BELUM DIDUKUNG PAYUNG HUKUM PERMANEN - CORE Nilai PKE Tidak Efektif

BELUM DIDUKUNG PAYUNG HUKUM PERMANEN
CORE Nilai PKE Tidak Efektif
Jakarta -     Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia menilai enam paket kebijakan ekonomi (PKE) yang diluncurkan pemerintah pada tahun ini ternyata tak berdampak positif terhadap iklim usaha, bahkan mencuatkan masalah baru dan tidak menasional di seluruh negeri ini. 
NERACA
“Memang tidak semua paket tersebut dapat dinilai dampaknya dalam waktu cepat, mengingat sebagian dari paket tersebut terkait perbaikan iklim usaha yang memiliki time lag bagi pelaku usaha,” ujar Akhmad Akbar Susanto, peneliti CORE Indonesia, dalam diskusi Refleksi Ekonomi 2016 di Jakarta, pekan ini. 
Misalnya, menurut dia, dari sisi implentasi belum didukung oleh payung hukum yang bersifat permanen. Serta masih rendahnya sosialisasi kepada pihak yang menjadi objek regulasi. 
Sehingga yang terjadi, kata Akbar, banyak dunia usaha tak tahu adanya deregulasi di satu sektor tertentu. Seperti perbaikan perizinan sudah terjadi, namun mereka tak tahu dan tak merasakan perubahan.
“Bahkan yang lucu lagi, di tingkat pemerintah daerah juga banyak yang masih belum tahu adanya paket kebijakan. Ini yang merugikan dunia usaha. Karena ketika dunia usaha dilayani (dalam investasi) mereka merasa perizinan di Jakarta lebih cepat tapi di daerah tak terjadi,” ujarnya. 
Dia mengatakan, hal itu terjadi karena implementasi kebijakan oleh kementerian/lembaga terkait, berjalan lambat. Selain itu, paket kebijakan juga sulit dievaluasi kemajuannya karena tidak memiliki target waktu yang terukur. Juga tak spesifiknya, pihak-pihak dalam mengimplementasikan paket tersebut.
“Justru ini yang bahaya, mereka asal buat kebijakan. Padahal dampaknya nol besar. Ini seperti pemerintah itu ada di dunia lain. Semangat mereka yang penting ada paket,” ujarnya. 
Dia mencontohkan paket kebijakan X yang semangatnya untuk melindungi pengusaha kecil terkait Daftar Negatif Investasi (DNI), tapi faktanya tidak begitu. “Justru dari kebijakan ini lebih banyak mendorong liberalisasi penanaman modal asing yang justru berpotensi mereduksi peran pengusaha domestik dalan pengembangan ekonomi nasional,” ujarnya. 
Seperti diketahui, pemerintah telah menerbitkan enam PKE di sepanjang tahun ini, yaitu paket kebijakan IX hingga XIV. Paket kebijakan tersebut mencakup kebijakan di sektor industri, investasi, peningkatan daya beli masyarakat, logistik, peningkatan ekspor, dan pariwisata nasional.
Sejatinya, kebijakan-kebijakan tersebut diharapkan mampu mengurangi berbagai hambatan kegiatan ekonomi, baik konsumsi, investasi, produksi, maupun perdagangan internasional. Sehingga, ekonomi domestik dapat tumbuh lebih baik di tengah kondisi global tak menentu.
Akbar mengakui, tidak semua paket tersebut dapat dinilai dampaknya dalam waktu cepat. Ada kebijakan tersebut terkait dengan perbaikan iklim usaha yang memiliki time lag bagi pelaku usaha.
“Apalagi, permintaan domestik dan global yang masih lemah membuat dampak kebijakan kebijakan pada kegiatan ekonomi domestik belum akan signifikan. Beberapa paket kebijakan tersebut diperkirakan belum akan memberikan dampak yang efektif, baik dari sisi teknis implementasi maupun dari sisi substansi kebijakan,” ujarnya. 
Akbar menjelaskan, dari sisi teknis implementasi, beberapa paket kebijakan tersebut belum didukung oleh payung hukum yang bersifat permanen.
