Jaga Iklim Kondusif

Jaga Iklim Kondusif
Di tengah gegap gempitanya demo masyarakat terkait dengan kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta (petahana) Basuki T. Purnama, Presiden Jokowi sampai menunda kunjungan kerja ke Australia. Ini menunjukkan perhatian besar Kepala Negara atas upaya tetap menjaga kondisi yang kondusif di dalam negeri.
Setelah itu, Presiden juga bertemu dan berdialog dengan berbagai elemen penting di negeri ini. Tercatat Presiden hadir dalam rapat dengan jajaran Kepolisian Negara Republik Indonesia, berdialog dengan para ulama dan pimpinan organisasi kemasyarakatan, dengan korps TNI termasuk Kopassus, Marinir, Kostrad dan Paskhas. Intinya, Presiden mengharapkan elemen bangsa mampu menjaga persatuan dan kemajemukan.
Saat ini, pemerintah memang membutuhkan suasana dalam negeri yang kondusif untuk pembangunan. Ini penting mengingat sejak reformasi yang telah berjalan dua windu masih banyak pekerjaan yang belum selesai dalam upaya meningkatkan derajat martabat dan harkat kehidupan berbangsa.
Bagaimanapun, kegagalan menghasilkan buah dari reformasi yang siginifikan dapat menumbuhkan benih pesismistis yang berpotensi mengganggu kesatuan bangsa, yang pada gilirannya akselerasi laju pembangunan menjadi terganggu.
Adanya gerakan revolusi mental yang dicanangkan pemerintah memang berpotensi menimbulkan meningkatnya dinamika kehidupan politik dan sosial di masyarakat. Namun ini diperlukan untuk membuka jalan bagi pembangunan yang diperlukan, terutama di bidang ekonomi. Karena itu, stabilitas selalu menjadi prasyarat utama yang harus dijaga setiap waktu.
Kita menyadari berbagai hambatan dalam kehidupan bangsa kita sejak reformasi, adalah dinamika politik yang terus-menerus bertensi tinggi, baik di tingkat nasional maupun lokal. Hal ini tampaknya terjadi karena agenda-agenda politik pada kalangan elite yang mengarah pada persaingan merebut kekuasaan.
Partai politik terus-menerus menempatkan pemilihan umum untuk parlemen (pusat maupun daerah), pemilihan presiden, dan pemilihan kepala daerah pada prioritas agenda organisasi. Tapi mereka lupa bahwa politik adalah sarana untuk mewujudkan cita-cita bangsa dan negara.
Suasana kompetisi berjalan sepanjang tahun dan siklus pemilu, bahkan yang disengketakan merambah pada berbagai bidang yang sebenarnya terlepas dari masalah pemilu. Kompetisi  dalam proses politik itu membawa sikap antagonistik dalam menyikapi berbagai isu, bahkan terlihat tumbuhnya sikap yang sekadar menjadi antagionis bagi rival politik.
Kondisi ini membuat energi yang dimiliki bangsa tersedot pada dinamika persaingan politik yang bagaikan tanpa akhir, dan persatuan sering diucapkan, tetapi terasa hambar. Kekuatan politik cenderung menguras energi berlebih pada permainan kompetisi, dan sangat miskin untuk investasi pada kekuatan kerja sama yang dibutuhkan untuk kemajuan bangsa.
Persaingan politik dalam pemilihan umum (presiden, dan kepala daerah), cenderung terus dibawa dan ‘’dilestarikan’’, untuk persaingan pada pemilu yang akan datang. Politik seperti tidak memiliki waktu untuk jeda dari berkompetisi, dan memasuki periode bekerja sama.
Kerja sama hanya mungkin jika para pihak mengakui hasil kompetisi politik secara ‘’legowo.’’ Pihak yang menang semestinya konsentrasi untuk mewujudkan janji dalam kampanye, dan pihak yang kalah memberi kesempatan pemenang untuk bekerja. Kedewasaan politik bahkan akan terlihat jika pesaing dalam proses politik menjadi mitra dalam pembangunan.
Untuk itu kita saatnya membutuhkan budaya baru dalam politik di Indonesia, di mana persaingan terjadi dalam pemilu, segera bergeser menjadi kerja sama yang saling menguntungkan (win-win solution) untuk kepentingan pembangunan bangsa, segera setelah ditetapkan hasilnya.
Kita melihat bahwa budaya kerja sama sangat miskin dalam budaya politik kita. Seringkali terjadi politik identitas menjadi penghalang berkembangnya kemampuan kerja sama. Maka, kalau kita berefleksi dengan pendapat ini, tampaknya sulitnya terjalin kerja sama untuk pembangunan di kalangan elite politik, karena selama ini politik terlalu mengandalkan kekuatan pada sentimen identitas, sumber daya yang murahan dalam politik.
Banyak pendapat yang menyebutkan bahwa Pilkada yang sekarang sedang berproses juga diwarnai oleh politik identitas yang masih kuat. Ini menjadi peringatan bahwa perlu perubahan budaya politik untuk menjadi lebih sehat. Kita perlu menggunakan sumber daya politik untuk kompetisi, dan sesudahnya untuk pembangunan dan kepentingan bangsa di masa depan.
Kita membutuhkan reformasi dalam budaya persaingan politik yang sehat. Jika tidak, reformasi akan makin sulit mencapai tujuannya, dan pemerintah terus terhalang untuk menunjukkan kinerja terbaiknya. Kita perlu kompetisi politik untuk membentuk pemerintahan yang didukung rakyat, tetapi lebih butuh kerja sama politik untuk pembangunan masa depan Indonesia. Semoga!

