INDONESIA KELUAR DARI OPEC - Pemerintah Kaji Dampak Pembekuan

INDONESIA KELUAR DARI OPEC
Pemerintah Kaji Dampak Pembekuan
Jakarta - Pemerintah akan mengkaji dampak langkah pembekuan sementara keanggotaan Indonesia dalam Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC). Keputusan pembekuan ini diambil saat sidang OPEC ke-71 di Wina, Austria, Rabu (30/11). Namun, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menilai, pembekuan keanggotaan akan berdampak pada perekonomian negeri ini.
NERACA
"Kalau sisi ekonomi keseluruhan tentu akan berbeda. Apakah sisi refinery yang kita membutuhkan raw material, baik dalam maupun luar negeri. Kita akan membuat exercise untuk melihat dampak baik sisi APBN, penerimaan, maupun subsidi dalam hal ini solar masih subsidi. Kalau sisi listrik karena sebagian menggunakan diesel kemudian ekonomi secara keseluruhan," ujarnya di Jakarta, Kamis (1/12). 
Namun, menurut dia, pembekuan keanggotaan ini tidak akan berpengaruh pada produksi minyak dalam negeri. Volume produksi minyak dalam negeri dipastikan akan tetap terjaga.
"Kalau pembekuan dalam artian Menteri ESDM itu berarti kita akan memiliki komitmen memproduksi jumlah minyak sesuai asumsi APBN kita 815 ribu barel per hari. Tentu tidak akan mempengaruhi paling tidak dari volume produksi," ujarnya seperti dikutip laman liputan6.com.
Saat ini, Sri Mulyani mengaku terus memantau jumlah pemotongan pasokan minyak."Yang perlu kita simak kalau OPEC dengan melakukan pemotongan cukup kredibel akan menyebabkan harga minyak meningkat, dan tentu  kenaikan harga minyak akan memberikan dampak positif dari sisi penerimaan negara," ujarnya. 
Menkeu belum mengetahui secara pasti sampai kapan pembekuan keanggotaan tersebut. Sebab keputusan itu dilakukan secara mendadak. "Saya belum berkomunikasi dengan Menteri ESDM, seperti diketahui keputusan OPEC kan last minute," ujarnya. 
Sebelumnya tersiar berita Indonesia memutuskan untuk membekukan sementara (temporary suspend) keanggotaan di OPEC, pada saat Sidang ke- 171 OPEC di Wina, Austria, pekan lalu. 
Menteri ESDM Ignasius Jonan yang hadir dalam pertemuan itu menilai, pembekuan sementara ini adalah keputusan terbaik bagi seluruh anggota OPEC. Sebab dengan demikian keputusan sidang OPEC untuk memotong produksi minyak mentah sebesar 1,2 juta barel per hari bisa dilaksanakan.
Di sisi lain Indonesia tidak terikat dengan keputusan yang tidak sejalan dengan kepentingan nasional Indonesia. Sebab, sidang OPEC meminta Indonesia untuk memotong sekitar 5% dari produksinya, atau sekitar 37 ribu barel per hari.  "Padahal kebutuhan penerimaan negara masih besar dan pada RAPBN 2017 disepakati produksi minyak di 2017 turun sebesar 5.000 barel dibandingkan 2016," ujar Jonan.
Dengan demikian pemotongan yang bisa diterima Indonesia adalah sebesar 5.000 barel per hari. Jonan menambahkan, sebagai negara pengimpor minyak, pemotongan kapasitas produksi ini tidak menguntungkan bagi Indonesia, karena harga minyak secara teoritis akan naik.
Indonesia tercatat sudah pernah dua kali membekukan keanggotaan di OPEC. Pembekuan pertama pada tahun 2008, efektif berlaku 2009. Indonesia memutuskan kembali aktif sebagai anggota OPEC pada awal 2016.
Sementara itu, Staf Khusus Kementerian ESDM Hadi M Djuraid menambahkan, keputusan untuk membekukan sementara keanggotaan Indonesia di OPEC sudah memperoleh restu dari Presiden Jokowi. 
Jonan menjelaskan, langkah pembekuan diambil menyusul keputusan sidang untuk memotong produksi minyak mentah sebesar 1,2 juta barel per hari, di luar kondensat. Sidang juga meminta Indonesia untuk memotong sekitar 5% dari produksinya, atau sekitar 37 ribu barel per hari.
Pembekuan sementara ini adalah keputusan terbaik bagi seluruh anggota OPEC. Sebab dengan demikian keputusan pemotongan sebesar 1,2 juta barel per hari bisa dijalankan, dan di sisi lain Indonesia tidak terikat dengan keputusan yang tidak sejalan dengan kepentingan nasional Indonesia.
