Komunikasi Kebijakan Publik

Komunikasi Kebijakan Publik
Riuhnya masyarakat merespon kebijakan pemerintah terkait kenaikan biaya pengurusan surat-surat kendaraan bermotor seperti STNK/BPKB telah menimbulkan permasalahan sendiri di lingkungan Istana. Pasalnya, keluarnya PP No 60/2106 yang merupakan landasan kenaikan biaya tersebut, ternyata belum sepenuhnya dipahami oleh sejumlah petinggi negara.  Masalah krusial ini terletak pada koordinasi komunikasi publik lintas sektoral di kalangan birokrasi pemerintah saat ini. 
Seperti kasus jenis dan tarif penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang diberlakukan 6 Januari 2017, membuat banyak warga terperanjat dan kaget. Paradoks ini juga diperkuat oleh perbedaan pesan publik yang disampaikan elite yang menjadi representasi pemerintah. Misalnya  pada 5 Januari 2017, Presiden Jokowi sendiri mempertanyakan tingginya kenaikan tarif STNK dan BPKB, padahal PP itu ditandatangani oleh presiden. 
Sementara itu, pihak Kepolisian dan Kemenkeu juga penjelasannya mengambang, tidak kokoh dan kurang memberi argumentasi yang sifatnya menunjukkan pola dua arah dan berorientasi pada keuntungan dua pihak (mutual benefit) antara pemerintah dan rakyat yang terdampak oleh kebijakan. Mundur ke beberapa waktu lalu, bukan kali pertama saja persoalan komunikasi menjadi isu krusial yang harus diatasi secara serius pemerintah saat ini. 
Di waktu lalu pernah terjadi polemik terbuka terjadi antara Rizal Ramli yang saat itu Menteri Kemaritiman dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral(ESDM) saat itu, Sudirman Said, perihal pembangunan listrik 35.000 megawatt. Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla juga sempat dikritik karena perbedaan pesan publiknya saat keluarnya Perpres Nomor 39/ 2015 tentang pemberian fasilitas kenaikan tunjangan uang muka kendaraan bagi pejabat. 
Presiden Jokowi menyatakan hanya menandatangani dokumen yang sudah diparaf bawahannya. Presiden tidak tahu persis isinya. Sementara Wakil Presiden menyatakan tidak mengetahui ada kenaikan tunjangan tersebut. Pun demikian soal pemutusan kerja sama militer antara TNI dan ADF (Australian Defence Force). 
Tentu, tak akan ada pemerintah yang bisa bekerja sempurna. Selalu ada kelemahan, namun demikian harus meminimalisasi kesalahan dari halhal yang sesungguhnya bisa diantisipasi sejak dini. Salah satu yang bisa diantisipasi adalah koordinasi komunikasi. Kebijakan publik tertentu boleh diambil pemerintah karena punya otoritas untuk itu. Clarke E Cochran dalam American Public Policy: Introduction (1999), menyebutkan kebijakan publik adalah hasil (outcome) dari pertarungan di dalam pemerintahan sehingga seseorang mendapatkan sesuatu (who gets what). Lahirnya sebuah kebijakan tentu tidak di ruang hampa, ada pergulatan, ada dialektika bahkan mungkin pertarungan nilai, gagasan dan kepentingan. 
Tetapi saat kebijakan diambil dan sudah menjadi “barang jadi” maka pemerintah harusnya memiliki pandangan dan sikap yang sama, tidak membingungkan rakyat yang terdampak kebijakan. Hal ini juga diamini Thomas R Dye dalam bukunya Understanding Public Policy, (1992) bahwa kebijakan publik itu soal whatever governments choose to do or not to do! Di sinilah letak pilihan harus ajek. 
Jangan plin plan dan jangan mengambang, saat kebijakan sudah diambil maka harus ada komunikasi strategis untuk menyosialisasikannya dan mengimplementasikannya dengan optimal. Setiap kebijakan mulai saat menjadi agenda, perumusan, penetapan, pelaksanaan, hingga evaluasi harus menjadikan komunikasi sebagai faktor penting dan berperan signifikan. 
Bagaimanapun, persoalan informasi, koordinasi, sosialisasi, dan persuasi menjadi contoh bahwa komunikasi tidak boleh diabaikan dari rangkaian proses pengambilan dan implementasi kebijakan pemerintah. Kebijakan publik yang diambil pemerintah banyak yang berantakan dan tidak menimbulkan kepercayaan publik karena salah urus komunikasi. 
Dalam budaya organisasi termasuk mengelola birokrasi pemerintahan penting untuk menjaga performa komunikatif.  Ada lima indikator dalam mengevaluasi performa komunikatif, yakni performa ritual, hasrat, sosial, politis dan enkulturasi. Jika tidak mampu menyinergikan kelimanya maka performa komunikatifnya akan buruk. Saat ini penting bagi Jokowi untuk mengoptimalkan peran komunikasi dalam setiap kebijakan yang dikeluarkannya. 
Narasi pemerintah yang menjadi pesan untuk publik saat diimplementasikannya sebuah kebijakan harus jelas, argumentatif dan dirasakan niat baik dan niat politiknya untuk membangun pemahaman bersama (mutual understanding). Sesungguhnya, Presiden Jokowi sudah pernah mengeluarkan Inpres No 9/2015 tentang Pengelolaan Komunikasi Publik. 
Salah satu yang menarik dari inpres tersebut adalah pentingnya narasi tunggal dan dalam konteks ini Kominfo diberi tugas sebagai penyusun narasi tunggal tersebut. Dalam skema pengelolaan komunikasi publik tersebut, kementerian, lembaga dan pemerintah daerah merujuk ke Inpres tersebut harus melakukan enam tindakan, yakni penyediaan data substantif program prioritas, monitoring media dan analisis data, koordinasi komunikasi publik, narasi tunggal, diseminasi informasi publik dan monitoring evaluasi pelaporan. Jadi, kesadaran berwacana untuk membuat tata kelola komunikasi publik sebenarnya sudah ada pedoman Inpres tersebut.  

