terhadap jurnalis seringkali terjadi akibat ketidaksukaan terhadap pemberitaan media dengan alasan yang beragam, namun menghalangi-halangi aktivitas jurnalisme jelas-jelas mengancam pilar demokrasi.
HRWG meminta semua pihak menghargai dan menghormati pemberitaan media sebagai bagian dari iklim demokratis, karena bila tidak setuju dengan konten atau materi pemberitaan, setiap orang diberikan hak untuk melangkah prosedur yang telah disediakan, seperti menggunakan hak jawab, meminta koreksi, hingga melalui Dewan Pers atau Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
HRWG menilai prosedur ini yang seharusnya digunakan oleh setiap pihak untuk mengeluh atas apa yang diberita oleh media massa dan tidak memilih cara penyelesaian sendiri, apalagi dengan kekerasan.
Di sisi yang lain, lembaga-lembaga pengawas media juga seharusnya dapat bekerja independen dan tetap menjaga independensi pers di Indonesia dan memastikan setiap media untuk berpegang pada prinsip jurnalisme profesional.
Industri media, dengan pelbagai macam kepentingannya, harus pula tetap mendorong independensi dan menggunakan prinsip dan etika jurnalistik. Karena media bisa terjebak kepada gelombang sebarang berita hoax (bohong) jika tak memperhatikan etika dan prinsip independensi. 
Media massa kemudian diramaikan oleh pertumbuhan pesat situs berita, situs yang dikelola lembaga atau perorangan, serta blog. Dan sekarang semua media media massa harus berkompetisi juga dengan media sosial yang tumbuh dengan masif.
Fenomena ini, meskipun disambut, menghadapkan masyarakat untuk berjuang ‘’sendiri’’ menilai informasi yang beredar, bahkan yang ‘’menggedor’’ ke hadapan mereka. Informasi yang memenuhi standar jurnalistik dengan yang bukan jurnalistik, bahkan informasi bohong dan menabrak etika, berhamburan di hadapan warga.
Rendaknya tingkat ketahanan masyarakat untuk menyaring informasi tampaknya yang mendorong membanjirnya berita bohong atau hoax, bahkan informasi yang menghasut kekerasan atau menyebarkan kebencian. Dan kita sekarang dirisaukan oleh kenyataan ini, yang bahkan berpotensi memicu konflik di masyarakat dan melemahkan ketahanan negara.
Hal ini menjadi penting, karena publik perlu ‘’dibantu’’ mengetahui apakah informasi di hadapan mereka itu merupakan informasi yang diperoleh, diproses dan disebarkan melalui kaidah dan etika jurnalistik. Dan hal ini akan menjadi ukuran bagaimana UU yang terkait Pers dan kode etik yang telah ditetapkan oleh organisasi wartawan ditaati dalam dunia pers kita.
Proses itu memang tidak mudah untuk diwujudkan oleh dunia pers Indonesia, apalagi tantangan yang dihadapi juga menyangkut adanya jurnalistik warga, media online yang dikelola di luar perusahaan pers, dan media sosial yang menyebarkan informasi secara masif. Masalahnya, pada media-media seperti itu, lebih terbuka untuk digunakan dalam menyebarkan berita bohong atau hoax, informasi kebencian, dan hasutan kekerasan. Waspadalah!

Lebih dari 20 tahun dunia pers dan masyarakat Indonesia menikmati kebebasan berpendapat, setelah reformasi nasional yang mengakhiri era Orde Baru pada 1998. Kebebasan berpendapat dan kemerdekaan pers ketika itu merupakan salah satu tuntutan dari euphoria reformasi. 

Memang benar, hasil dari reformasi itu adalah memberikan udara segar bagi wartawan dapat bekerja lebih leluasa dalam mengungkapkan realitas dan fakta yang ada di masyarakat, serta mengutip pendapat yang lebih kritis. Untuk menerbitkan sebuah surat kabar juga menjadi lebih mudah, dan tidak lagi harus memiliki SIUPP (Surat Izin Penerbitan Pers).

Berikutnya, di awal tahun-tahun reformasi, banyak bermunculan terbitan media baru baik cetak maupun online seperti jamur yang tumbuh di musim hujan. Namun juga secepat musim berubah, banyak media yang akhirnya tak bisa bertahan lama, dan segera hilang dari peredaran.

Pada satu dekade setelah reformasi, isu terkait media massa yang muncul adalah kuatnya aspek bisnis dalam pengelolaan media massa. Banyak pemilik modal besar yang masuk ke dan menguasai bisnis media massa.

Bagi wartawan, pada era ini, kebebasan mulai mengalami erosi, karena setelah terbebas dari intimidasi penguasa, masuk pada tekanan pemilik modal. Bahkan sempat perlindungan wartawan, terutama mereka yang tetap dalam idealisme dan kritis, menjadi makin lemah, karena ketika di lapangan tak jarang mereka harus berhadapan dengan premanisme.

Bagi pers Indonesia, awal melenium ini, terutama makin terasa di pertengahan dekade pertama, dinamika pers diwarnai oleh perkembangan teknologi informasi, khususnya internet dan kemudian media sosial yang tumbuh dengan pesat.

