FITCH NAIKKAN PERINGKAT INDONESIA MENJADI MENINGKAT POSITIF - Indef: Perubahan Belum Signifikan

FITCH NAIKKAN PERINGKAT INDONESIA MENJADI MENINGKAT POSITIF
Indef: Perubahan Belum Signifikan
Jakarta - Walau pemerintah merasa bangga atas perubahan peringkat investasi yang dilakukan oleh lembaga pemeringkat dunia, Fitch Rating, dari posisi stable menjadi positif. Kalangan pengamat menilai perubahan peringkat tersebut belum signifikan, bahkan ekonomi Indonesia saat ini masih memprihatinkan. 
NERACA
 Lembaga pemeringkat internasional itu menyebutkan kondisi Indonesia sekarang menjadi Investment Grade (layak investasi) alias BBB. Namun demikian, menurut peneliti Institute of Development for Economic and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara, apa yang dilakukan oleh Fitch itu hanya mengubah outlook dari stabil ke positif, sementara rating utangnya tidak berubah BBB.
“Artinya, dengan perubahan status itu tidak ada perubahan yang betul-betul signifikan,” ujar Bhima di Jakarta, Minggu (25/12).
Menurut dia, Fitch sendiri memang mengapresiasi kondisi makro ekonomi Indonesia. Namun demikian, soal kredibilitas fiskal Fitch masih sama dengan tanggapan dari lembaga rating dunia lainnya, seperti Standard n Poor (S&P). “Bahwa disebutkan oleh S&P sama juga oleh Fitch adalah pemerintah Indonesia masih sangat bermasalah dengan tumpukan utang luar negeri (ULN) dan rendahnya penerimaan dari sektor pajak,” ujarnya.
Dengan kondisi demikian, menurut Bhima,  berarti status investment grade yang disandang oleh pemerintah Indonesia sangat diragukan. “Makanya menurut Standard n Poor, sampai saat ini Indonesia belum masuk kriteria sebagai investment grade sama sekali.”
Untuk itu, kata dia, dalam melihat rating status investmen grade atau status layak investasi jangan hanya melihat dari satu lembaga pemeringkat. “Mestinya dalam melihat rating utang Indonesia harus menyeluruh. Harus dilihat ke semua lembaga rating, baik itu Fitch, Standar n Poor, maupun Moody’s,” tutur dia. 
Sebelumnya, Menko Perekonomian Darmin Nasution memandang positif perbaikan outlook rating kredit jangka panjang pemerintah (outlook sovereign credit rating) dari lembaga pemeringkat Fitch Ratings (Fitch). 
Sebelumnya, Fitch menaikkan Outlook Sovereign Credit Rating Indonesia dari Stable menjadi Positive, sekaligus mengafirmasi rating pada level BBB- (Investment Grade) pada 21 Desember 2016. Fitch sebelumnya mempertahankan Sovereign Credit Rating Indonesia pada BBB-/stable outlook pada tanggal 23 Mei 2016 lalu.
"Bagus kan. Ini membuktikan bahwa dalam dunia yang sedang bergejolak ini, kita bisa naik menjadi membaik dari stabil menjadi positif," ujarnya seperti dikutip laman cnnindonesia.com, akhir pekan lalu. 
Menurut Darmin, perbaikan outlook dari Fitch menandakan perekonomian Indonesia dianggap dunia internasional memiliki kesempatan untuk terus membaik. Dia berharap ke depan Fitch bisa meningkatkan peringkat Indonesia. Meskipun demikian, Darmin memahami bahwa hal itu memerlukan waktu.Peringkat ini, menurut BI, dianggap baik. Namun hal-hal yang menjadi fokus perhatian dari Fitch seperti utang luar negeri (ULN) ke depannya harus dikelola lebih prudent atau hati-hati.
Tidak hanya itu. Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara menilai, posisi ULN saat ini masih dianggap relatif aman. Namun dalam beberapa tahun sebelumnya, utang pemerintah nyaris tak terkontrol.