Reaksi DPR
Keputusan pemerintah Indonesia untuk membekukan keanggotaan di organisasi negara eksportir minyak (OPEC) itu ternyata membuat anggota DPR-RI terkejut. Dewan menilai seharusnya pemerintah tidak perlu mengambil langkah tersebut. 
Anggota Komisi VII DPR Satya Widyayudha menjelaskan, ketika pemerintah memutuskan untuk kembali masuk ke dalam OPEC di awal 2016, status Indonesia saat itu hanya sebagai observer dan bukan anggota penuh. Latar belakang status tersebut karena Indonesia merupakan negara pengimpor minyak dan bukan negara pengekspor minyak.
Oleh karena itu, dengan adanya keputusan pemerintah untuk membekukan keanggotaan di OPEC tersebut jelas membuat Satya terkejut. " Jujur, saya agak terkejut. Dulu yang disampaikan bahwa Indonesia hanya sebagai observer bukan full membership. Mengingat kita bukan negara pengekspor, kita pengimpor," ujarnya pekan lalu. 
Kembalinya Indonesia berkecimpung ke dalam OPEC sebenarnya untuk menghubungkan dengan negara produsen minyak. Melalui organisasi tersebut Indonesia dapat dengan mudah memperoleh pasokan minyak.
"Pada waktu itu kita diyakinkan bahwa masuknya sebagai observer maka kita bisa berhubungan dengan para produsen minyak, sehingga bisa dimanfaatkan agar kalau kita mengimpor akan mendapatkan harga yang bagus," ujarnya. 
Karena itu, dia ingin Indonesia tetap berkecimpung dengan OPEC, tetapi statusnya sebagai observer. Dengan demikian, jalinan hubungan dengan neg‎ara pengekspor minyak tetap terjaga, tetapi tidak mengikuti kesepakatan yang diambil oleh anggota.
"Keinginan untuk tetap berhubungan dengan negara produsen tetap terjaga. Di samping itu sebagai observer tidak terkena kebijakan penurunan atau kenaikan tingkat produksi sebagaimana yang di lakukan oleh negara-negara yang full membership," tutur Satya.
Sidang juga meminta Indonesia untuk memotong sekitar 5% dari produksinya, atau sekitar 37 ribu barel per hari. "Padahal kebutuhan penerimaan negara masih besar dan pada RAPBN 2017 disepakati produksi minyak di 2017 turun sebesar 5.000 barel dibandingkan dengan 2016," ujar Jonan.
Dengan demikian, pemotongan yang bisa diterima Indonesia adalah sebesar 5.000 barel per hari. Jonan menambahkan, sebagai negara pengimpor minyak, pemotongan kapasitas produksi ini tidak menguntungkan bagi Indonesia karena harga minyak secara teoritis akan naik.
Sementara itu, Direktur Eksekutif RefoMiner Institute Komaidi Notonegoro mengungkapkan, keunt‎ungan Indonesia membekukan sementara keanggotaan OPEC adalah tidak perlu ikut memangkas produksi minyak sebesar 5% atau setara 37 ribu barel, yang menjadi kesepakatan dalam sidang OPEC di Wina. ‎"Bicara keuntungan, kalau keluar menguntungkan produksi minyak kita," ujarnya. 
Komaidi melanjutkan, dengan keputusan tersebut maka Indonesia Indonesia tak perlu mengubah target produksi minyak yang sudah tercantum dalam APBN 2017, karena tidak ada intervensi dari keputusan OPEC.
Keuntungan lain pembekuan keanggotaan, Indonesia dapat menghindari pungutan iuran anggota. "Sehingga target APBN berubah. Selain itu, tidak membayar iuran," ujarnya. 
Sementara kerugian yang harus ditanggung Indonesia usai membekukan keanggotaan adalah, keterbatasan informasi terkait profil minyak yang diekspor atau impor, sehingga akan menyulitkan untuk mendapat pasokan minyak. "Kerugian tidak tahu detil profil produksi ekspor impor yang kita butuhkan. Jadi informasi supaya dapat pasokan lebih gampang dapat pasokan‎," ujarnya. bari/mohar/fba

Jakarta - Pemerintah akan mengkaji dampak langkah pembekuan sementara keanggotaan Indonesia dalam Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC). Keputusan pembekuan ini diambil saat sidang OPEC ke-71 di Wina, Austria, Rabu (30/11). Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menilai, pembekuan keanggotaan akan berdampak pada perekonomian negeri ini.