Sosialisasi kepada pihak terkait masih rendah, sementara implementasi kebijakan oleh kementerian atau lembaga terkait juga berjalan lambat dan beberapa paket kebijakan sulit dievaluasi kemajuannya karena tidak memiliki target waktu yang terukur.
Dari sisi substansi kebijakan, beberapa kebijakan masih bersifat parsial dan belum menyentuh substansi persoalan yang hendak diselesaikan.
Dia mencontohkan, pada paket kebijakan X yang merevisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 39 Tahun 2014 tentang Daftar Negatif Investasi (DNI) dengan tujuan melindungi pengusaha kecil dan memberi kepastian batasan kepemilikan saham asing.
“Isi dari kebijakan ini lebih banyak mendorong liberalisasi penanaman modal asing di berbagai sektor yang justru berpotensi mereduksi peran pengusaha domestik dalam pengembangan ekonomi nasional,” ujarnya. 
Begitu juga  paket kebijakan XI terkait Kredit Usaha Rakyat Berorientasi Ekspor (KUR-BE)yang menyediakan fasilitas pembiayaan ekspor yang lengkap dan terpadu untuk modal kerja dan investasi untuk tujuan ekspor bagi UMKM.
Adapun tingkat suku bunganya 9% tanpa subsidi. Akbar menyatakan ada beberapa kekurangan paket ini, antara lain pendekatan kebijakan parsial, tidak integratif, dan tidak ada penanggung jawab khusus yang memantau dan mengoordinasikan seluruh kebijakan terkait.
Selain itu, kebijakan ini hanya menyentuh aspek pembiayaan. “Plafon kredit program ini terbatas hanya Rp 1 triliun pada tahun 2016 dan tingkat suku bunga 9%, tidak berbeda dengan program KUR yang ditetapkan dalam APBN dengan tingkat suku bunga 9%. Selain itu, rendahnya sosialisasi membuat fasilitas ini tidak dapat dimanfaatkan secara luas oleh obyek kebijakan,” tutur dia. 
Kebijakan Moneter
Pada bagian lain, CORE Indonesia juga menyoroti kebijakan moneter yang diterbitkan Bank Indonesia (BI) saat ini, kendati sudah mengganti suku bunga dari BI Rate menjadi BI 7 Day Reverse Repo Rate, ternyata kurang efektif dalam pelaksanaannya.
Faktanya, masih lemahnya transmisi kebijakan moneter BI tersebut dalam mengendalikan suku bunga perbankan. Sehingga yang ada suku bunga pinjaman dan simpanan lamban penurunannya.
“Padahal, beberapa kali ada penurunan suku bunga acuan dan bahkan BI Rate sudah diganti. Tapi masih juga belum cukup efektif mempengaruhi suku bunga kredit perbankan,” ujarnya. 
Menurut dia, selain BI menurunkan suku bunga acuan untuk melonggarkan likuiditas perbankan, BI juga telah memangkas Giro Wajib Minimum (GWM) rupiah dari 7,5% menjadi 6,5% pada Maret 2016.
“Kebijakan BI itu ternyata transmisinya tak efektif. Buktinya, pada periode Januari-September, rata-rata suku bunga kredit hanya turun 56 basis point (bps). Sedang pada saat yang sama, suku bunga simpanan deposito turun 116 bps,” ujarnya. 
Menurut dia, rendahnya respon penurunan suku bunga kredit perbankan ini, di samping persoalan time lag juga dipicu oleh kebijakan perbankan yang berupaya menjaga tingkat profitabilitasnya yang mulai kian tertekan.
Beberapa hal yang menekan laba perbankan tahun ini, antara lain, melambatnya penyaluran kredit yang mengakibatkan tersendatnya pendapatan bunga kredit. “Selain itu, masih tingginya rasio kredit macet (NPL), khususnya bank-bank yang memiliki exposure kredit yang tinggi di sektor pertambangan dan infrastruktur, serta masih tingginya cost of fund (biaya dana) perbankan terutama untuk deposito premium,” ujarnya. 