Sebuah perubahan yang sangat berpengaruh adalah bahwa arus informasi menjadi makin deras, akibat membanjirnya "sampah" informasi ke ruang media. Sumber informasi semakin luas, dan publik tidak hanya menerima informasi yang disodorkan, tetapi bisa memburunya sendiri. Bahkan penyebaran informasi antar warga menjadi keniscayaan.

Namun di sisi lain, Human Rights Working Group (HWRG) mengecam tindakan kekerasan kepada jurnalis/wartawan yang sedang bekerja meliput aksi damai 112. Lembaga HAM internasional ini mengatakan kekerasan dan intimidasi apapun terhadap media, terutama jurnalis yang sedang bekerja mengumpulkan informasi, merupakan ancaman terhadap kebebasan berekspresi dan pers yang dilindungi UU.

"Bahkan, di dalam Pasal 18 ayat (1) UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dimungkinkan adanya sanksi atas tindakan penghalangan atau penghambatan aktivitas tersebut," demikian siaran pers HRWG beberapa waktu lalu. Wartawan, menurut HRWG, adalah komponen penting demokrasi dan perlindungan HAM, sehingga keberadaannya harus dihormati oleh semua pihak. Harus diakui bahwa kekerasan terhadap jurnalis seringkali terjadi akibat ketidaksukaan terhadap pemberitaan media dengan alasan yang beragam, namun menghalangi-halangi aktivitas jurnalisme jelas-jelas mengancam pilar demokrasi.

HRWG meminta semua pihak menghargai dan menghormati pemberitaan media sebagai bagian dari iklim demokratis, karena bila tidak setuju dengan konten atau materi pemberitaan, setiap orang diberikan hak untuk melangkah prosedur yang telah disediakan, seperti menggunakan hak jawab, meminta koreksi, hingga melalui Dewan Pers atau Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

HRWG menilai prosedur ini yang seharusnya digunakan oleh setiap pihak untuk mengeluh atas apa yang diberita oleh media massa dan tidak memilih cara penyelesaian sendiri, apalagi dengan kekerasan.

Di sisi yang lain, lembaga-lembaga pengawas media juga seharusnya dapat bekerja independen dan tetap menjaga independensi pers di Indonesia dan memastikan setiap media untuk berpegang pada prinsip jurnalisme profesional.

Industri media, dengan pelbagai macam kepentingannya, harus pula tetap mendorong independensi dan menggunakan prinsip dan etika jurnalistik. Karena media bisa terjebak kepada gelombang sebarang berita hoax (bohong) jika tak memperhatikan etika dan prinsip independensi. 

Media massa kemudian diramaikan oleh pertumbuhan pesat situs berita, situs yang dikelola lembaga atau perorangan, serta blog. Dan sekarang semua media media massa harus berkompetisi juga dengan media sosial yang tumbuh dengan masif.

Fenomena ini, meskipun disambut, menghadapkan masyarakat untuk berjuang ‘’sendiri’’ menilai informasi yang beredar, bahkan yang ‘’menggedor’’ ke hadapan mereka. Informasi yang memenuhi standar jurnalistik dengan yang bukan jurnalistik, bahkan informasi bohong dan menabrak etika, berhamburan di hadapan warga.

Rendahnya tingkat ketahanan masyarakat untuk menyaring informasi tampaknya yang mendorong membanjirnya berita bohong atau hoax, bahkan informasi yang menghasut kekerasan atau menyebarkan kebencian. Dan kita sekarang dirisaukan oleh kenyataan ini, yang bahkan berpotensi memicu konflik di masyarakat dan melemahkan ketahanan negara.

Hal ini menjadi penting, karena publik perlu ‘’dibantu’’ mengetahui apakah informasi di hadapan mereka itu merupakan informasi yang diperoleh, diproses dan disebarkan melalui kaidah dan etika jurnalistik. Dan hal ini akan menjadi ukuran bagaimana UU yang terkait Pers dan kode etik yang telah ditetapkan oleh organisasi wartawan ditaati dalam dunia pers kita.

Proses itu memang tidak mudah untuk diwujudkan oleh dunia pers Indonesia, apalagi tantangan yang dihadapi juga menyangkut adanya jurnalistik warga, media online yang dikelola di luar perusahaan pers, dan media sosial yang menyebarkan informasi secara masif. Masalahnya, pada media-media seperti itu, lebih terbuka untuk digunakan dalam menyebarkan berita bohong atau hoax, informasi kebencian, dan hasutan kekerasan. Waspadalah!

BERITA TERKAIT

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…

IKN Magnet Investasi

  Eksistensi UU Cipta Kerja dinilai cukup strategis dalam memajukan perekonomian Indonesia. UU Cipta Kerja akan menjadi salah satu regulasi…

Persatuan dan Kesatuan

Pasca Pemilihan umum (Pemilu) 2024, penting bagi kita semua untuk memahami dan menjaga persatuan serta kesatuan sebagai pondasi utama kestabilan…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…

IKN Magnet Investasi

  Eksistensi UU Cipta Kerja dinilai cukup strategis dalam memajukan perekonomian Indonesia. UU Cipta Kerja akan menjadi salah satu regulasi…

Persatuan dan Kesatuan

Pasca Pemilihan umum (Pemilu) 2024, penting bagi kita semua untuk memahami dan menjaga persatuan serta kesatuan sebagai pondasi utama kestabilan…