“Seperti yang terjadi pada saat periode tahun 2009-2014 lalu dimana ULN dari swasta sangat tinggi. Makanya, kita selalu ingatkan agar tetap hati-hati. Tapi kemudian kan berhasil dikendalikan dengan aturan BI terkait hedging (lindung nilai),” ujar Mirza.
Sejauh ini, menurut dia, ULN swasta dan pemerintah memang masih di bawah 30% terhadap produk domestik bruto (PDB) atau sekitar 28%. Rasio ULN itu jika dibandingkan dengan negara-negara maju seperti Jepang dan Amerika Serikat (AS) masih tergolong kecil. Karena ULN-nya Jepang mencapai 200% terhadap PDB, dan AS tercatat 60% terhadap PDB.
“Kalau Indonesia, untuk utang pemerintah dalam negeri dan luar negeri jumlahnya tidak lebih dari 30% Itu suatu angka yang relatif sehat. Tapi ke depan harus hati-hati,” ujarnya. 
“Hal-hal yang selalu diperhatikan dalam credit rating salah satunya terkait utan luar negeri (ULN). ULN itu baik pemerintah maupun swasta ya,” ujar Mirza. 
Selain masalah ULN, lanjut Mirza, credit rating itu biasanya juga melihat upaya dalam menggerakan sektor riil. Sejauh ini, pemerintah sudah banyak melakukan upaya deregulasi.
“Memang belum semua berjalan efektif apa yg dijanjikan dalam deregulasi itu. Akan tetapi, pemerintah mengupayakan paket-paket kebijakan yang belum jalan itu juga dievaluasi dan dilakukan perbaikan. Komitmen seperti itu (perbaikan deregulasi) memang harus nyata,” ujarnya. 
Tantangan Berat
Di sisi lain, pengamat ekonomi UI Faisal Basri mengatakan, perekonomian Indonesia kini menghadapi tantangan yang berat karena tekanan dari luar maupun dalam negeri. Ia menilai pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi hanya bisa dicapai dengan banyak menarik modal asing.
“Kini globalisasi meredup. Justru negara-negara kampiun liberalisasi ekonomi menjadi simbol deglobalisasi. Integrasi perekonomian global dihadang oleh gejala fragmentasi,” ujarnya seperti dikutip dalam situs pribadinya, pekan lalu. 
Menurut dia, gejala makin terlihat ketika Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump, sesumbar akan membatalkan perjanjian Trans Pacific Partnership (TPP) pada hari pertama menjabat sebagai presiden. 
Trump pun akan meninjau perjanjian North American Free Trade Agreement (NAFTA) yang beranggotakan tiga negara (Amerika Serikat, Kanada, dan Meksiko). Bahkan, Donald Trump berencana membangun tembok pemisah di perbatasan dengan Meksiko.
Sementara, rakyat Inggris telah menentukan pilihan lewat Referendum 23 Juni 2016 untuk keluar dari keanggotaan Uni Eropa. Semakin banyak pula negara Uni Eropa yang menolak gelombang pengungsi akibat perang saudara tak berkesudahan di Timur Tengah.
“Kemunculan populisme yang meluas di Eropa. Fenomena ini dijumpai mulai Swedia yang sangat makmur hingga Yunani yang sedang dilanda krisis ekonomi parah,” ujarnya. 
Faisal menjelaskan, salah satu pengertian yang lebih umum tentang populism adalah kecurigaan dan permusuhan terhadap elit, politik mainstream, dan lembaga-lembaga mapan. Populisme melihat dirinya berbicara untuk orang “biasa” yang dilupakan atau tersingkirkan dan sering memandang dirinya sebagai suara patriotisme sejati.
“Kajian International Monetary Fund (IMF) menunjukkan pada dasawarsa 1990-an, 1% pertumbuhan global meningkatkan volume perdagangan sebesar 2,5%, sedangkan dalam beberapa tahun terakhir, pertumbuhan yang sama hanya meningkatkan perdagangan sebesar 0,7%,” ujarnya. 
