Sektor Energi - SKK Migas: Impor Gas Tak Jamin Harga Lebih Murah

NERACA

Jakarta – Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi menilai kebijakan mengimpor gas alam cair oleh Kementerian ESDM tidak menjamin harga gas akan lebih murah hingga level konsumen akhir.

"Tidak serta merta impor LNG akan membuat harga turun di level 'end user' karena secara keseluruhan harga LNG itu bersaing," kata Kepala Divisi Komersial Gas SKK Migas Sampe L Purba pada acara diskusi di Gedung SKK Migas Jakarta, disalin dari Antara, pekan lalu.

Sampe menjelaskan ada dua faktor yang membuat impor gas belum tentu menurunkan harga gas secara signifikan. Faktor pertama adalah harga LNG di dunia yang bersaing dan bergantung pada harga minyak dunia.

Faktor kedua adalah banyaknya tahapan gas alam cair impor untuk sampai ke konsumen akhir, mulai dari pengapalan, proses regasifikasi, transmisi hingga distribusi. Menurut dia, harga gas bisa turun jika tambahan biaya-biaya tersebut, seperti regasifikasi yang berkisar 1-3 dolar AS itu bisa diefisiensikan. Tambahan biaya yang cukup banyak ini akhirnya membuat harga gas domestik dan gas impor menjadi tidak jauh berbeda.

Ia menambahkan gas impor yang harus didistribusikan memerlukan kesiapan infrastuktur, namun saat ini Indonesia baru memiliki empat fasilitas regasifikasi "floating storage regasification unit" (FSRU), yakni di Arun, Lampung, Nusantara Regas di Jawa Barat dan Benoa, Bali. "Ketika barangnya sudah ada, kita siap berproduksi, pada saat yang sama infrastruktur belum tersedia. Itu juga menjadi sebuah faktor," ungkapnya.

Seperti diketahui, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) Nomor 11 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Gas Bumi untuk Pembangkit Tenaga Listrik yang mengizinkan impor LNG bagi pembangkit listrik.

Melalui Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi untuk Industri, ada tiga dari tujuh bidang industri yang mendapatkan penurunan harga gas, yakni industri pupuk, petrokimia, dan baja. Penyesuaian harga gas industri ini dibutuhkan selain sebagai nilai tambah, juga untuk meningkatkan daya saing produk-produk lokal.

Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mengungkapkan pihaknya masih menunggu rapat dengan Menko Perekonomian Darmin Nasution untuk memutuskan aturan impor gas bagi industri. Ignasius Jonan mengatakan keputusan ini diputus dalam rapat yang koordinasikan Menko Perekonomian karena melibatkan banyak kementerian dalam mengambil keputusannya.

"Untuk (impor gas) industri, keputusan Bapak Presiden waktu itu dirapatkan di Menko Perekonomian. Jadi kami ini lagi tunggu. Karena menyangkut banyak kementerian. Kementerian Keuangan, Kementerian Perindustrian, lalu BKPM dan sebagainya dan ESDM juga," ungkapnya sebagaimana disalin dari Antara.

Sedangkan untuk impor gas untuk kebutuhan kelistrikan, Jonan mengatakan sudah diizinkan apabila harga gas di pelabuhan penjual itu melebihi 11,5 persen ICP (Indonesia Crude Price) di bulan itu. "Misalnya di Januari ICP-nya sudah terbit, biasanya ICP diterbitkan akhir bulan. Itu ICP-nya adalah 51,88 dolar AS. Jadi kalau melebihi 11,58 persen dari itu, PLN boleh aja impor. Memang impor gas untuk listrik itu sudah ada," jelas Jonan.

Menteri ESDM ini mengatakan bahwa impor gas tersebut untuk kelistrikan diperbolehkan karena arahan Presiden agar tarif listrik itu harus bisa selalu terjangkau oleh masyarakat. "Jadi kalau bisa listrik itu, tarifnya itu jumlah kapasitas yang disalurkan oleh PLN itu makin besar dan makin merata ya masyarakat bisa lebih menjangkau,' katanya. Jonan mengatakan pihaknya mengatur hal tersebut, yakni tidak melebihi 11,5 persen ICP agar bahan energi dasarnya tidak terlalu tinggi, sehingga tarif listrik bisa dijangkau publik.

Sebelumnya Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar menjelaskan rencana impor gas untuk tujuh industri yang ditetapkan pemerintah menunggu kesiapan infrastruktur untuk distribusi gas alam cair (liquefied natural gas/LNG).

"Impor akan kami buka. Namun, infrastruktur harus dibangun terlebih dahulu. LNG gimana cara masuknya, kecuali punya FSRU (floating storage regasification unit). Intinya infrastruktur harus kita bangun dahulu," kata Arcandra.

Ia menjelaskan waktu pembangunan FSRU paling cepat sekitar dua sampai tiga tahun. Selain itu, lokasi pembangunan fasilitas regasifikasi tersebut perlu menyesuaikan daerah tertentu yang memiliki kebutuhan gas lebih tinggi.

Menurut Arcandra, fasilitas regasifikasi belum bisa menampung dan mengakomodasi gas alam cair impor, apalagi saat ini FSRU yang dimiliki Indonesia baru terdapat di Jawa Barat, Arun, Lampung, dan Benoa.

BERITA TERKAIT

Pelaku Transhipment Dari Kapal Asing Ditangkap - CEGAH ILLEGAL FISHING

NERACA Tual – Kapal Pengawas Orca 06 milik Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berhasil mengamankan Kapal Pengangkut Ikan asal Indonesia yang…

Puluhan Ton Tuna Loin Beku Rutin Di Ekspor ke Vietnam

NERACA Morotai – Karantina Maluku Utara kembali memfasilitasi ekspor tuna loin beku sebanyak 25 ton tujuan Vietnam melalui Satuan Pelayanan…

Libur Lebaran Dorong Industri Parekraf dan UMKM

NERACA Jakarta – Tingginya pergerakan masyarakat saat momen mudik dan libur lebaran tahun ini memberikan dampak yang besar terhadap industri…

BERITA LAINNYA DI Perdagangan

Pelaku Transhipment Dari Kapal Asing Ditangkap - CEGAH ILLEGAL FISHING

NERACA Tual – Kapal Pengawas Orca 06 milik Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berhasil mengamankan Kapal Pengangkut Ikan asal Indonesia yang…

Puluhan Ton Tuna Loin Beku Rutin Di Ekspor ke Vietnam

NERACA Morotai – Karantina Maluku Utara kembali memfasilitasi ekspor tuna loin beku sebanyak 25 ton tujuan Vietnam melalui Satuan Pelayanan…

Libur Lebaran Dorong Industri Parekraf dan UMKM

NERACA Jakarta – Tingginya pergerakan masyarakat saat momen mudik dan libur lebaran tahun ini memberikan dampak yang besar terhadap industri…