NERACA

"Kalau sisi ekonomi keseluruhan tentu akan berbeda. Apakah sisi refinery yang kita membutuhkan raw material, baik dalam maupun luar negeri. Kita akan membuat exercise untuk melihat dampak baik sisi APBN, penerimaan, maupun subsidi dalam hal ini solar masih subsidi. Kalau sisi listrik karena sebagian menggunakan diesel kemudian ekonomi secara keseluruhan," ujarnya di Jakarta, Kamis (1/12). 

Namun, menurut dia, pembekuan keanggotaan ini tidak akan berpengaruh pada produksi minyak dalam negeri. Volume produksi minyak dalam negeri dipastikan akan tetap terjaga.

"Kalau pembekuan dalam artian Menteri ESDM itu berarti kita akan memiliki komitmen memproduksi jumlah minyak sesuai asumsi APBN kita 815 ribu barel per hari. Tentu tidak akan mempengaruhi paling tidak dari volume produksi," ujarnya seperti dikutip laman liputan6.com.

Saat ini, Sri Mulyani mengaku terus memantau jumlah pemotongan pasokan minyak."Yang perlu kita simak kalau OPEC dengan melakukan pemotongan cukup kredibel akan menyebabkan harga minyak meningkat, dan tentu  kenaikan harga minyak akan memberikan dampak positif dari sisi penerimaan negara," ujarnya. 

Menkeu belum mengetahui secara pasti sampai kapan pembekuan keanggotaan tersebut. Sebab keputusan itu dilakukan secara mendadak. "Saya belum berkomunikasi dengan Menteri ESDM, seperti diketahui keputusan OPEC kan last minute," ujarnya. 

Sebelumnya tersiar berita Indonesia memutuskan untuk membekukan sementara (temporary suspend) keanggotaan di OPEC, pada saat Sidang ke- 171 OPEC di Wina, Austria, pekan lalu. 

Menteri ESDM Ignasius Jonan yang hadir dalam pertemuan itu menilai, pembekuan sementara ini adalah keputusan terbaik bagi seluruh anggota OPEC. Sebab dengan demikian keputusan sidang OPEC untuk memotong produksi minyak mentah sebesar 1,2 juta barel per hari bisa dilaksanakan.

Di sisi lain Indonesia tidak terikat dengan keputusan yang tidak sejalan dengan kepentingan nasional Indonesia. Sebab, sidang OPEC meminta Indonesia untuk memotong sekitar 5% dari produksinya, atau sekitar 37 ribu barel per hari.  "Padahal kebutuhan penerimaan negara masih besar dan pada RAPBN 2017 disepakati produksi minyak di 2017 turun sebesar 5.000 barel dibandingkan 2016," ujar Jonan.

Dengan demikian pemotongan yang bisa diterima Indonesia adalah sebesar 5.000 barel per hari. Jonan menambahkan, sebagai negara pengimpor minyak, pemotongan kapasitas produksi ini tidak menguntungkan bagi Indonesia, karena harga minyak secara teoritis akan naik.

Indonesia tercatat sudah pernah dua kali membekukan keanggotaan di OPEC. Pembekuan pertama pada tahun 2008, efektif berlaku 2009. Indonesia memutuskan kembali aktif sebagai anggota OPEC pada awal 2016.

Sementara itu, Staf Khusus Kementerian ESDM Hadi M Djuraid menambahkan, keputusan untuk membekukan sementara keanggotaan Indonesia di OPEC sudah memperoleh restu dari Presiden Jokowi. 

Jonan menjelaskan, langkah pembekuan diambil menyusul keputusan sidang untuk memotong produksi minyak mentah sebesar 1,2 juta barel per hari, di luar kondensat. Sidang juga meminta Indonesia untuk memotong sekitar 5% dari produksinya, atau sekitar 37 ribu barel per hari.