Faisal menyatakan, tekanan pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah serta praktek kapitalisme kroni yang semakin marak menyebabkan ketimpangan pendapatan dan kekayaan memburuk. 
“Satu persen orang terkaya menguasai 50,3% kekayaan nasional dan 10% terkaya menguasai 77% kekayaan nasional. Kondisi demikian tak boleh dibiarkan karena menjadi benih-benih subur kemunculan radikalisme yang mengancam harmoni sosial dan kerawanan politik,” katanya.
Sementara, pembentukan modal tetap bruto atau investasi sebagai penyumbang terbesar kedua terhadap perekonomian sudah empat tahun tumbuh rendah, tak pernah menembus 7%, bahkan lebih kerap di bawah 5%. Itu pun, dalam lima tahun terakhir, sebagian besar (74%) dalam bentuk bangunan, sedangkan dalam bentuk mesin dan peralatan hanya 11%. 
Faisal juga menggarisbawahi, belanja pemerintah yang terlalu agresif seraya penerimaan pajak tak bisa dipaksakan naik tinggi membuat defisit APBN meningkat hingga mendekati 3%PDB, sehingga utang pemerintah pun mau tak mau menggelembung. 
“Konsekuensi logisnya, dana masyarakat semakin banyak yang berpindah dari perbankan ke kas pemerintah, yang pada gilirannya membuat perbankan tidak bisa memacu penyaluran kredit. Akibatnya terjadi crowding out sehingga menekan pertumbuhan ekonomi,” jelasnya.
Faisal menuturkan, mau tidak mau, jika hendak memaksakan pertumbuhan lebih tinggi, maka pemerintah harus mengundang lebih banyak modal asing. “Di tengah perekonomian dunia yang serba tidak menentu, stabilitas makroekonomi menjadi taruhannya, apalagi kebanyakan modal asing yang masuk adalah portofolio yang gampang masuk tetapi juga gampang keluar,” ujarnya. 
Apabila mengacu pada RPJMN, pemerintah memasang target rata-rata pertumbuhan ekonomi sebesar 6,9% selama periode 2015-2019. Untuk tahun depan, idealnya ekonomi nasional tumbuh 7,1% dan ditargetkan naik menjadi 7,5% pada 2018 dan 8% pada 2019. 
Namun implementasinya, pemerintah hanya berani memasang target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2% pada 2017. Sementara pada 2018 dan 2019 hanya naik tipis masing-masing menjadi 5,5% dan 6%. 
Menurut dia, perencanaan ekonomi seperti ini tidak bagus. Terlebih, Bank Dunia melaporkan, Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita Indonesia sejak 2013 hingga 2015 turun signifikan, dari sebesar US$12 ribu menjadi US$10 ribu. 
"Ujung tombak selama ini adalah investasi swasta, bukan dari program pemerintah, namun hal tersebut justru diganggu terus, alhasil pertumbuhan kredit terus turun hingga 6,8%," ujarnya. 
Dia juga memberikan analogi bahwa, jika ingin menumbuhkan hasil yang bagus belajar seperti atlet: terus berlatih, disiplin, jaga asupan makanan, dan terus berkompetisi.
"Contohnya Michael Phelps, yang meraih hasil menakjubkan di olimpiade juga bukan kebetulan, tetapi terus berlatih dan disiplin, begitu juga perekonomian, semua sektor juga harus disiplin, asupan aliran dana juga harus terjaga, tidak bisa hanya fokus di satu sisi saja," ujarnya. 
Faisal mengingatkan, negara-negara berkembang di Asia seperti Vietnam dan FIlipina bisa melakukan hal tersebut. Pemerintah Indonesia, seharusnya cepat sadar akan permasalahan yang mengganjal selama ini dan segera dicari penyebab, serta solusinya. bari/mohar/fba

