Daerah Perlu Benahi Tata Kelola Keuangan - Ingin Terbitkan Obligasi

 

 

NERACA

 

Jakarta - Deputi Pembiayaan Pembangunan Bappenas Kennedy Simanjuntak mengatakan, pemerintah daerah (pemda) harus membenahi tata kelola keuangannya sebelum memutuskan untuk menerbitkan surat utang atau obligasi daerah (municipal bond). "Kalau mau menerbitkan 'bond' (obligasi) itu, daerahnya sendiri harus bisa mengelola. Mengelola utang itu tidak gampang," ujar Kennedy di Jakarta, Senin (5/12).

Menurut Kennedy, memperbaiki tata kelola keuangan bukan perkara yang mudah, terutama dalam hal transparansi dan meningkatkan kapasitas sumber daya manusianya. "Orangnya harus diperbaiki, transparansi dipersiapkan. Kesiapan SDM dan tata kelolanya dulu," kata Kennedy.

Kennedy menambahkan, saat ini pihaknya terus berdiskusi dengan pemda untuk memperbaiki tata kelola keuangannya. Bappenas juga mendorong peningkatan kualitas SDM di daerah terutama dalam pengelolaan utang. "Kita banyak kirim orang pemda ke luar negeri. Kalau kita kasih ia (pemda) kelola utang dan jebol, kan bisa bangkrut. Lebih baik hati-hati kalau mengelola utang," ujar Bambang.

Potensi pendanaan bagi pemda dari obligasi sendiri sangat besar, namun pemda harus berbenah terlebih dahulu dan berkomitmen untuk menerapkan pengelolaan keuangan yang transparan. Transparansi adalah konsekuensi yang harus ditanggung pemerintah daerah jika ingin menerbitkan obligasi, karena masyarakat sebagai investor tentu ingin tahu pengelolaan keuangan dan juga pendapatan dari penerbit obligasi.

Ketika pasar keuangan domestik sedang bergairah seperti saat ini, penerbitan obligasi merupakan sumber potensial untuk menyerap dana dari pasar. Terlebih lagi, beban biaya dana dari obligasi juga lebih rendah dibanding bunga kredit perbankan. Penerbitan obligasi oleh pemerintah daerah juga akan membuat pasar keuangan domestik semakin dalam dan beragam. Sepanjang 2016, kapitalisasi di pasar obligasi semakin besar, terutama dari maraknya penerbitan obligasi oleh pemerintah dan korporasi swasta, termasuk korporasi Badan Usaha Milik Negara.

Jika digabungkan dengan penarikan utang, total pendanaan yang diserap pemerintah sebesar Rp1.600 triliun atau 28 persen dari Produk Domestik Bruto. Sementara obligasi dari swasta, termasuk BUMN sebesar Rp200-Rp300 triliun. Hanya pemerintah daerah yang belum menerbitkan obligasi. Wacana penerbitan obligasi dari pemerintah daerah sendiri sudah mengemuka sejak 2003. Namun setelah 13 tahun berlalu, rencana tersebut tidak kunjung terealisasi.

Pemerintah daerah yang berniat menerbitkan obligasi daerah adalah Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Adapun masalah krusial yang menghambat penerbitan obligasi daerah ini salah satunya dari kapasitas pemerintah daerah dan kemauan politik (political will) antara pemda dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Selain itu, kapasitas fiskal dan transparansi pemerintah daerah diperlukan agar dapat memberikan kepercayaan kepada pelaku pasar. 

Pengamat ekonomi dari Universitas Pasundan, Acuviarta Kartabi, mengatakan, obligasi daerah sarat dengan regulasi. Di sisi lain, pemerintah daerah harus memperhatikan urgensi kebutuhannya. "Dilemanya, daerah-daerah yang mau menerbitkan obligasi memiliki simpanan uang di bank dan silpa cukup besar," kata Acuviarta.

Menurut dia, obligasi daerah harus mendapat persetujuan dari Kementerian Keuangan dengan diterbitkannya Permenkeu yang mengatur itu. Dia menilai, pemerintah daerah harus mengoptimalkan potensi pendapatan asli daerah dulu, termasuk meningkatkan kinerja BUMD, sebel mencari alternatif dari penerbitan obligasi. "Studi kelayakannya harus betul feasible karena penerbitan obligasi daerah terkait dengan manajemen APBD dalam jangka menegah dan panjang," tuturnya.

Dia memandang, kira kinerja keuangan APBD harus baik terlebih dahulu. Selain itu, proyek daerah yang mau dibiayai obligasi harus betul-betul layak dan menguntungkan. "Menguntungkan tidak hanya bagi swasta tetapi juga bagi pemerintah dan kesehatan APBD. Saya kira pemda masih membutuhkan proses itu, saya menyangsikan pengelolaan dana hasil penerbitan obligasi bisa optimal. Acuviarta memandang, Jabar tidak ada masalah politis untuk dapa menerbitkan obligasi. Namun, masalahnya penggunaan dana obligasi dan institusi yang mengelola investasi hasil dana penerbitan obligasi itu yg diragukan.

BERITA TERKAIT

Arus Balik Lebaran 2024, Pelita Air Capai On Time Performance 95 Persen

NERACA Jakarta – Pelita Air (kode penerbangan IP),maskapai layanan medium (medium service airline), mencapai rata-rata tingkat ketepatan waktu penerbangan atau on-time…

UMKM Indonesia Bersaing di Tingkat Dunia Lewat Marketplace

UMKM Indonesia Bersaing di Tingkat Dunia Lewat Marketplace NERACA  Jateng - Dalam rangka program Literasi Digital di Indonesia, Kementerian Komunikasi…

Moody's Pertahankan Peringkat Kredit Indonesia

Moody's Pertahankan Peringkat Kredit Indonesia  NERACA Jakarta - Lembaga pemeringkat Moody's kembali mempertahankan peringkat kredit atau Sovereign Credit Rating Republik…

BERITA LAINNYA DI Ekonomi Makro

Arus Balik Lebaran 2024, Pelita Air Capai On Time Performance 95 Persen

NERACA Jakarta – Pelita Air (kode penerbangan IP),maskapai layanan medium (medium service airline), mencapai rata-rata tingkat ketepatan waktu penerbangan atau on-time…

UMKM Indonesia Bersaing di Tingkat Dunia Lewat Marketplace

UMKM Indonesia Bersaing di Tingkat Dunia Lewat Marketplace NERACA  Jateng - Dalam rangka program Literasi Digital di Indonesia, Kementerian Komunikasi…

Moody's Pertahankan Peringkat Kredit Indonesia

Moody's Pertahankan Peringkat Kredit Indonesia  NERACA Jakarta - Lembaga pemeringkat Moody's kembali mempertahankan peringkat kredit atau Sovereign Credit Rating Republik…