Pembekuan sementara ini adalah keputusan terbaik bagi seluruh anggota OPEC. Sebab dengan demikian keputusan pemotongan sebesar 1,2 juta barel per hari bisa dijalankan, dan di sisi lain Indonesia tidak terikat dengan keputusan yang tidak sejalan dengan kepentingan nasional Indonesia.

Reaksi DPR

Keputusan pemerintah Indonesia untuk membekukan keanggotaan di organisasi negara eksportir minyak (OPEC) itu ternyata membuat anggota DPR-RI terkejut. Dewan menilai seharusnya pemerintah tidak perlu mengambil langkah tersebut. 

Anggota Komisi VII DPR Satya Widyayudha menjelaskan, ketika pemerintah memutuskan untuk kembali masuk ke dalam OPEC di awal 2016, status Indonesia saat itu hanya sebagai observer dan bukan anggota penuh. Latar belakang status tersebut karena Indonesia merupakan negara pengimpor minyak dan bukan negara pengekspor minyak.

Oleh karena itu, dengan adanya keputusan pemerintah untuk membekukan keanggotaan di OPEC tersebut jelas membuat Satya terkejut. " Jujur, saya agak terkejut. Dulu yang disampaikan bahwa Indonesia hanya sebagai observer bukan full membership. Mengingat kita bukan negara pengekspor, kita pengimpor," ujarnya pekan lalu. 

Kembalinya Indonesia berkecimpung ke dalam OPEC sebenarnya untuk menghubungkan dengan negara produsen minyak. Melalui organisasi tersebut Indonesia dapat dengan mudah memperoleh pasokan minyak.

"Pada waktu itu kita diyakinkan bahwa masuknya sebagai observer maka kita bisa berhubungan dengan para produsen minyak, sehingga bisa dimanfaatkan agar kalau kita mengimpor akan mendapatkan harga yang bagus," ujarnya. 

Karena itu, dia ingin Indonesia tetap berkecimpung dengan OPEC, tetapi statusnya sebagai observer. Dengan demikian, jalinan hubungan dengan neg‎ara pengekspor minyak tetap terjaga, tetapi tidak mengikuti kesepakatan yang diambil oleh anggota.

"Keinginan untuk tetap berhubungan dengan negara produsen tetap trjaga. Di samping itu sebagai observer tidak terkena kebijakan penurunan atau kenaikan tingkat produksi sebagaimana yang di lakukan oleh negara-negara yang full membership," tutur Satya.

Sidang juga meminta Indonesia untuk memotong sekitar 5% dari produksinya, atau sekitar 37 ribu barel per hari. "Padahal kebutuhan penerimaan negara masih besar dan pada RAPBN 2017 disepakati produksi minyak di 2017 turun sebesar 5.000 barel dibandingkan dengan 2016," ujar Jonan.

Dengan demikian, pemotongan yang bisa diterima Indonesia adalah sebesar 5.000 barel per hari. Jonan menambahkan, sebagai negara pengimpor minyak, pemotongan kapasitas produksi ini tidak menguntungkan bagi Indonesia karena harga minyak secara teoritis akan naik.

Sementara itu, Direktur Eksekutif RefoMiner Institute Komaidi Notonegoro mengungkapkan, keunt‎ungan Indonesia membekukan sementara keanggotaan OPEC adalah tidak perlu ikut memangkas produksi minyak sebesar 5% atau setara 37 ribu barel, yang menjadi kesepakatan dalam sidang OPEC di Wina. ‎"Bicara keuntungan, kalau keluar menguntungkan produksi minyak kita," ujarnya. 

Komaidi melanjutkan, dengan keputusan tersebut maka Indonesia Indonesia tak perlu mengubah target produksi minyak yang sudah tercantum dalam APBN 2017, karena tidak ada intervensi dari keputusan OPEC.

Keuntungan lain pembekuan keanggotaan, Indonesia dapat menghindari pungutan iuran anggota. "Sehingga target APBN berubah. Selain itu, tidak membayar iuran," ujarnya. 

Sementara kerugian yang harus ditanggung Indonesia usai membekukan keanggotaan adalah, keterbatasan informasi terkait profil minyak yang diekspor atau impor, sehingga akan menyulitkan untuk mendapat pasokan minyak. "Kerugian tidak tahu detil profil produksi ekspor impor yang kita butuhkan. Jadi informasi supaya dapat pasokan lebih gampang dapat pasokan‎," ujarnya. bari/mohar/fba

BERITA TERKAIT

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…