Jakarta - Walau pemerintah merasa bangga atas perubahan peringkat investasi yang dilakukan oleh lembaga pemeringkat dunia, Fitch Rating, dari posisi stable menjadi positif. Kalangan pengamat menilai perubahan peringkat tersebut belum signifikan, bahkan ekonomi Indonesia saat ini masih memprihatinkan. 

NERACA

 Lembaga pemeringkat internasional itu menyebutkan kondisi Indonesia sekarang menjadi Investment Grade (layak investasi) alias BBB. Namun demikian, menurut peneliti Institute of Development for Economic and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara, apa yang dilakukan oleh Fitch itu hanya mengubah outlook dari stabil ke positif, sementara rating utangnya tidak berubah BBB.

“Artinya, dengan perubahan status itu tidak ada perubahan yang betul-betul signifikan,” ujar Bhima di Jakarta, Minggu (25/12).

Menurut dia, Fitch sendiri memang mengapresiasi kondisi makro ekonomi Indonesia. Namun demikian, soal kredibilitas fiskal Fitch masih sama dengan tanggapan dari lembaga rating dunia lainnya, seperti Standard n Poor (S&P). “Bahwa disebutkan oleh S&P sama juga oleh Fitch adalah pemerintah Indonesia masih sangat bermasalah dengan tumpukan utang luar negeri (ULN) dan rendahnya penerimaan dari sektor pajak,” ujarnya.

Dengan kondisi demikian, menurut Bhima,  berarti status investment grade yang disandang oleh pemerintah Indonesia sangat diragukan. “Makanya menurut Standard n Poor, sampai saat ini Indonesia belum masuk kriteria sebagai investment grade sama sekali.”

Untuk itu, kata dia, dalam melihat rating status investmen grade atau status layak investasi jangan hanya melihat dari satu lembaga pemeringkat. “Mestinya dalam melihat rating utang Indonesia harus menyeluruh. Harus dilihat ke semua lembaga rating, baik itu Fitch, Standar n Poor, maupun Moody’s,” tutur dia. 

Sebelumnya, Menko Perekonomian Darmin Nasution memandang positif perbaikan outlook rating kredit jangka panjang pemerintah (outlook sovereign credit rating) dari lembaga pemeringkat Fitch Ratings (Fitch). 

Sebelumnya, Fitch menaikkan Outlook Sovereign Credit Rating Indonesia dari Stable menjadi Positive, sekaligus mengafirmasi rating pada level BBB- (Investment Grade) pada 21 Desember 2016. Fitch sebelumnya mempertahankan Sovereign Credit Rating Indonesia pada BBB-/stable outlook pada tanggal 23 Mei 2016 lalu.

"Bagus kan. Ini membuktikan bahwa dalam dunia yang sedang bergejolak ini, kita bisa naik menjadi membaik dari stabil menjadi positif," ujarnya seperti dikutip laman cnnindonesia.com, akhir pekan lalu. 

Menurut Darmin, perbaikan outlook dari Fitch menandakan perekonomian Indonesia dianggap dunia internasional memiliki kesempatan untuk terus membaik. Dia berharap ke depan Fitch bisa meningkatkan peringkat Indonesia. Meskipun demikian, Darmin memahami bahwa hal itu memerlukan waktu.Peringkat ini, menurut BI, dianggap baik. Namun hal-hal yang menjadi fokus perhatian dari Fitch seperti utang luar negeri (ULN) ke depannya harus dikelola lebih prudent atau hati-hati.

Tidak hanya itu. Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara menilai, posisi ULN saat ini masih dianggap relatif aman. Namun dalam beberapa tahun sebelumnya, utang pemerintah nyaris tak terkontrol.