 

Jakarta -     Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia menilai enam paket kebijakan ekonomi (PKE) yang diluncurkan pemerintah pada tahun ini ternyata tak berdampak positif terhadap iklim usaha, bahkan mencuatkan masalah baru dan tidak menasional di seluruh negeri ini. 

NERACA

“Memang tidak semua paket tersebut dapat dinilai dampaknya dalam waktu cepat, mengingat sebagian dari paket tersebut terkait perbaikan iklim usaha yang memiliki time lag bagi pelaku usaha,” ujar Akhmad Akbar Susanto, peneliti CORE Indonesia, dalam diskusi Refleksi Ekonomi 2016 di Jakarta, pekan ini. 

Misalnya, menurut dia, dari sisi implentasi belum didukung oleh payung hukum yang bersifat permanen. Serta masih rendahnya sosialisasi kepada pihak yang menjadi objek regulasi. 

Sehingga yang terjadi, kata Akbar, banyak dunia usaha tak tahu adanya deregulasi di satu sektor tertentu. Seperti perbaikan perizinan sudah terjadi, namun mereka tak tahu dan tak merasakan perubahan.

“Bahkan yang lucu lagi, di tingkat pemerintah daerah juga banyak yang masih belum tahu adanya paket kebijakan. Ini yang merugikan dunia usaha. Karena ketika dunia usaha dilayani (dalam investasi) mereka merasa perizinan di Jakarta lebih cepat tapi di daerah tak terjadi,” ujarnya. 

Dia mengatakan, hal itu terjadi karena implementasi kebijakan oleh kementerian/lembaga terkait, berjalan lambat. Selain itu, paket kebijakan juga sulit dievaluasi kemajuannya karena tidak memiliki target waktu yang terukur. Juga tak spesifiknya, pihak-pihak dalam mengimplementasikan paket tersebut.

“Justru ini yang bahaya, mereka asal buat kebijakan. Padahal dampaknya nol besar. Ini seperti pemerintah itu ada di dunia lain. Semangat mereka yang penting ada paket,” ujarnya. 

Dia mencontohkan paket kebijakan X yang semangatnya untuk melindungi pengusaha kecil terkait Daftar Negatif Investasi (DNI), tapi faktanya tidak begitu. “Justru dari kebijakan ini lebih banyak mendorong liberalisasi penanaman modal asing yang justru berpotensi mereduksi peran pengusaha domestik dalan pengembangan ekonomi nasional,” ujarnya. 

Seperti diketahui, pemerintah telah menerbitkan enam PKE di sepanjang tahun ini, yaitu paket kebijakan IX hingga XIV. Paket kebijakan tersebut mencakup kebijakan di sektor industri, investasi, peningkatan daya beli masyarakat, logistik, peningkatan ekspor, dan pariwisata nasional.

Sejatinya, kebijakan-kebijakan tersebut diharapkan mampu mengurangi berbagai hambatan kegiatan ekonomi, baik konsumsi, investasi, produksi, maupun perdagangan internasional. Sehingga, ekonomi domestik dapat tumbuh lebih baik di tengah kondisi global tak menentu.

Akbar mengakui, tidak semua paket tersebut dapat dinilai dampaknya dalam waktu cepat. Ada kebijakan tersebut terkait dengan perbaikan iklim usaha yang memiliki time lag bagi pelaku usaha.

“Apalagi, permintaan domestik dan global yang masih lemah membuat dampak kebijakan kebijakan pada kegiatan ekonomi domestik belum akan signifikan. Beberapa paket kebijakan tersebut diperkirakan belum akan memberikan dampak yang efektif, baik dari sisi teknis implementasi maupun dari sisi substansi kebijakan,” ujarnya. 

Akbar menjelaskan, dari sisi teknis implementasi, beberapa paket kebijakan tersebut belum didukung oleh payung hukum yang bersifat permanen.

