Waspadai Kebijakan Donald Trump

 

NERACA

 

Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan akan mewaspadai apabila Presiden Amerika Serikat terpilih Donald Trump merealisasikan kebijakan proteksionisme di dalam negerinya. "Apabila Presiden Trump melakukan upaya proteksionisme yang kemudian menutup pasarnya maka ini juga perlu diwaspadai Indonesia. Maka nanti kami akan lihat saja tetapi secara umum Indonesia memiliki banyak pilihan market-market yang lain," katanya, seperti dikutip laman Antara, kemarin.

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu menambahkan bahwa pihaknya akan terus mengamati kebijakan-kebijakan Donald Trump yang akan dilantik pada 20 Januari 2017 waktu setempat. Apabila Trump mengambil kebijakan fiskal untuk mendorong APBN menjadi motor infrastruktur maka ekonomi AS, lanjut dia, diprediksi akan lebih kuat sehingga permintaan barang dan jasa dari negeri Adi Daya itu akan meningkat. "Itu mungkin positif bagi Indonesia," imbuhnya.

Selain itu, kerja sama positif dari sisi prospek perekonomian di AS juga akan menjadi perhatian sebagai salah satu faktor yang bisa memberi pengaruh kepada Indonesia atau tidak sama sekali. Trump terkenal memiliki komentar kontroversial saat kampanye. Dia kondang dengan janji mendeportasi imigran, membangun tembok perbatasan antara Amerika Serikat dan Meksiko, mencegah kaum muslim masuk wilayah Amerika Serikat dan mengancam akan "meninggalkan sekutu-sekutunya".

Komentar kontroversial saat kampanye tersebut membuat masyarakat global khawatir termasuk ekonomi yang dilanda ketidakpastian. Trump, pengusaha properti berusia 70 tahun itu secara mengejutkan mengalahkan rivalnya dari Partai Demokrat, Hillary Clinton, dalam Pemilu 2016 Amerika Serikat dengan meraih 276 suara elektoral.

Namun begitu, bagi Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal, kebijakan perdagangan Amerika Serikat era Presiden Donald Trump yang berpeluang menjadi semakin protektif tidak akan terlalu memengaruhi kinerja ekspor Indonesia ke negara itu. Faisal menjelaskan selama ini AS memang menjadi mitra dagang utama Indonesia dengan nilai total perdagangan mencapai 19,27 miliar dolar AS sepanjang Januari hingga Oktober 2016.

"Akan tetapi, produk-produk ekspor andalan Indonesia ke AS, selain merupakan produk berbasis komoditas yang kompetitif seperti karet, udang, dan furniture, juga merupakan produk manufaktur padat karya yang mengandalkan upah buruh murah, seperti tekstil dan produk tekstil serta alas kaki," ucap dia. Kontribusi tekstil, produk tekstil, dan alas kaki mencakup 31 persen dari total ekspor Indonesia ke AS.

Faisal menambahkan dengan tingkat upah yang relatif tinggi, peluang AS untuk membangun industri manufaktur padat karya yang kompetitif masih sangat kecil. "Dengan demikian, AS diperkirakan akan tetap mengimpor produk-produk tekstil, pakaian jadi, dan alas kaki dari negara-negara yang berupah buruh murah, seperti Vietnam dan Indonesia," kata dia.

Sementara itu, Faisal mengungkapkan hal yang justru perlu dikhawatirkan adalah pangsa pasar ekspor Indonesia untuk produk-produk tersebut yang semakin tersaingi oleh produk-produk serupa dari negara-negara lain yang memiliki tingkat upah lebih rendah, seperti Vietnam dan Bangladesh. Selain itu, produk-produk manufaktur dari Indonesia saat ini sebenarnya sudah dikenakan tarif yang cukup tinggi di AS (rata-rata tarif 'most favored nation' di atas 10 persen).

Tarif ini jauh lebih tinggi dibandingkan tarif yang dikenakan terhadap produk-produk manufaktur impor dari Meksiko yang umumnya hampir nol persen, karena adanya kesepakatan perdagangan bebas antara negara-negara Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (North American Free Trade Agreement/NAFTA).

Faisal mengatakan kemungkinan pengenaan tarif yang lebih tinggi untuk produk-produk manufaktur dari Indonesia lebih kecil dibandingkan dengan produk-produk dari negara-negara yang memperoleh tarif lebih rendah atau yang sudah dibebaskan, seperti misalnya Meksiko.

"Hanya saja, beberapa produk ekspor Indonesia yang memiliki subtitusi impor di AS seperti minyak sawit, patut diwaspadai peluangnya untuk dikenakan kebijakan restriktif khususnya dalam bentuk non-tarif. Pasalnya, hambatan non-tarif di AS justru banyak dan bervariasi," ucap dia. Berdasarkan laporan WTO, saat ini berbagai jenis hambatan non-tarif yang dikenakan AS berjumlah 4780, jauh lebih banyak dibanding Indonesia yang hanya berjumlah 272.

 

BERITA TERKAIT

Pemerintah Pastikan Defisit APBN Dikelola dengan Baik

  NERACA Jakarta – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memastikan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) masih terkelola dengan baik. “(Defisit)…

Kemenkeu : Fiskal dan Moneter Terus Bersinergi untuk Jaga Rupiah

  NERACA Jakarta – Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan kebijakan fiskal dan moneter terus disinergikan…

Kereta akan Menghubungkan Kawasan Inti IKN dengan Bandara Sepinggan

    NERACA Jakarta – Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN) mengungkapkan kereta Bandara menghubungkan Kawasan Inti Pusat Pemerintahan atau KIPP…

BERITA LAINNYA DI Ekonomi Makro

Pemerintah Pastikan Defisit APBN Dikelola dengan Baik

  NERACA Jakarta – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memastikan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) masih terkelola dengan baik. “(Defisit)…

Kemenkeu : Fiskal dan Moneter Terus Bersinergi untuk Jaga Rupiah

  NERACA Jakarta – Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan kebijakan fiskal dan moneter terus disinergikan…

Kereta akan Menghubungkan Kawasan Inti IKN dengan Bandara Sepinggan

    NERACA Jakarta – Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN) mengungkapkan kereta Bandara menghubungkan Kawasan Inti Pusat Pemerintahan atau KIPP…