Level Defisit APBN dan Perbaikan Peringkat Kredit

Oleh: Eri Hariyanto, Staf Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko  Kemenkeu *)

Beberapa hari yang lalu (21 Desember 2016), lembaga pemeringkat internasional Fitch Ratings (Fitch) meningkatkan outlook sovereign credit rating Indonesia dari stable menjadi positive. Ini sekaligus mengafirmasi peringkat (rating) pada BBB- (investment grade) yang selama ini telah diperoleh Indonesia. Dengan outlook positive tersebut, lembaga ini memprediksi bahwa apabila Indonesia dapat menjaga dan meningkatkan stabilitas perekonomiannya maka peringkat utang Indonesia akan menjadi lebih baik lagi.  Menurut Fitch, setidaknya ada tiga faktor kunci yang mendukung perbaikan outlook sovereign credit rating Indonesia. Pertama, track record stabilitas makroekonomi yang dapat dijaga dengan baik oleh otoritas dalam beberapa tahun terakhir di tengah tantangan ekonomi global. Kedua, kebijakan moneter dan nilai tukar yang ditempuh Bank Indonesia telah efektif meredam gejolak di pasar keuangan. Ketiga, dorongan reformasi struktural yang kuat sejak September 2015 yang mampu memperbaiki iklim investasi secara bertahap dan diperkirakan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dalam jangka menengah.

Fitch Rating adalah satu diantara tiga lembaga pemeringkat yang telah memberikan penilaian layak investasi terhadap peringkat utang negara (sovereign credit rating). Lembaga lain yang telah memberikan peringkat layak investasi yaitu: Moody’s dan Japan Credit Rating Agency (JCRA). Ketiga lembaga tersebut memberikan penilaian BBB- (triple B minus) atau peringkat layak investasi (kategori good credit quality). Dari total 24 peringkat investasi, posisi BBB- berada pada peringkat 10 yang merupakan peringkat layak investasi terendah. Dalam penilaian peringkat utang negara, dapat diketahui bahwa semakin baik peringkat suatu negara menunjukkan negara tersebut semakin kecil risikonya terhadap kegagalan dalam menyelesaikan kewajiban keuangannya terhadap pihak lain.

Nilai tertinggi adalah highest credit quality (AAA) yang menunjukkan ekspektasi risiko terendah. Sedangkan nilai terendah adalah default (D) yang menunjukkan bahwa investasi dari negara tersebut hanya 50% kemungkinannya dapat ditarik kembali. Rating biasanya berhubungan dengan biaya yang harus dikeluarkan oleh negara tersebut ketika menarik utang dari negara asing. Semakin tinggi peringkat utang yang dimiliki, maka akan semakin murah biaya utang yang harus dibayar karena risiko berinvestasinya rendah. Sebaliknya, semakin buruk peringkat utang yang dimiliki maka akan semakin tinggi biaya utang yang harus dibayar karena negara tersebut berisiko tinggi dalam investasi.

Di sisi lain, pada pertengahan tahun lalu S&P’s masih memberikan peringkat utang Indonesia dalam posisi BB- (double B minus). Level ini juga dimaknai sebagai level teratas untuk peringkat kredit spekulatif atau satu level dibawah peringkat layak investasi (investment grade). Peringkat dari S&P yang diraih tahun ini sama dengan peringkat pada tahun sebelumnya. Peringkat ini mengindikasikan adanya kemungkinan risiko kredit yang berkembang, khususnya yang diakibatkan perubahan ekonomi. Catatan penting yang diberikan S&P terutama dari sisi kebijakan fiskal bahwa Pemerintah masih memiliki risiko peningkatan defisit disebabkan oleh realisasi pendapatan negara yang belum memenuhi target. S&P’s menyatakan bahwa peningkatan rating dimungkinkan apabila momentum perbaikan tata kelola kelembagaan, khususnya kerangka kebijakan fiskal, dapat menghasilkan pengeluaran pemerintah yang berkualitas, penurunan tren defisit fiskal, moderasi utang pemerintah dan terjaganya kewajiban kontijensi fiskal.

Dengan melihat strategi anggaran yang menerapkan kebijakan anggaran ekspansif dan porsi utang luar negeri yang masih cukup tinggi, maka Indonesia sangat berkepentingan untuk memperoleh perbaikan peringkat kredit dari waktu ke waktu. Dengan perbaikan tersebut, Indonesia semakin menarik bagi investor ataupun kreditor untuk menempatkan dananya dalam instrumen investasi (misalnya: Surat Utang Negara dan Sukuk Negara) maupun pembiayaan terhadap proyek-proyek Pemerintah. Perbaikan peringkat kredit biasanya juga berhubungan dengan biaya peminjaman dana, semakin tinggi peringkat kredit biaya peminjaman dana akan semakin murah. Dengan begitu, perbaikan peringkat kredit akan memberikan kesempatan kepada Pemerintah untuk memperoleh pembiayaan dari investor/kreditor internasional dengan biaya yang lebih efisien.