Riuhnya masyarakat merespon kebijakan pemerintah terkait kenaikan biaya pengurusan surat-surat kendaraan bermotor seperti STNK/BPKB telah menimbulkan permasalahan sendiri di lingkungan Istana. Pasalnya, keluarnya PP No 60/2106 yang merupakan landasan kenaikan biaya tersebut, ternyata belum sepenuhnya dipahami oleh sejumlah petinggi negara.  Masalah krusial ini terletak pada koordinasi komunikasi publik lintas sektoral di kalangan birokrasi pemerintah saat ini. 

Seperti kasus jenis dan tarif penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang diberlakukan 6 Januari 2017, membuat banyak warga terperanjat dan kaget. Paradoks ini juga diperkuat oleh perbedaan pesan publik yang disampaikan elite yang menjadi representasi pemerintah. Misalnya  pada 5 Januari 2017, Presiden Jokowi sendiri mempertanyakan tingginya kenaikan tarif STNK dan BPKB, padahal PP itu ditandatangani oleh presiden. 

Sementara itu, pihak Kepolisian dan Kemenkeu juga penjelasannya mengambang, tidak kokoh dan kurang memberi argumentasi yang sifatnya menunjukkan pola dua arah dan berorientasi pada keuntungan dua pihak (mutual benefit) antara pemerintah dan rakyat yang terdampak oleh kebijakan. Mundur ke beberapa waktu lalu, bukan kali pertama saja persoalan komunikasi menjadi isu krusial yang harus diatasi secara serius pemerintah saat ini. 

Di waktu lalu pernah terjadi polemik terbuka terjadi antara Rizal Ramli yang saat itu Menteri Kemaritiman dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral(ESDM) saat itu, Sudirman Said, perihal pembangunan listrik 35.000 megawatt. Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla juga sempat dikritik karena perbedaan pesan publiknya saat keluarnya Perpres Nomor 39/ 2015 tentang pemberian fasilitas kenaikan tunjangan uang muka kendaraan bagi pejabat. 

Presiden Jokowi menyatakan hanya menandatangani dokumen yang sudah diparaf bawahannya. Presiden tidak tahu persis isinya. Sementara Wakil Presiden menyatakan tidak mengetahui ada kenaikan tunjangan tersebut. Pun demikian soal pemutusan kerja sama militer antara TNI dan ADF (Australian Defence Force). 

Tentu, tak akan ada pemerintah yang bisa bekerja sempurna. Selalu ada kelemahan, namun demikian harus meminimalisasi kesalahan dari halhal yang sesungguhnya bisa diantisipasi sejak dini. Salah satu yang bisa diantisipasi adalah koordinasi komunikasi. Kebijakan publik tertentu boleh diambil pemerintah karena punya otoritas untuk itu. Clarke E Cochran dalam American Public Policy: Introduction (1999), menyebutkan kebijakan publik adalah hasil (outcome) dari pertarungan di dalam pemerintahan sehingga seseorang mendapatkan sesuatu (who gets what). Lahirnya sebuah kebijakan tentu tidak di ruang hampa, ada pergulatan, ada dialektika bahkan mungkin pertarungan nilai, gagasan dan kepentingan. 

