Menjaga Pulau Kecil

Menjaga Pulau Kecil 
Menyimak rumor bahwa pemerintah akan melibatkan pihak asing untuk mengelola pulau-pulau kecil, kita sebagai bangsa Indonesia menyayangkan rencana pemerintah tersebut. Pasalnya, hal itu bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. 
Ini berarti banyak pulau kecil di wilayah kita merupakan bagian yang dimaksud dalam UU tersebut.  Apalagi pihak asing sampai boleh memberi nama pulaunya dengan bahasa sendiri, wah ini sudah keterlaluan. Karena sudah mengabaikan budaya dan bahasa nasional maupun lokal yang menjadi kekhasan bangsa Indonesia. 
Karena itu, pemerintah sudah selayaknya perlu memikirkan ulang soal keikutsertaan asing mengelola pulau kecil, agar tidak menimbulkan polemik yang berkepanjangan. Persoalannya, bila hal ini sampai terjadi, bukankah pemerintah telah menggadaikan sebagian wilayah kita hingga membiarkan asing secara perlahan- lahan menguasai ruang laut dan sumber dayanya ? 
Jika kita mengutip pendapat Bennet dalam Jurnal MarinePolicy No 57/2015, bahwa perampasan ruang laut dan sumber dayanya (ocean grabbing) adalah : (i) upaya perampasan hak masyarakat atas sumber data kelautan khususnya pulau kecil untuk memanfaatkan, mengontrol dan mengakses ruang laut (space) maupun sumber daya  yang terkandung di dalamnya buat menopang kehidupannya selama ini. 
Apabila merujuk pada pandangan itu dikaitkan dengan kehendak pemerintah membolehkan asing mengelola pulau-pulau kecil, berarti bahwa akan terjadi “perampasan” dua hal pokok, yaitu sumber daya maupun ruang pulau tersebut. Kategori perampasannya meliputi, pertama, aktivitas pemanfaatan ruang laut dan sumber daya pulau kecil secara tertutup buat kepentingan pribadi.  
Sebagai contoh, pulau Komodo dikelola investor Malaysia atau Pulau Gangga di Minahasa Utara oleh investor asal Italia. Lalu membolehkan asing mengelola pulau kecil bakal mengubah rezim property right atas sumber dayanya. Hal ini bertentangan dengan Undang- Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5/1960 karena sama saja memprivatisasi pulau kecil. 
Pasalnya aturan ini mensyaratkan perubahan rezim property right hanya boleh dilakukan lewat mekanisme reforma agraria. Jika asing menyewa atau “menguasai” pulau-pulau, sama halnya pemerintah mengangkangi aturan yang berlaku. Perubahan rezim ini juga akan mengubah regulasi sehingga menghilangkan hak tenurial dan pengelolaan secara yurisdiksi serta hak mengambil sumber daya pulau kecil bagi masyarakat lokal. 
Imbasnya, bakal lahir peraturan baru yang membatasi akses masyarakat lokal atas ruang dan sumber daya pulau kecil yang semula menjadi milik bersama (common property area). Ketiga, membolehkan asing mengelola pulau kecil juga bakal mengubah rezim alokasi sumber daya. 
Imbasnya, aktivitas perikanantangkapdiperairan pesisir pulau kecil yang semula dikelola nelayan tradisional bisa saja berubah menjadi pihak asing secara terpadu dan modern. Misalnya, asing menjadikan pulau kecil sebagai pangkalan pendaratan ikan, dan akses bagi kapal—kapalnya menangkap ikan di perairan Indonesia hingga mengangkutnya keluar negeri baik secara legal maupun ilegal. 
Imbasnya, nelayan lokal akan gigit jari dan hasil tangkapannya kian merosot. Dan tidak menutup kemungkinan aktivitas ilegal , unreported and unregulated (IUU) fishing bakal lebih masif yang berkedok pengelolaan pulau kecil. Perubahan ini juga berimbas pada timbulnya sentralisasi terhadap hak akses serta pemanenan sumber daya pulau kecil yang jatuh pada pengelolaan asing seperti terumbu karang dan mangrove. 
Akibatnya nelayan lokal dan masyarakat adat akan hilang aksesnya untuk mendapatkan sumber daya tersebut. Keempat, pengelolaan asing di pulau kecil akan mengubah rezim “pemanfaatan” sumber daya. Pemanfaatan sumber daya ikan yang selama ini diperuntukkan bagi perikanan skala kecil berubah menjadi pemanfaatan lain. 
Memang dalam Pasal 26A ayat (1) UU Nomor 1/2014 tentang Perubahan UU Nomor 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil membolehkan asing mengelola pulau-pulau kecil atas izin dari Menteri Kelautan dan Perikanan. 
Namun pemerintah mestinya tidak mudah memberikan izin pengelolaan kepada asing. Apalagi sebuah pulau kecil memiliki nilai strategis dan vital bagi kepentingan nasional secara geopolitik, geostrategis, dan geoekonomi. Misalnya Pulau Natuna, Biak, Morotai, dan pulau kecil yang berlokasi di perairan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) hingga di perbatasan maritim negara kita.  Waspadalah!

Menyimak rumor bahwa pemerintah akan melibatkan pihak asing untuk mengelola pulau-pulau kecil, kita sebagai bangsa Indonesia menyayangkan rencana pemerintah tersebut. Pasalnya, hal itu bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. 

