Urgensi Kenaikan Harga Rokok

Oleh: Joko Tri Haryanto, Staf Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu *)

Dalam Rancangan APBN-P (RAPBN-P) 2017, pemerintah memasang target penerimaan cukai sebesar Rp157,2 triliun atau naik 6,12% dari target APBN-P 2016 sebesar Rp148,1 triliun. Jika dirinci lebih lanjut, target cukai hasil tembakau (CHT) sebesar Rp149,9 triliun atau meningkat 5,78% dibandingkan target APBN-P 2016 sebesar Rp141,7 triliun. Sementara target cukai minuman alkohol naik menjadi Rp5,5 triliun dan cukai ethylalkohol menjadi Rp150 miliar serta cukai lainnya sebesar Rp1 triliun. Kenaikan target tersebut juga diiringi dengan penyesuaian tarif cukai rokok rata-rata sebesar 11,19% per 1 Januari 2016. 

Pemerintah kemudian mewacanakan kenaikan harga rokok di atas Rp50 ribu per pax. Hal tersebut lantas menuai beragam komentar baik yang pro maupun kontra. Pihak yang pro menilai bahwa wacana menaikkan harga rokok di atas Rp50 ribu per batang akan memberikan efek jera yang sangat besar bagi upaya mengurangi angka prevelensi merokok di Indonesia, terutama perokok pemula dan angkatan muda. Sementara pihak yang kontra justru menilai bahwa kenaikan tersebut semata-mata demi mengejar target pendapatan negara dalam APBN 2017 yang hingga kini realisasinya masih terasa jalan di tempat. Data historis memang mendukung argumen ini. Di tahun 2000 saja, realisasi penerimaan cukai sudah mencapai Rp11,3 triliun, meningkat menjadi Rp29,2 triliun di tahun 2004, Rp44,7 triliun di tahun 2007, Rp77 triliun di tahun 2011 serta Rp117,2 triliun di tahun 2014.

Namun seyogyanya masyarakat juga wajib mengetahui bahwa secara filosofi, pengenaan cukai  selain ditujukan untuk aspek pendapatan negara, juga difungsikan untuk mengurangi konsumsi atas berbagai barang yang sifatnya negatif. Karenanya, pengenaan cukai saat ini ditujukan untuk rokok, minuman beralkohol serta ethyl alkohol.

Fenomena di masyarakat

Secara personal, penulis sendiri sangat mendukung wacana tersebut. Hal ini tak lepas dari peran ganda yang diemban oleh cukai selama ini, sepertinya belum berfungsi secara optimal. Munculnya fenomena Baby Smooker dan Marlboro Boys misalnya, meski fenomena tersebut telah mengangkat citra Indonesia di dunia internasional dalam perspektif merugikan. Seri foto-foto yang beredar, dianggap menunjukkan adanya kedekatan anak-anak Indonesia dengan rokok. Bocah-bocah tersebut bahkan bukan sekedar terpapar asap rokok, melainkan aktif mengisap rokoknya sendiri. Sebagian di antara mereka bahkan masih berseragam SD saat menikmati isapan rokoknya, dengan gaya bak orang dewasa yang kecanduan rokok.

Dunia internasional kemudian menuding lemahnya regulasi yang ada di Indonesia tidak mampu membendung penetrasi rokok terhadap anak-anak dan generasi muda, khususnya melalui iklan yang langsung memberikan akses. Cukai rokok kemudian hanya dipandang sebagai kebijakan yang memberikan banyak pemasukan bagi kas negara tanpa mampu mengurangi jumlah perokok yang ada. Belum diratifikasinya Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC) yang digagas oleh lembaga kesehatan dunia WHO hingga kini menjadi bukti ketidakseriusan lainnya.    

Industri rokok memang memiliki sejarah panjang di Indonesia. Mustahil mendiskusikan rokok tanpa melibatkan elemen sejarah lainya, seperti budaya, tradisi serta ritual yang mengakar di masyarakat. Saking kentalnya relasi tersebut, berbagai upaya mengurangi bahaya rokok terhadap kesehatan masyarakat, menjadi hal yang sulit dilakukan, khususnya oleh pemerintah. Argumen penyerapan tenaga kerja, pelestarian tradisi pasti akan selalu mengemuka, meskipun sejujurnya, hal tersebut masih dapat diperdebatkan.

Menurut data pemerintah, rata-rata konsumsi rokok per orang per tahun masyarakat Indonesia selama tahun 2013 saja mencapai 1.250 batang, dengan jumlah kematian penduduk akibat kebiasaan merokok sebesar 200 ribu orang. Hingga tahun 2013, jumlah perusahaan rokok yang beroperasi di Indonesia mencapai 1.530 buah. Indonesia juga tercatat sebagai negara dengan jumlah perokok terbesar ke-3 di dunia dengan jumlah perokok sebanyak 65 juta perokok atau sekitar 28% jumlah penduduk Indonesia.

Jumlah tersebut hanya kalah dibandingkan Tiongkok yang menduduki peringkat 1 perokok terbesar di dunia dengan jumlah 390 juta perokok atau sekitar 29% populasi nasional, diikuti oleh India dengan jumlah 144 juta perokok atau 12,5% populasi nasional. Jumlah perokok di Indonesia bahkan lebih banyak dibandingkan total perokok di Rusia, AS, Jepang, Brasil, Jerman, Bangladesh dan Turki.

Jika dianalisis lebih mendalam, ada korelasi positif antara besarnya jumlah perokok aktif dengan besarnya angka populasi. Tiongkok, India dan Indonesia juga tercatat sebagai negara-negara dengan tingkat populasi penduduk terbesar di dunia. Hal ini sebetulnya cukup wajar mengingat industri rokok memang akan selalu menjadikan masyarakat sebagai pangsa pasar utamanya. Yang menjadi persoalan adalah besarnya perbandingan jumlah perokok di Indonesia terhadap jumlah populasi nasional. Tingginya jumlah perokok pasif juga menjadi persoalan lainnya, mengingat hasil beberapa survei menyebutkan bahwa tingkat kerusakan kesehatan perokok pasif ternyata sama dengan kerusakan yang dialami perokok aktif.

Dari sisi regulasi, pemerintah sebetulnya sudah mengeluarkan banyak peraturan. Yang masih hangat tentu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan, serta aturan turunannya berupa Peraturan  Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 28 Tahun 2013 tentang Pencantuman Peringatan Kesehatan dan Informasi Kesehatan Pada Kemasan Produk Tembakau yang berlaku mulai tanggal 24 Juni 2014. Regulasi tersebut mewajibkan seluruh produsen rokok di Indonesia melengkapi peringatan bahaya merokok bagi kesehatan melalui pemasangan berbagai gambar yang menyeramkan untuk memberikan efek jera kepada para perokok.

Berbagai peraturan mengenai zat adiktif produk tembakau itu sendiri didasarkan kepada Undang-undang (UU) Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang disusun dengan pertimbangan utama aspek kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan UUD 45. Untuk itu, seluruh kegiatan dalam upaya memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip non-diskriminatif, partisipasif dan berkelanjutan dalam rangka pembentukan sumber daya manusia Indonesia, serta peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa bagi pembangunan nasional.

Jangan sampai fenomena baby smooker dan Marlboro Boys masih menjadi trend bagi generasi muda dan anak-anak di Indonesia. (www.kemenkeu.go.id)     *)Tulisan ini adalah pendapat pribadi 

BERITA TERKAIT

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…

BERITA LAINNYA DI Opini

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…