Oleh: Bhima Yudhistira Adhinegara
Peneliti INDEF
Ditengah lesunya minat wajib pajak untuk membayar tebusan di periode ke-2 tax amnesty, muncul prahara yang mencoreng nama Ditjen Pajak. Tertangkapnya oknum pejabat eselon III Ditjen Pajak oleh KPK jelas menjadi aib terhadap segala proses reformasi birokrasi yang selama ini didengungkan. Kasus ini pun berdampak pada penurunan kepercayaan publik untuk patuh membayar pajak termasuk ikut tax amnesty.
Selama ini Kementerian Keuangan memang telah melakukan aneka reformasi untuk membuat pegawai pajak menjadi lebih profesional dan memiliki integritas. Cara yang ditempuh saat Sri Mulyani menjabat Menkeu di era SBY adalah menaikkan remunerasi bagi petugas pajak. Logika sederhananya ketika remunerasi cukup tinggi maka prilaku korupsi menjadi menurun. Ternyata insentif dalam bentuk remunerasi punya batas maksimal. Dalam titik tertentu, remunerasi yang tinggi tidak berbanding lurus dengan peningkatan kinerja sekaligus menghindarkan pegawai dari prilaku nakal.
Berbicara soal remunerasi tentu juga berkaitan dengan kinerja Ditjen Pajak selama ini. Dalam dua tahun terakhir, penerimaan pajak selalu meleset dari target. Bahkan di tahun 2015 lalu target pajak yang tercapai hanya 81,5% atau terealisasi sebesar Rp.1.055 triliun dari target APBNP Rp.1.294,25 triliun. Tidak tercapainya target kemudian membuat Dirjen Pajak saat itu, Sigit Priadi mengundurkan diri.
Kondisi perpajakan di tahun 2016 nampaknya juga tidak banyak berubah. Realisasi perpajakan per 30 September 2016 tercatat sebesar Rp.896,1 triliun atau 58,2% dari target sebesar Rp.1.352,2 triliun. Sampai akhir tahun 2016, realisasi pajak diprediksi hanya mencapai 85% dari target. Di tahun 2016 masih terdapat shortfall pajak atau selisih target dan realisasi penerimaan pajak sebesar 15% atau Rp.202,83 triliun. Jadi dengan adanya program tax amnesty yang berhasil menarik uang tebusan sebesar Rp.98,8 triliun sampai 28 November pun masih terjadi kekurangan penerimaan pajak yang cukup besar.
Melihat kondisi tersebut maka sudah selayaknya remunerasi pegawai pajak dievaluasi kembali. Koreksi harus dilakukan dalam dua hal. Pertama, ketimpangan remunerasi antara pegawai pajak di eselon III dengan petugas pajak di level terbawah harus dipersempit. Oleh karena itu struktur remunerasi perlu disesuaikan. Ketimpangan remunerasi juga berdampak pada insentif bagi petugas pajak di level terendah. Padahal petugas pajak di level paling bawah yang berhubungan langsung dengan wajib pajak juga perlu diperhatikan karena potensi korupsi cukup terbuka lebar.
Kedua, opsi yang ditawarkan adalah pemangkasan seluruh remunerasi pegawai pajak. Cara ini juga sesuai dengan arahan Menkeu untuk memangkas belanja secara bertahap dan mengalokasikan anggaran untuk sektor yang lebih produktif. Kemungkinan cara kedua ini akan dilakukan pada tahun 2017 mendatang dengan pertimbangan kinerja Ditjen Pajak masih jauh dari memuaskan dan kasus korupsi berulang kembali.
Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta Ada pemandangan aneh ketika kemarin rakyat rela…
Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal Risiko dapat dimaknai sebagai kemungkinan terjadinya suatu kejadian yang…
Oleh: Eko S.A. Cahyanto Sekretaris Jenderal Kemenperin Kementerian Perindustrian (Kemenperin) kembali menggelar kegiatan Business Matching untuk mempertemukan pelaku industri selaku…
Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta Ada pemandangan aneh ketika kemarin rakyat rela…
Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal Risiko dapat dimaknai sebagai kemungkinan terjadinya suatu kejadian yang…
Oleh: Eko S.A. Cahyanto Sekretaris Jenderal Kemenperin Kementerian Perindustrian (Kemenperin) kembali menggelar kegiatan Business Matching untuk mempertemukan pelaku industri selaku…