Tetapi saat kebijakan diambil dan sudah menjadi “barang jadi” maka pemerintah harusnya memiliki pandangan dan sikap yang sama, tidak membingungkan rakyat yang terdampak kebijakan. Hal ini juga diamini Thomas R Dye dalam bukunya Understanding Public Policy, (1992) bahwa kebijakan publik itu soal whatever governments choose to do or not to do!  

Jangan plin plan dan jangan mengambang, saat kebijakan sudah diambil maka harus ada komunikasi strategis untuk menyosialisasikannya dan mengimplementasikannya dengan optimal. Setiap kebijakan mulai saat menjadi agenda, perumusan, penetapan, pelaksanaan, hingga evaluasi harus menjadikan komunikasi sebagai faktor penting dan berperan signifikan. 

Bagaimanapun, persoalan informasi, koordinasi, sosialisasi, dan persuasi menjadi contoh bahwa komunikasi tidak boleh diabaikan dari rangkaian proses pengambilan dan implementasi kebijakan pemerintah. Kebijakan publik yang diambil pemerintah banyak yang berantakan dan tidak menimbulkan kepercayaan publik karena salah urus komunikasi. 

Dalam budaya organisasi termasuk mengelola birokrasi pemerintahan penting untuk menjaga performa komunikatif.  Ada lima indikator dalam mengevaluasi performa komunikatif, yakni performa ritual, hasrat, sosial, politis dan enkulturasi. Jika tidak mampu menyinergikan kelimanya maka performa komunikatifnya akan buruk. Saat ini penting bagi Jokowi untuk mengoptimalkan peran komunikasi dalam setiap kebijakan yang dikeluarkannya. 

Narasi pemerintah yang menjadi pesan untuk publik saat diimplementasikannya sebuah kebijakan harus jelas, argumentatif dan dirasakan niat baik dan niat politiknya untuk membangun pemahaman bersama (mutual understanding). Sesungguhnya, Presiden Jokowi sudah pernah mengeluarkan Inpres No 9/2015 tentang Pengelolaan Komunikasi Publik. 

Salah satu yang menarik dari inpres tersebut adalah pentingnya narasi tunggal dan dalam konteks ini Kominfo diberi tugas sebagai penyusun narasi tunggal tersebut. Dalam skema pengelolaan komunikasi publik tersebut, kementerian, lembaga dan pemerintah daerah merujuk ke Inpres tersebut harus melakukan enam tindakan, yakni penyediaan data substantif program prioritas, monitoring media dan analisis data, koordinasi komunikasi publik, narasi tunggal, diseminasi informasi publik dan monitoring evaluasi pelaporan. Jadi, kesadaran berwacana untuk membuat tata kelola komunikasi publik sebenarnya sudah ada pedoman Inpres tersebut.  

BERITA TERKAIT

Kedewasaan Berdemokrasi

Masyarakat dan segenap elemen bangsa Indonesia saatnya harus menunjukkan sikap kedewasaan dalam menjunjung tinggi asas serta nilai dalam berdemokrasi di…

Modernisasi Pertanian

Sektor pertanian di dalam negeri memiliki peranan yang vital dalam perekonomian domestik. Sektor pertanian menjadi sektor yang strategis menyediakan bahan…

Normalisasi Harga Pangan

Harga pangan di sejumlah wilayah Indonesia mengalami kenaikan dalam beberapa waktu terakhir, terlebih menjelang Ramadhan dan Lebaran Idul Fitri. Tidak…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Kedewasaan Berdemokrasi

Masyarakat dan segenap elemen bangsa Indonesia saatnya harus menunjukkan sikap kedewasaan dalam menjunjung tinggi asas serta nilai dalam berdemokrasi di…

Modernisasi Pertanian

Sektor pertanian di dalam negeri memiliki peranan yang vital dalam perekonomian domestik. Sektor pertanian menjadi sektor yang strategis menyediakan bahan…

Normalisasi Harga Pangan

Harga pangan di sejumlah wilayah Indonesia mengalami kenaikan dalam beberapa waktu terakhir, terlebih menjelang Ramadhan dan Lebaran Idul Fitri. Tidak…