Ini berarti banyak pulau kecil di wilayah kita merupakan bagian yang dimaksud dalam UU tersebut.  Apalagi pihak asing sampai boleh memberi nama pulaunya dengan bahasa sendiri, wah ini sudah keterlaluan. Karena sudah mengabaikan budaya dan bahasa nasional maupun lokal yang menjadi kekhasan bangsa Indonesia. 

Karena itu, pemerintah sudah selayaknya perlu memikirkan ulang soal keikutsertaan asing mengelola pulau kecil, agar tidak menimbulkan polemik yang berkepanjangan. Persoalannya, bila hal ini sampai terjadi, bukankah pemerintah telah menggadaikan sebagian wilayah kita hingga membiarkan asing secara perlahan- lahan menguasai ruang laut dan sumber dayanya ? 

Jika kita mengutip pendapat Bennet dalam Jurnal MarinePolicy No 57/2015, bahwa perampasan ruang laut dan sumber dayanya (ocean grabbing) adalah : (i) upaya perampasan hak masyarakat atas sumber data kelautan khususnya pulau kecil untuk memanfaatkan, mengontrol dan mengakses ruang laut (space) maupun sumber daya  yang terkandung di dalamnya buat menopang kehidupannya selama ini. 

Apabila merujuk pada pandangan itu dikaitkan dengan kehendak pemerintah membolehkan asing mengelola pulau-pulau kecil, berarti bahwa akan terjadi “perampasan” dua hal pokok, yaitu sumber daya maupun ruang pulau tersebut. Kategori perampasannya meliputi, pertama, aktivitas pemanfaatan ruang laut dan sumber daya pulau kecil secara tertutup buat kepentingan pribadi.  

Sebagai contoh, pulau Komodo dikelola investor Malaysia atau Pulau Gangga di Minahasa Utara oleh investor asal Italia. Lalu membolehkan asing mengelola pulau kecil bakal mengubah rezim property right atas sumber dayanya. Hal ini bertentangan dengan Undang- Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5/1960 karena sama saja memprivatisasi pulau kecil. 

Pasalnya aturan ini mensyaratkan perubahan rezim property right hanya boleh dilakukan lewat mekanisme reforma agraria. Jika asing menyewa atau “menguasai” pulau-pulau, sama halnya pemerintah mengangkangi aturan yang berlaku. Perubahan rezim ini juga akan mengubah regulasi sehingga menghilangkan hak tenurial dan pengelolaan secara yurisdiksi serta hak mengambil sumber daya pulau kecil bagi masyarakat lokal. 

Imbasnya, bakal lahir peraturan baru yang membatasi akses masyarakat lokal atas ruang dan sumber daya pulau kecil yang semula menjadi milik bersama (common property area). Ketiga, membolehkan asing mengelola pulau kecil juga bakal mengubah rezim alokasi sumber daya. 

Imbasnya, aktivitas perikanan tangkap diperairan pesisir pulau kecil yang semula dikelola nelayan tradisional bisa saja berubah menjadi pihak asing secara terpadu dan modern. Misalnya, asing menjadikan pulau kecil sebagai pangkalan pendaratan ikan, dan akses bagi kapal—kapalnya menangkap ikan di perairan Indonesia hingga mengangkutnya keluar negeri baik secara legal maupun ilegal. 

Imbasnya, nelayan lokal akan gigit jari dan hasil tangkapannya kian merosot. Dan tidak menutup kemungkinan aktivitas ilegal, unreported and unregulated (IUU) fishing bakal lebih masif yang berkedok pengelolaan pulau kecil. Perubahan ini juga berimbas pada timbulnya sentralisasi terhadap hak akses serta pemanenan sumber daya pulau kecil yang jatuh pada pengelolaan asing seperti terumbu karang dan mangrove. 

Akibatnya nelayan lokal dan masyarakat adat akan hilang aksesnya untuk mendapatkan sumber daya tersebut. Keempat, pengelolaan asing di pulau kecil akan mengubah rezim “pemanfaatan” sumber daya. Pemanfaatan sumber daya ikan yang selama ini diperuntukkan bagi perikanan skala kecil berubah menjadi pemanfaatan lain. 

Memang dalam Pasal 26A ayat (1) UU Nomor 1/2014 tentang Perubahan UU Nomor 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil membolehkan asing mengelola pulau-pulau kecil atas izin dari Menteri Kelautan dan Perikanan. 

Namun pemerintah mestinya tidak mudah memberikan izin pengelolaan kepada asing. Apalagi sebuah pulau kecil memiliki nilai strategis dan vital bagi kepentingan nasional secara geopolitik, geostrategis, dan geoekonomi. Misalnya Pulau Natuna, Biak, Morotai, dan pulau kecil yang berlokasi di perairan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) hingga di perbatasan maritim negara kita.  Waspadalah!

BERITA TERKAIT

Laju Pertumbuhan Kian Pesat

  Pertumbuhan ekonomi sebagai sebuah proses peningkatan output dari waktu ke waktu menjadi indikator penting untuk mengukur keberhasilan pembangunan suatu…

Kredibilitas RI

Pemilu Presiden 2024 telah berlangsung secara damai, dan menjadi tonggak penting yang tidak boleh diabaikan. Meski ada suara kecurangan dalam…

Pangan Strategis

Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Laju Pertumbuhan Kian Pesat

  Pertumbuhan ekonomi sebagai sebuah proses peningkatan output dari waktu ke waktu menjadi indikator penting untuk mengukur keberhasilan pembangunan suatu…

Kredibilitas RI

Pemilu Presiden 2024 telah berlangsung secara damai, dan menjadi tonggak penting yang tidak boleh diabaikan. Meski ada suara kecurangan dalam…

Pangan Strategis

Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak…