Menanti Kiprah BPJPH

Oleh : Agus Yuliawan

Pemerhati Ekonomi Syariah

Jika mengacu pada Undang-Undang (UU) No 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH), sudah selayaknya tahun ini diberlakukan, karena dalam amanah UU tersebut disebutkan, semenjak diundangnya regulasi tersebut, maka dalam tiga tahun  Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal ((BPJPH)--harus terbentuk dan beroperasi sesuai dengan fungsinya. Namun,  hingga memasuki tahun ketiga ini BPJPH ini masih dalam proses pembentukan dan belum "on going" hal ini menjadikan perhatian bagi kalangan industri dan konsumen, apa yang ingin dilakukan oleh BPJPH nantinya dalam memberikan Sistem Jaminan Halal (SJH) di republik ini. Ditambah lagi jika menilik  UU tersebut terutama juknisnya berupa peraturan pemerintah (PP) belum selengkap yang diharapkan, bahkan dikhawatirkan munculnya UU tersebut mengganggu iklim investasi di Indonesia yang selama ini menjadi target dari pemerintahan Jokowi-JK terkait dengan pertumbuhan ekonomi. Maka bayang-bayang judicial review dari masyarakat tidak lepas dari anasir-anasir yang ada selama ini.

Hadirnya UU JPH mempunyai tujuan yang sangat mendasar dalam kehidupan, yakni untuk memberikan kenyamanan keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan produk halal bagi masyarakat dalam mengkonsumsi dan menggunakan produk serta meningkatkan nilai tambah bagi pelaku usaha untuk memproduksi dan menjual produk halal. Munculnya BPJPH merupakan bukti keseriusan pemerintah dalam melayani masyarakat sekaligus juga sebuah langkah konkret sikap pemerintah dalam penegakkan supermasi hukum dalam perlindungan konsumen. Hadirnya BPJPH ini secara otomatis mengubah "kiblat" lembaga sertifkasi halal yang selama ini menjadi domain dari Lembaga Perlindungan Pangan Obat-obatan dan Kosmetika - Majelis Ulama Indonesia (LPPOM-MUI) ke BPJPH. Peran MUI kedepan hanya bersifat memberikan fatwa hukum  kehalalan saja. 

SJH  yang komperehensif selama ini diharapkan oleh masyarakat, apalagi melihat besanya market yang ada selama ini di Indonesia, tambahlagi Indonesia dikenal sebagai masyarakat Muslim terbesar di dunia, proses sertifikasi halal tidak bisa dengan mudah diserahkan kepada BPJPH begitu saja. Apalagi dalam pemberian sertifkasi halal banyak jenisnya mulai dari jenis usaha produksi, distribusi dan konsumsi. Apakah ini mampu di eksekusi semua oleh BPJPH? Apalagi berbicara halal, bukan sekedar pangan, obat-obatan dan kosmetika saja. Ada perusahan jasa  keuangan, ekspor dan importir dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dengan infrastruktur BPJPH sangat mustahil bisa mengeksekusi semua. Peluang inilah yang bisa dimanfaatkan dengan hadirnya  Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) sebagai mitra dari BPJPH dalam melakukan pemeriksaa dan pengujian kehalalan dari sebuah produk atau jasa dari sebuah industri.

Maka dengan hadirnya UU JPH ini selain berdirinya BPJPH akan memberikan semarak hadirnya LPH yang didirikan oleh pemerintah dan swasta. Kemudian meskipun  LPPOM - MUI kewenangannya diambil alih oleh BPJPH, namun perannya sebagai LPH tetap berfungsi dalam mengaudit kehalalan sebuah produk dan jasa. Bagi ormas Islam seperti NU dan Muhammadiyah memiliki kesempatan juga untuk mendirikan LPH seperti LPPOM - MUI, apalagi secara infrastruktur khususnya Muhammadiyah telah memiliki itu semua seperti auditor, halal center dan laboratorium. Tinggal bagaimana LPH tersebut mendapatkan akreditasi dari MUI. Maka dengan munculnya LPH - LPH yang ada di masyarakat, beban BPJPH tidak terlalu berat dan hanya administrasi hukum dalam sertifikasi saja perannya, sementara audit dan kajian kehalalan mekanismenya ada pada LPH-LPH. 

Untuk mensinergikan itu semua, harus dilakukan gerak cepat konsolidasi baik BPJPH, MUI dan LPH, apalagi kita saat ini telah dihadapkan dengan perdagangan bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). SJH inilah salah satu benteng ketahanan nasional untuk membendung arus derasnya barang dan produk yang masuk kedalam negeri secara ekonomi.  Kesadaran masyarakat Indonesia terhadap SJH juga sangat penting karena dengan mengajukan sertifikasi halal terhadap segala jenis produk, maka akan terhindar dari segala sangsi hukum dan memudahkan dalam transaksi bisnis. Meskipun persoalan klasik bersifat "debatable" selalu ada dibalik pengurusan sertifikasi halal tersebut yakni soal biaya, namun itu semua bisa terselesaikan dengan win-win solution dengan mengedepankan arti ketahanan nasional buat negeri ini.

BERITA TERKAIT

Ekspor Nonmigas Primadona

Oleh: Zulkifli Hasan Menteri Perdagangan Neraca perdagangan Indonesia kembali mencatatkan surplus pada periode Februari 2024 sebesar USD0,87 miliar. Surplus ini…

Jaga Kondusivitas, Tempuh Jalur Hukum

  Oleh: Rama Satria Pengamat Kebijakan Publik Situasi di masyarakat saat ini relatif kondusif pasca penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Perspektif UMKM di Ramadhan

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Memasuki pertengahan bulan suci Ramadhan seperti ini ada dua arus perspektif yang menjadi fenomena…

BERITA LAINNYA DI

Ekspor Nonmigas Primadona

Oleh: Zulkifli Hasan Menteri Perdagangan Neraca perdagangan Indonesia kembali mencatatkan surplus pada periode Februari 2024 sebesar USD0,87 miliar. Surplus ini…

Jaga Kondusivitas, Tempuh Jalur Hukum

  Oleh: Rama Satria Pengamat Kebijakan Publik Situasi di masyarakat saat ini relatif kondusif pasca penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Perspektif UMKM di Ramadhan

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Memasuki pertengahan bulan suci Ramadhan seperti ini ada dua arus perspektif yang menjadi fenomena…