“Seperti yang terjadi pada saat periode tahun 2009-2014 lalu dimana ULN dari swasta sangat tinggi. Makanya, kita selalu ingatkan agar tetap hati-hati. Tapi kemudian kan berhasil dikendalikan dengan aturan BI terkait hedging (lindung nilai),” ujar Mirza.

Sejauh ini, menurut dia, ULN swasta dan pemerintah memang masih di bawah 30% terhadap produk domestik bruto (PDB) atau sekitar 28%. Rasio ULN itu jika dibandingkan dengan negara-negara maju seperti Jepang dan Amerika Serikat (AS) masih tergolong kecil. Karena ULN-nya Jepang mencapai 200% terhadap PDB, dan AS tercatat 60% terhadap PDB.

“Kalau Indonesia, untuk utang pemerintah dalam negeri dan luar negeri jumlahnya tidak lebih dari 30% Itu suatu angka yang relatif sehat. Tapi ke depan harus hati-hati,” ujarnya. 

“Hal-hal yang selalu diperhatikan dalam credit rating salah satunya terkait utan luar negeri (ULN). ULN itu baik pemerintah maupun swasta ya,” ujar Mirza. 

Selain masalah ULN, lanjut Mirza, credit rating itu biasanya juga melihat upaya dalam menggerakan sektor riil. Sejauh ini, pemerintah sudah banyak melakukan upaya deregulasi.

“Memang belum semua berjalan efektif apa yg dijanjikan dalam deregulasi itu. Akan tetapi, pemerintah mengupayakan paket-paket kebijakan yang belum jalan itu juga dievaluasi dan dilakukan perbaikan. Komitmen seperti itu (perbaikan deregulasi) memang harus nyata,” ujarnya. 

Tantangan Berat

Di sisi lain, pengamat ekonomi UI Faisal Basri mengatakan, perekonomian Indonesia kini menghadapi tantangan yang berat karena tekanan dari luar maupun dalam negeri. Ia menilai pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi hanya bisa dicapai dengan banyak menarik modal asing.

“Kini globalisasi meredup. Justru negara-negara kampiun liberalisasi ekonomi menjadi simbol deglobalisasi. Integrasi perekonomian global dihadang oleh gejala fragmentasi,” ujarnya seperti dikutip dalam situs pribadinya, pekan lalu. 

Menurut dia, gejala makin terlihat ketika Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump, sesumbar akan membatalkan perjanjian Trans Pacific Partnership (TPP) pada hari pertama menjabat sebagai presiden. 

Trump pun akan meninjau perjanjian North American Free Trade Agreement (NAFTA) yang beranggotakan tiga negara (Amerika Serikat, Kanada, dan Meksiko). Bahkan, Donald Trump berencana membangun tembok pemisah di perbatasan dengan Meksiko.

Sementara, rakyat Inggris telah menentukan pilihan lewat Referendum 23 Juni 2016 untuk keluar dari keanggotaan Uni Eropa. Semakin banyak pula negara Uni Eropa yang menolak gelombang pengungsi akibat perang saudara tak berkesudahan di Timur Tengah.

“Kemunculan populisme yang meluas di Eropa. Fenomena ini dijumpai mulai Swedia yang sangat makmur hingga Yunani yang sedang dilanda krisis ekonomi parah,” ujarnya. 

Faisal menjelaskan, salah satu pengertian yang lebih umum tentang populism adalah kecurigaan dan permusuhan terhadap elit, politik mainstream, dan lembaga-lembaga mapan. Populisme melihat dirinya berbicara untuk orang “biasa” yang dilupakan atau tersingkirkan dan sering memandang dirinya sebagai suara patriotisme sejati.

“Kajian International Monetary Fund (IMF) menunjukkan pada dasawarsa 1990-an, 1% pertumbuhan global meningkatkan volume perdagangan sebesar 2,5%, sedangkan dalam beberapa tahun terakhir, pertumbuhan yang sama hanya meningkatkan perdagangan sebesar 0,7%,” ujarnya. 

