Pelaksanaan Plkada langsung secara serentak pada 2017 tinggal menghitung dua hari lagi. Namun, banyak orang sejak beberapa hari ini bukan perasaan senang dan bahagia untuk memilih pasangan calonnya. Melainkan perasaan bosan dan jenuh, yang disebabkan oleh tontonan politik dalam negeri yang penuh intrik, saling jegal juga saling cela satu sama lain.
Padahal, tahun ini, ada lebih dari 101 daerah mulai kabupaten, kota, serta provinsi yang akan menyelenggarakan Pilkada. Selain itu, kita diberi tawaran yang amat tidak menarik, pertarungan atas kekuasaan yang hanya dimainkan oleh elite-elite politik yang selama ini bertarung dalam Pilpres 2014 dan sebelumnya.
Mestinya, bangsa ini kian dewasa menapaki demokrasi lokal. Proses pendewasaan demokrasi lokal, terutama, ada di pundak partai politik. Karena partai politik memiliki kewenangan untuk mengajukan pasangan calon kepala daerah selain pencalonan melalui jalur independen.
Diantaranya Pilkada Jakarta menyedot perhatian, karena kota ini sering juga disebut sebagai Indonesia dalam bentuk mini. Berbagai etnik dari seluruh Indonesia berkumpul di Jakarta. Isu-isu primordial sangat rawan menjadi amunisi pemicu konflik. Bukankah kampanye hitam bermuatan primordialisme sudah bertebaran di mana-mana?
Celakanya, isu-isu primordial itu justru diprakarsai mereka yang menyebut diri sebagai pentolan reformasi. Orang yang saat mengetuai lembaga negara getol bicara keragaman, giliran tak berkuasa lagi, malah gemar bicara rasialisme. Ia ibarat pendekar dewa mabuk yang mengeluarkan jurus rasialis ke segenap penjuru Ibu Kota.
Patut disadari semua pihak, mayoritas pemilih Jakarta cukup moderat dalam memandang asal usul agama dan etnik ketika menentukan dukungan terhadap calon gubernur. Pemilih Jakarta yang cerdas dan rasional itulah modal sosial untuk terus menumbuhkembangkan demokrasi rasional.
Dalam demokrasi rasional, rakyat pemilih wajib hukumnya menjatuhkan pilihan pada kandidat terbaik yang memiliki kapasitas menyelesaikan persoalan Jakarta. Tidak boleh memilih berdasarkan isu primordial, apalagi dipengaruhi iming-iming uang.
Isu SARA biasanya sengaja dimainkan ketika lawan tanding dianggap susah dikalahkan dengan gagasan, program, dan integritas. Karena itu, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) jangan hanya berpangku tangan, harus turun tangan untuk memastikan terselenggaranya demokrasi lokal yang rasional. Kita semua harus memastikan pilkada DKI Jakarta tidak menggerus keberagaman, tapi menyemai pluralisme.
Pertarungan ini dilakukan dengan cara “menitipkan” orang-orang untuk berkompetisi secara elektoral di level yang lebih rendah. Cara-cara oligarkis ini dilakukan melalui intervensi mereka secara langsung ataupun melalui mekanisme kelembagaan, seperti prosedur rekomendasi calon kepala daerah dari ketua umum DPP partai politik yang memang semua partai politik menjalankan mekanisme tersebut?
Fenomena politik yang muncul belakangan ini sebenarnya bukan hal yang mengejutkan. Demokrasi kita, pada dasarnya hanyalah demokrasi setengah hati. Jenis demokrasi ini bukanlah demokrasi yang muncul melalui proses yang totalitas dan ideologis.
Karena itu, perkembangan demokrasi kita yang paling menonjol hanya sebatas pada pemilihan pemimpin secara langsung. Mekanisme pemilihan secara langsung tersebut dianggap secara psikologis mampu memberikan kepuasan bagi para pemilik hak suara untuk menyuarakan keinginannya dalam memilih pemimpin.