Di tengah gegap gempitanya demo masyarakat terkait dengan kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta (petahana) Basuki T. Purnama, Presiden Jokowi sampai menunda kunjungan kerja ke Australia. Ini menunjukkan perhatian besar Kepala Negara atas upaya tetap menjaga kondisi yang kondusif di dalam negeri.

Setelah itu, Presiden juga bertemu dan berdialog dengan berbagai elemen penting di negeri ini. Tercatat Presiden hadir dalam rapat dengan jajaran Kepolisian Negara Republik Indonesia, berdialog dengan para ulama dan pimpinan organisasi kemasyarakatan, dengan korps TNI termasuk Kopassus, Marinir, Kostrad dan Paskhas. Intinya, Presiden mengharapkan elemen bangsa mampu menjaga persatuan dan kemajemukan.

Saat ini, pemerintah memang membutuhkan suasana dalam negeri yang kondusif untuk pembangunan. Ini penting mengingat sejak reformasi yang telah berjalan dua windu masih banyak pekerjaan yang belum selesai dalam upaya meningkatkan derajat martabat dan harkat kehidupan berbangsa.

Bagaimanapun, kegagalan menghasilkan buah dari reformasi yang siginifikan dapat menumbuhkan benih pesismistis yang berpotensi mengganggu kesatuan bangsa, yang pada gilirannya akselerasi laju pembangunan menjadi terganggu.

Adanya gerakan revolusi mental yang dicanangkan pemerintah memang berpotensi menimbulkan meningkatnya dinamika kehidupan politik dan sosial di masyarakat. Namun ini diperlukan untuk membuka jalan bagi pembangunan yang diperlukan, terutama di bidang ekonomi. Karena itu, stabilitas selalu menjadi prasyarat utama yang harus dijaga setiap waktu.

Kita menyadari berbagai hambatan dalam kehidupan bangsa kita sejak reformasi, adalah dinamika politik yang terus-menerus bertensi tinggi, baik di tingkat nasional maupun lokal. Hal ini tampaknya terjadi karena agenda-agenda politik pada kalangan elite yang mengarah pada persaingan merebut kekuasaan.

Partai politik terus-menerus menempatkan pemilihan umum untuk parlemen (pusat maupun daerah), pemilihan presiden, dan pemilihan kepala daerah pada prioritas agenda organisasi. Tapi mereka lupa bahwa politik adalah sarana untuk mewujudkan cita-cita bangsa dan negara.

Suasana kompetisi berjalan sepanjang tahun dan siklus pemilu, bahkan yang disengketakan merambah pada berbagai bidang yang sebenarnya terlepas dari masalah pemilu. Kompetisi  dalam proses politik itu membawa sikap antagonistik dalam menyikapi berbagai isu, bahkan terlihat tumbuhnya sikap yang sekadar menjadi antagionis bagi rival politik.

Kondisi ini membuat energi yang dimiliki bangsa tersedot pada dinamika persaingan politik yang bagaikan tanpa akhir, dan persatuan sering diucapkan, tetapi terasa hambar. Kekuatan politik cenderung menguras energi berlebih pada permainan kompetisi, dan sangat miskin untuk investasi pada kekuatan kerja sama yang dibutuhkan untuk kemajuan bangsa.

Persaingan politik dalam pemilihan umum (presiden, dan kepala daerah), cenderung terus dibawa dan ‘’dilestarikan’’, untuk persaingan pada pemilu yang akan datang. Politik seperti tidak memiliki waktu untuk jeda dari berkompetisi, dan memasuki periode bekerja sama.

Kerja sama hanya mungkin jika para pihak mengakui hasil kompetisi politik secara ‘’legowo.’’ Pihak yang menang semestinya konsentrasi untuk mewujudkan janji dalam kampanye, dan pihak yang kalah memberi kesempatan pemenang untuk bekerja. Kedewasaan politik bahkan akan terlihat jika pesaing dalam proses politik menjadi mitra dalam pembangunan.

Untuk itu kita saatnya membutuhkan budaya baru dalam politik di Indonesia, di mana persaingan terjadi dalam pemilu, segera bergeser menjadi kerja sama yang saling menguntungkan (win-win solution) untuk kepentingan pembangunan bangsa, segera setelah ditetapkan hasilnya.

Kita melihat budaya kerja sama sangat miskin dalam budaya politik kita. Seringkali terjadi politik identitas menjadi penghalang berkembangnya kemampuan kerja sama. Maka, kalau kita berefleksi dengan pendapat ini, tampaknya sulitnya terjalin kerja sama untuk pembangunan di kalangan elite politik, karena selama ini politik terlalu mengandalkan kekuatan pada sentimen identitas, sumber daya yang murahan dalam politik.

Banyak pendapat yang menyebutkan bahwa Pilkada yang sekarang sedang berproses juga diwarnai oleh politik identitas yang masih kuat. Ini menjadi peringatan bahwa perlu perubahan budaya politik untuk menjadi lebih sehat. Kita perlu menggunakan sumber daya politik untuk kompetisi, dan sesudahnya untuk pembangunan dan kepentingan bangsa di masa depan.

Kita membutuhkan reformasi dalam budaya persaingan politik yang sehat. Jika tidak, reformasi akan makin sulit mencapai tujuannya, dan pemerintah terus terhalang untuk menunjukkan kinerja terbaiknya. Kita perlu kompetisi politik untuk membentuk pemerintahan yang didukung rakyat, tetapi lebih butuh kerja sama politik untuk pembangunan masa depan Indonesia. Semoga!

BERITA TERKAIT

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…