Sosialisasi kepada pihak terkait masih rendah, sementara implementasi kebijakan oleh kementerian atau lembaga terkait juga berjalan lambat dan beberapa paket kebijakan sulit dievaluasi kemajuannya karena tidak memiliki target waktu yang terukur.

Dari sisi substansi kebijakan, beberapa kebijakan masih bersifat parsial dan belum menyentuh substansi persoalan yang hendak diselesaikan.

Dia mencontohkan, pada paket kebijakan X yang merevisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 39 Tahun 2014 tentang Daftar Negatif Investasi (DNI) dengan tujuan melindungi pengusaha kecil dan memberi kepastian batasan kepemilikan saham asing.

“Isi dari kebijakan ini lebih banyak mendorong liberalisasi penanaman modal asing di berbagai sektor yang justru berpotensi mereduksi peran pengusaha domestik dalam pengembangan ekonomi nasional,” ujarnya. 

Begitu juga  paket kebijakan XI terkait Kredit Usaha Rakyat Berorientasi Ekspor (KUR-BE)yang menyediakan fasilitas pembiayaan ekspor yang lengkap dan terpadu untuk modal kerja dan investasi untuk tujuan ekspor bagi UMKM.

Adapun tingkat suku bunganya 9% tanpa subsidi. Akbar menyatakan ada beberapa kekurangan paket ini, antara lain pendekatan kebijakan parsial, tidak integratif, dan tidak ada penanggung jawab khusus yang memantau dan mengoordinasikan seluruh kebijakan terkait.

Selain itu, kebijakan ini hanya menyentuh aspek pembiayaan. “Plafon kredit program ini terbatas hanya Rp 1 triliun pada tahun 2016 dan tingkat suku bunga 9%, tidak berbeda dengan program KUR yang ditetapkan dalam APBN dengan tingkat suku bunga 9%. Selain itu, rendahnya sosialisasi membuat fasilitas ini tidak dapat dimanfaatkan secara luas oleh obyek kebijakan,” tutur dia. 

Kebijakan Moneter

Pada bagian lain, CORE Indonesia juga menyoroti kebijakan moneter yang diterbitkan Bank Indonesia (BI) saat ini, kendati sudah mengganti suku bunga dari BI Rate menjadi BI 7 Day Reverse Repo Rate, ternyata kurang efektif dalam pelaksanaannya.

Faktanya, masih lemahnya transmisi kebijakan moneter BI tersebut dalam mengendalikan suku bunga perbankan. Sehingga yang ada suku bunga pinjaman dan simpanan lamban penurunannya.

“Padahal, beberapa kali ada penurunan suku bunga acuan dan bahkan BI Rate sudah diganti. Tapi masih juga belum cukup efektif mempengaruhi suku bunga kredit perbankan,” ujarnya. 

Menurut dia, selain BI menurunkan suku bunga acuan untuk melonggarkan likuiditas perbankan, BI juga telah memangkas Giro Wajib Minimum (GWM) rupiah dari 7,5% menjadi 6,5% pada Maret 2016.

“Kebijakan BI itu ternyata transmisinya tak efektif. Buktinya, pada periode Januari-September, rata-rata suku bunga kredit hanya turun 56 basis point (bps). Sedang pada saat yang sama, suku bunga simpanan deposito turun 116 bps,” ujarnya. 

Menurut dia, rendahnya respon penurunan suku bunga kredit perbankan ini, di samping persoalan time lag juga dipicu oleh kebijakan perbankan yang berupaya menjaga tingkat profitabilitasnya yang mulai kian tertekan.

Beberapa hal yang menekan laba perbankan tahun ini, antara lain, melambatnya penyaluran kredit yang mengakibatkan tersendatnya pendapatan bunga kredit. “Selain itu, masih tingginya rasio kredit macet (NPL), khususnya bank-bank yang memiliki exposure kredit yang tinggi di sektor pertambangan dan infrastruktur, serta masih tingginya cost of fund (biaya dana) perbankan terutama untuk deposito premium,” ujarnya. bari/mohar/fba 

BERITA TERKAIT

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…