Faisal menyatakan, tekanan pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah serta praktek kapitalisme kroni yang semakin marak menyebabkan ketimpangan pendapatan dan kekayaan memburuk. 

“Satu persen orang terkaya menguasai 50,3% kekayaan nasional dan 10% terkaya menguasai 77% kekayaan nasional. Kondisi demikian tak boleh dibiarkan karena menjadi benih-benih subur kemunculan radikalisme yang mengancam harmoni sosial dan kerawanan politik,” katanya.

Sementara, pembentukan modal tetap bruto atau investasi sebagai penyumbang terbesar kedua terhadap perekonomian sudah empat tahun tumbuh rendah, tak pernah menembus 7%, bahkan lebih kerap di bawah 5%. Itu pun, dalam lima tahun terakhir, sebagian besar (74%) dalam bentuk bangunan, sedangkan dalam bentuk mesin dan peralatan hanya 11%. 

Faisal juga menggarisbawahi, belanja pemerintah yang terlalu agresif seraya penerimaan pajak tak bisa dipaksakan naik tinggi membuat defisit APBN meningkat hingga mendekati 3%PDB, sehingga utang pemerintah pun mau tak mau menggelembung. 

“Konsekuensi logisnya, dana masyarakat semakin banyak yang berpindah dari perbankan ke kas pemerintah, yang pada gilirannya membuat perbankan tidak bisa memacu penyaluran kredit. Akibatnya terjadi crowding out sehingga menekan pertumbuhan ekonomi,” jelasnya.

Faisal menuturkan, mau tidak mau, jika hendak memaksakan pertumbuhan lebih tinggi, maka pemerintah harus mengundang lebih banyak modal asing. “Di tengah perekonomian dunia yang serba tidak menentu, stabilitas makroekonomi menjadi taruhannya, apalagi kebanyakan modal asing yang masuk adalah portofolio yang gampang masuk tetapi juga gampang keluar,” ujarnya. 

Apabila mengacu pada RPJMN, pemerintah memasang target rata-rata pertumbuhan ekonomi sebesar 6,9% selama periode 2015-2019. Untuk tahun depan, idealnya ekonomi nasional tumbuh 7,1% dan ditargetkan naik menjadi 7,5% pada 2018 dan 8% pada 2019. 

Namun implementasinya, pemerintah hanya berani memasang target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2% pada 2017. Sementara pada 2018 dan 2019 hanya naik tipis masing-masing menjadi 5,5% dan 6%. 

Menurut dia, perencanaan ekonomi seperti ini tidak bagus. Terlebih, Bank Dunia melaporkan, Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita Indonesia sejak 2013 hingga 2015 turun signifikan, dari sebesar US$12 ribu menjadi US$10 ribu. 

"Ujung tombak selama ini adalah investasi swasta, bukan dari program pemerintah, namun hal tersebut justru diganggu terus, alhasil pertumbuhan kredit terus turun hingga 6,8%," ujarnya. 

Dia juga memberikan analogi bahwa, jika ingin menumbuhkan hasil yang bagus belajar seperti atlet: terus berlatih, disiplin, jaga asupan makanan, dan terus berkompetisi.

"Contohnya Michael Phelps, yang meraih hasil menakjubkan di olimpiade juga bukan kebetulan, tetapi terus berlatih dan disiplin, begitu juga perekonomian, semua sektor juga harus disiplin, asupan aliran dana juga harus terjaga, tidak bisa hanya fokus di satu sisi saja," ujarnya. 

Faisal mengingatkan, negara-negara berkembang di Asia seperti Vietnam dan FIlipina bisa melakukan hal tersebut. Pemerintah Indonesia, seharusnya cepat sadar akan permasalahan yang mengganjal selama ini dan segera dicari penyebab, serta solusinya. bari/mohar/fba

BERITA TERKAIT

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…