Mungkinkah Yuan Gantikan US$?

 

Oleh: Bhima Yudhistira Adhinegara

Peneliti INDEF

 

 

Pidato Presiden pada acara sarasehan 100 ekonom yang diselenggarakan INDEF cukup membuat heboh berbagai kalangan. Pasalnya Jokowi diakhir pidato menekankan bahwa penggunaan acuan dolar terhadap nilai rupiah dirasa kurang relevan. Oleh karena itu Presiden menginginkan pemakaian acuan selain dolar, salah satunya adalah yuan. Alasan ini sepertinya lebih bernada politis dibandingkan ekonomi.

Memang betul porsi perdagangan China paling besar dibandingkan negara lainnya. China memiliki porsi sebesar 15,5%, disusul Eropa sebanyak 11,4%, kemudian Jepang menguasai 10,7% dan Amerika Serikat hanya 10%. Namun, porsi perdagangan bukanlah tolak ukur utama. Faktanya eksportir di China masih lebih memilih menggunakan dolar AS dengan alasan stabilitas kurs dan kemampuan penukaran (convertible) yang hampir diterima semua negara. Dolar memberikan fleksibilitas lebih dibanding yuan dalam perdagangan internasional.

Data IMF pun memperkuat hipotesis bahwa penggunaan yuan dalam transaksi global agak sulit dilakukan mengingat porsinya yang kecil. Walaupun secara global tingkat perdagangan China mencapai lebih dari US$4 triliun, namun yuan hanya memiliki porsi 1,8% dari total transaksi valas. Sementara itu Amerika Serikat dengan nilai perdagangan di bawah China yakni US$3,7 triliun mampu mendominasi transaksi valas dengan porsi di atas 41,9%. Volume perdagangan bukan satu-satunya tolok ukur utama, melainkan kredibilitas mata uang tersebut yang jadi acuan.

Minimnya penggunaan yuan dibanding dolar juga terkait dengan stabilitas politik di China yang berpengaruh terhadap kredibilitas yuan. Syarat menjadi mata uang yang dipakai secara global adalah transparansi dalam setiap pengambilan kebijakan moneter. Hal ini nampaknya belum sepenuhnya terjadi di China dengan sistem tertutupnya.

Kepercayaan terhadap yuan yang rendah dibuktikan dari kepemilikan surat utang domestik China oleh investor asing yang hanya mencapai kurang dari 3%. Padahal imbal hasil yang ditawarkan lebih menarik dari negara maju yang mengalami deflasi saat ini. Jadi meskipun yuan sudah masuk kedalam SDR (Special Drawing Rights) IMF per Oktober lalu, tetap saja masih sulit diterima pasar.

Oleh karena itu dalam jangka pendek, pidato dari Presiden Jokowi harus di kaji secara serius. Jangan sampai pidato penting tersebut hanya bersifat politis sekadar simbolik kedekatan hubungan Indonesia-China yang semakin mesra. Adapun rekomendasi yang mungkin dilakukan saat ini adalah terus memperbesar porsi penggunaan yuan-rupiah dalam transaksi perdagangan bilateral Indonesia-China. Bank Indonesia memang sudah melakukan Bilateral Currency Swap Agreement atau pertukaran dengan China di tahun 2010, hanya saja porsinya bisa terus ditambah untuk mencukupi kebutuhan likuiditas perdagangan antar kedua negara. Selain itu yuan bisa dijadikan rekomendasi bagi pelaku usaha sebagai instrumen lindung nilai terutama ditengah fluktuasi dolar yang semakin perkasa.

 

BERITA TERKAIT

Antisipasi Kebijakan Ekonomi & Politik dalam Perang Iran -Israel

    Oleh: Prof. Dr. Didik Rachbini Guru Besar Ilmu Ekonomi, Ekonom Pendiri Indef   Serangan mengejutkan dari Iran sebagai…

Iklim dan Reformasi Kebijakan

Oleh: Suahasil Nazara Wakil Menteri Keuangan Sebagai upaya untuk memperkuat aksi iklim, Indonesia memainkan peran penting melalui kepemimpinan pada Koalisi…

Cawe-cawe APBN dalam Lebaran 1445 H

  Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi melaporkan kepada Presiden Joko…

BERITA LAINNYA DI

Antisipasi Kebijakan Ekonomi & Politik dalam Perang Iran -Israel

    Oleh: Prof. Dr. Didik Rachbini Guru Besar Ilmu Ekonomi, Ekonom Pendiri Indef   Serangan mengejutkan dari Iran sebagai…

Iklim dan Reformasi Kebijakan

Oleh: Suahasil Nazara Wakil Menteri Keuangan Sebagai upaya untuk memperkuat aksi iklim, Indonesia memainkan peran penting melalui kepemimpinan pada Koalisi…

Cawe-cawe APBN dalam Lebaran 1445 H

  Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi melaporkan kepada Presiden Joko…