Demokrasi prosedural memang dijalankan dengan aman dan damai. Namun, persoalan kualitas demokrasi, capaian, dan kesejahteraan publik dari praktik demokrasi merupakan urusan lain yang tidak menjadi prioritas utama.
Di sisi lain, nilai-nilai demokrasi yang ada tidak berjalan secara efektif, baik dalam konteks proses politik secara umum maupun dalam konteks pelaksanaan nilai-nilai demokrasi itu sendiri. Buktinya, Democracy Index hasil rilis dua tahunan Economic Intelligent Unit (2016) menyebutkan, Indonesia menduduki peringkat ke-48 atau masih berada di peringkat tengah-atas.
Bandingkan dengan Taiwan (33), India (32), atau Jepang (20) atau negara demokrasi lainnya. Bahkan, dengan Timor Leste (43) saja kita ketinggalan. Data ini menunjukkan, betapa banyak pekerjaan rumah yang segera perlu kita diselesaikan.
EIU sendiri dalam membuat pemeringkatan dan mengategorisasi kualitas demokrasi negara-negara di dunia tidak semata mendasarkan pada demokrasi prosedural berupa pemilu di tingkat pusat ataupun di daerah. Mereka juga mengajukan beberapa kriteria, seperti proses pemilihan dan keragaman, kebebasan sipil, kinerja pemerintah, partisipasi politik, dan budaya politik.
Nah, pada kerangka partisipasi politik dan budaya politik inilah barangkali kita perlu banyak belajar. Pembelajaran tersebut dilakukan melalui upaya memperbaiki partisipasi publik menjadi lebih independen dan budaya politik yang lebih terbuka serta dialogis.
Merujuk pada beberapa pilkada sebelumnya, yang juga ditunjukkan dari panasnya persiapan pilkada serentak 2017 ini, ada begitu banyak permasalahan politik yang berpotensi konflik. Politik kita yang konon demokratis ini justru dihadapkan pada nilai-nilai yang tidak demokratis. Keterbukaan menjadi hilang, kejujuran menjadi barang langka, rasa saling menghargai pun semakin menjauh.
Tidak hanya di dunia nyata lewat berbalas aksi di jalanan. Di dunia maya pun demikian. Buzzer parpol dan kandidat juga bertikai tiada henti. Kembali lagi, publik secara luas yang nantinya berpartisipasi dalam pilkada justru seolah tidak mendapat ruang berekspresi secara wajar.
Stabilitas dan partisipasi publik barangkali sering dibaca sebagai hal yang bertentangan dalam politik kita pada masa pascareformasi. Kita seolah ketakutan dengan pengalaman masa lalu, di mana stabilitas diidentikkan dengan sulitnya menunjukkan preferensi ataupun ide. Sebab itu, kita terus menempatkan stabilitas di satu tempat dan partisipasi publik di tempat yang lain. Padahal, bukan hal yang istimewa sebenarnya, jika kita mau menempatkan stabilitas dan partisipasi publik ke dalam wadah yang kondusif pada saat Pilkada berlangsung. Semoga!
Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak…
Masyarakat dan segenap elemen bangsa Indonesia saatnya harus menunjukkan sikap kedewasaan dalam menjunjung tinggi asas serta nilai dalam berdemokrasi di…
Sektor pertanian di dalam negeri memiliki peranan yang vital dalam perekonomian domestik. Sektor pertanian menjadi sektor yang strategis menyediakan bahan…
Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak…
Masyarakat dan segenap elemen bangsa Indonesia saatnya harus menunjukkan sikap kedewasaan dalam menjunjung tinggi asas serta nilai dalam berdemokrasi di…
Sektor pertanian di dalam negeri memiliki peranan yang vital dalam perekonomian domestik. Sektor pertanian menjadi sektor yang strategis menyediakan bahan…