Menjaga Level Defisit

Catatan S&P’s atas kondisi fiskal Pemerintah perlu mendapat perhatian, bukan hanya untuk memperoleh perbaikan peringkat kredit namun juga bertujuan untuk penguatan struktur APBN agar menjadi lebih kredibel. Diakui bersama bahwa kondisi perekonomian global yang masih melambat pada tahun 2016 banyak berdampak terhadap pencapaian target APBN baik penerimaan, pengeluaran maupun pembiayaan. Beberapa ekonom mencatat bahwa setidaknya dalam lima tahun terakhir realisasi defisit anggaran cenderung meningkat. Penyebabnya, rata-rata realisasi belanja tumbuh di kisaran 5 persen, sementara realisasi pendapatan negara hanya tumbuh kisaran 3 persen. Kondisi ini menyebabkan target defisit APBN terus mengalami revisi seperti pada defisit APBNP 2015 yang ditargetkan 1,9 persen terhadap PDB kemudian direvisi menjadi 2,59 persen. Pada APBN-P 2016 pemerintah kembali menargetkan defisit anggaran sebesar 2,35 persen dan direvisi menjadi 2,7 persen. Perubahan tren defisit APBN ini dikhawatirkan oleh S&P’s akan menjadi beban APBN di masa mendatang yang akan menyebabkan ruang fiskal untuk menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi menjadi semakin sempit.

Pada praktiknya, menjaga level defisit APBN bukan perkara yang mudah karena berhubungan dengan instrumen fiskal lainnya yaitu penerimaan dan pengeluaran serta memerlukan sinergi bersama antara otoritas fiskal dan moneter. Beberapa langkah yang telah diterapkan Kementerian Keuangan seperti Tax Amnesty dan rasionalisasi belanja Pemerintah pada pertengahan hingga akhir tahun 2016 cukup banyak membantu agar level defisit tidak melebihi batas yang telah ditetapkan yaitu 3 persen terhadap PDB.

Dalam kondisi perekonomian yang tengah melambat, penerapan anggaran ekspansif yang memposisikan belanja negara lebih besar dari pendapatan negara sebenarnya sangat diperlukan. Idealnya, dengan penerapan anggaran ekspansif akan mendorong produktivitas nasional yang disebabkan oleh dorongan permintaan akan barang dan jasa dari Pemerintah. Peningkatan produktivitas ini selanjutnya diharapkan berdampak terhadap meningkatnya penerimaan negara dan menurunnya defisit APBN. Namun kondisi ideal tersebut saat ini belum dapat dicapai. Dalam beberapa tahun terakhir yang terjadi justru defisit APBN mengalami penambahan. Beberapa pihak menilai bahwa hal ini disebabkan karena dana yang ditarik dari utang masih banyak digunakan untuk menutup pembayaran bunga dan utang yang telah jatuh tempo.

Dalam rangka menerapkan anggaran ekspansif yang lebih bermanfaat, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam beberapa kesempatan menyampaikan beberapa strategi yang akan diterapkan di tahun 2017 diantaranya adalah pemanfaatan belanja negara untuk hal-hal yang produktif sehingga memberikan multiplier effect yang cukup luas seperti belanja untuk pembangunan infrastruktur, memperkuat desentralisasi fiskal dan pemberdayaan masyarakat. Disisi lain, belanja barang yang digunakan untuk operasional Pemerintah akan dilakukan seefisien mungkin.

Melalui amnesty pajak, diharapkan menjadi momentum yang dapat memperkuat tax based dan tax compliant yang berdampak terhadap peningkatan penerimaan pajak di masa depan. Hal lain yang  tidak kalah penting adalah memanfaatkan instrumen pembiayaan untuk pengeluaran produktif diantaranya adalah pembangunan infrastruktur. Semua langkah yang akan diterapkan di tahun 2017 tersebut diharapkan akan mendukung terjadinya kesinambungan fiskal sehingga level defisit dapat dipertahankan sesuai yang telah dicanangkan dalam APBN. Perbaikan peringkat kredit oleh S&P’s diharapkan menjadi another beneficial impact. (www.kemenkeu.go.id) *) Tulisan adalah pendapat pribadi 

BERITA TERKAIT

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…

BERITA LAINNYA DI Opini

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…