Niaga Produk Energi - Sebab Harga Gas Industri Mahal Versi Mantan Bos Pertamina

NERACA

Jakarta – Harga gas bumi di Indonesia yang lebih mahal dibandingkan Malaysia karena selama ini tidak ada anggaran signifikan dari pemerintah untuk membangun infrastruktur migas, kata mantan Direktur Utama PT Pertamina, Ari Soemarno. Apalagi Pertamina sebagai badan usaha milik negara diwajibkan menyetor semua pendapatannya kepada negara sehingga Pertamina tidak bisa mengembangkan usahanya.

"Dulu Pertamina boleh nahan 40 persen pendapatan dari migas untuk mengembangkan dirinya. Tetapi setelah krisis Pertamina tahun 1976, 100 persen ditarik (pemerintah). Pertamina nggak ada apa-apa lagi," kata Ari, sebagaimana disalin dari Antara.

Ironisnya setelah uang itu ditarik pemerintah, justru tidak ada pengucuran anggaran yang signifikan untuk pembangunan infrastruktur migas, yang pada waktu itu dibutuhkan. "Dan inilah yang membuat harga gas untuk industri mahal sehingga Indonesia kalah bersaing dengan negara tetangga seperti Malaysia," katanya.

Dia mengungkapkan, di Malaysia infrastruktur migas dibangun oleh Petronas karena pendapatan migas semuanya masuk Petronas. Petronas cuma perlu bayar dividen dan pajak korporasi kepada negara. "Tapi Petronas disuruh bangun infrastruktur dan ini dilakukan Petronas. Makanya, biaya distribusi gas di Malaysia sangat murah," kata Ari.

Menurut dia, Indonesia perlu mencontoh hubungan Pemerintah Malaysia dan Petronas yang tidak melakukan perhitungan-perhitungan secara komersial. Faktor komersialitas inilah yang menjadi kendala Indonesia kalah bersaing dengan negara lain, seperti harga gas.

"Makanya perlu perubahan pola pikir, butuh perubahan 'mindset'. Saya sampaikan juga terkait harga gas itu harus perubahan 'mindset'. Sekarang pendapatan migas itu harus untuk perkembangan negara, perkembangan industri migas sendiri. Bukan untuk APBN," ujar dia.

Pendapat Ari Soemarno dibenarkan oleh Direktur Center for Energy Policy Kholid Syerazi. Menurut dia, siapapun saat ini bisa merasakan bahwa penyebab liberalisasi yang belum matang, ternyata merepotkan semua orang.

"Selama ini kita memang keliru. Liberalisasi gas di tengah infrastruktur yang sangat tidak matang, menjadikan harga gas kita belum efisien dan belum bisa bersaing, karena memang nggak ada infrastruktur," kata dia.

Kholid menambahkan, keberadaan infrastruktur migas sangat penting. Selain bisa membuat harga gas menjadi murah, juga merupakan prasyarat ketahanan energi. Kewajiban pengembangan infrastruktur tersebut, lanjut dia, sebenarnya berada di tangan pemerintah.

Pemerintah bisa menunjuk BUMN atau swasta dengan pola perjanjian kerja sama (PKS). "Itu bisa dilakukan kalau punya duit, punya anggaran. Tetapi kalau anggarannya tidak melalui APBN, maka bisa berasal dari uang hasil migas tersebut," kata Kholid.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo meminta para menterinya terkait penurunan harga gas harus bisa dilaksanakan pada akhir tahun ini. "Yang berkaitan dengan harga gas, saya sudah diberikan angka-angka oleh Menko (Menteri Koordinasi), oleh menteri. Saya hanya mendorong penurunan harga gas itu harus betul-betul dilakukan dan terjadi di akhir tahun ini," kata Presiden, disalin dari Antara.

Presiden mengungkapkan harga gas industri di negara tetangga bisa mencapai 4-6 dolar AS per MMBTU, tetapi di dalam negeri masih berkisar 9-12 dolar AS per MMBTU.

"Kalau mereka bisa, kita juga harus bisa, perintah saya (kepada menteri) hanya itu. Kalau perintah sulit-sulit, nanti membinggungkan. Perintahnya hanya kalau di sana bisa, di sini juga harus bisa," tegas Presiden.

Penurunan harga gas industri ini telah dibahas dalam Rapat Terbatas yang dipimpin Presiden pada 4 Oktober 2016 lalu. Presiden meminta penurunan harga gas tersebut agar industri dalam negeri bisa bersaing dengan negara lain.

"Padahal negara kita mempunyai potensi cadangan gas bumi yang cukup banyak, sangat banyak. Dan sebaliknya, negara-negara tersebut, baik Vietnam, Malaysia, Singapura, ini dapat dikategorikan mengimpor gas bumi," tegas Presiden.

Jika Indonesia tidak dapat menyesuaikan harga gas untuk industri yang banyak dipakai untuk sektor industri petrokimia, industri keramik, industri tekstil, industri pupuk dan industri baja, Jokowi mengkhawatirkan produk dalam negeri menjadi kurang kompetitif. "Jangan sampai produk industri kita kalah bersaing hanya karena masalah harga gas kita yang terlalu mahal," ujar Jokowi.

Namun Presiden juga tidak melupakan potensi investasi di sektor hulu gas dengan meminta kementerian dan BUMN terkait untuk mempertimbangkan kesempatan tersebut. "Pertimbangkan pula aspek keberlanjutan di semua sisi, baik sisi investasi, maupun sisi memperkuat daya saing industri kita," ujar Jokowi.

BERITA TERKAIT

Puluhan Ton Tuna Loin Beku Rutin Di Ekspor ke Vietnam

NERACA Morotai – Karantina Maluku Utara kembali memfasilitasi ekspor tuna loin beku sebanyak 25 ton tujuan Vietnam melalui Satuan Pelayanan…

Libur Lebaran Dorong Industri Parekraf dan UMKM

NERACA Jakarta – Tingginya pergerakan masyarakat saat momen mudik dan libur lebaran tahun ini memberikan dampak yang besar terhadap industri…

Permendag 36/2023 Permudah Impor Barang Kiriman Pekerja Migran Indonesia

NERACA Jakarta – Kementerian Perdagangan (Kemendag) memastikan Permendag Nomor 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor memberikan kemudahan serta…

BERITA LAINNYA DI Perdagangan

Puluhan Ton Tuna Loin Beku Rutin Di Ekspor ke Vietnam

NERACA Morotai – Karantina Maluku Utara kembali memfasilitasi ekspor tuna loin beku sebanyak 25 ton tujuan Vietnam melalui Satuan Pelayanan…

Libur Lebaran Dorong Industri Parekraf dan UMKM

NERACA Jakarta – Tingginya pergerakan masyarakat saat momen mudik dan libur lebaran tahun ini memberikan dampak yang besar terhadap industri…

Permendag 36/2023 Permudah Impor Barang Kiriman Pekerja Migran Indonesia

NERACA Jakarta – Kementerian Perdagangan (Kemendag) memastikan Permendag Nomor 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor memberikan kemudahan serta…