Menebak Arah Kebijakan Energi Trump

Oleh: Sampe L. Purba, Profesional Energi Global – KomTap Kadin Energi Migas

Presiden terpilih Amerika Serikat Donald Trump, dengan slogan kampanye “Make America great again”, menerjemahkan kebijakan energinya dalam An America First Energy Plan. Itu merupakan proklamasi in-ward looking  super nasionalis yang meletakkan  kepentingan Amerika di atas segala-galanya.

Pokok kebijakan Trump di bidang energi meliputi empat  poin. Pertama, ekonomi strategis dan tujuan kebijakan politik luar negeri akan diselaraskan dengan dominannya Amerika di bidang energi. Trump mengklaim bahwa Amerika memiliki modal yang kuat untuk mendikte kebijakan energi dunia. Cadangan minyak Amerika sama dengan satu setengah kali kombinasi cadangan minyak OPEC. Cadangan gasnyapun (sehubungan dengan telah dikuasainya teknologi shale gas) lebih besar dibanding gabungan cadangan gas Rusia, Iran, Qatar dan Arab Saudi. Cadangan Batu baranya tiga kali lebih besar dari milik Rusia.

Klaim di atas, sebenarnya masih dapat diperdebatkan. Misalnya Rystad Energy Norway memperkirakan cadangan minyak Amerika Serikat ada 264 milyar barel, cadangan minyak di Arab Saudi mencapai 212 miliar barel dan Rusia mencapai 256 miliar barel. BP statistical review bahkan mengeluarkan angka yang lebih konservatif menempatkan Amerika di bawah Arab Saudi. Mungkin yang dimaksud oleh Trump adalah Resources(sumber daya), dan bukan Reserves (cadangan).

Kedua, Amerika Serikat akan tidak terlalu tergantung kepada OPEC atau Negara lain yang kebijakannya berseberangan dengan Amerika Serikat. Tingkat percaya diri yang tinggi ini sekaligus merupakan sinyal bahwa Negara-negara tradisional yang menguasai kartel minyak sudah tidak akan berdaya kepada Amerika Serikat. Namun, pada saat yang sama Trump menegaskan bahwa Amerika Serikat siap melanjutkan kerja sama konstruktif di bidang energi dengan Negara-negara Teluk, sebagai bagian dari strategi anti terorisme.

Manifesto kedua ini  menegaskan bahwa Amerika tidak memiliki kekuatiran sedikitpun dengan negara-negara OPEC. Strategi membanjiri produksi minyak di tengah harga yang rendah yang dilakukan Arab Saudi tidak akan mempan untuk menghempang pengembangan energi shale gas dan tight oil di Amerika Serikat. Namun pada saat yang sama, Amerika Serikat akan mempergunakan politik minyak (kali ini Amerika yang mendikte), sebagai bagian dari strategi memerangi terorisme global. Amerika Serikat akan mendorong Iran untuk melepas cadangannya di pasar minyak. Itu untuk menjaga keseimbangan geopolitik di Timur Tengah, sekaligus  menekan Arab Saudi yang dianggap bersimpati dan mendukung beberapa kelompok aliran garis keras yang beroperasi di luar negeri.

Ketiga, Amerika akan mendorong pengembangan dan inovasi teknologi untuk menghasilkan energi seoptimum mungkin, termasuk penggunaan nuklir dan energi terbarukan. Dengan konsep ini, Trump bahkan tidak terlalu merasa terikat untuk menjaga komitmen global dalam menjaga lingkungan maupun iklim.

Trump mencela Presiden Obama yang terlalu peduli dengan lingkungan, misalnya dengan ikut menandatangani Paris Climate Accords pada Agustus 2015 yang lalu. Trump menganggap hal tersebut membuat Amerika menyerahkan sebagian kedaulatan energinya kepada badan dunia. Amerika dapat terkekang untuk mengeksplorasi minyak dan gas di wilayah teritorial hukumnya termasuk di lepas pantai atlantik, demi menjaga keseimbangan iklim global dan lingkungan hidup.

Keempat, Trump lebih memilih penghasilan dari produksi energi digunakan untuk membangun jalan jalan raya, jembatan peningkatan mutu pendidikan dan infrastruktur publik. Energi yang murah juga akan mendorong bangkitnya sektor agrikultur. Fokus keempat ini menyampaikan dua pesan. Pertama adalah  Amerika akan melepas sebagian tanggung jawab moralnya untuk membantu pembangunan di negara-negara berkembang. Yang kedua, dengan mendorong pertanian yang efisien, maka Amerika sekaligus akan unggul di bidang energi dan pangan. Dua bidang yang ditengarai menjadi sumber konflik peradaban di masa depan.

Pergeseran Konstelasi Regional

Dampak kebijakan ini  akan segera terlihat di tiga simpul energi, yaitu Eropa, Kawasan Teluk dan Asia Pasifik. Trump akan lebih melihat Eropa sebagai pasar dibandingkan dengan Asia Pasifik. Keinginan Eropah untuk mendiversifikasi sumber energinya dengan mengurangi ketergantungan kepada gas pipa Rusia, bertemu dengan ambisi Trump.

Trump akan melanjutkan membanjiri Eropah dengan LNG (gas alam cair). Akan terjadi gas-to-gas competition . Harga gas acuan di Eropa (National Balance Point), akan banyak dipengaruhi oleh indeks harga gas Amerika yang kompetitif (Henry Hub), ditambah dengan biaya pengapalan dan regasifikasi di daratan Eropa.

Saat ini terjadi anomali di pasar LNG. Kapasitas pencairan (liquifaction) LNG dunia pada tahun 2015 ada 284 juta metrik ton. Jumlah tersebut meningkat hingga 428 juta metrik ton di tahun 2021. Peningkatan tersebut sebagian besar ada di Amerika Serikat dan Australia. Di sisi lain, permintaan LNG global di tahun 2015 hanya 250 juta metrik ton dan bertumbuh hingga 340 juta metrik ton di tahun 2021.

Implikasinya sangat jelas. Pembeli akan berlanjut mendikte pasar. The survival of the fittest. Rusia yang terdesak akan mencari pasar baru ke wilayahAsia  Pasifik bersaing dengan Australia. Jepang, Korea Selatan dan Tiongkok sebagai pasar tradisional di kawasan Asia Timur Pasifik akan diuntungkan. Ketidaktertarikan Trump untuk memperkuat TPP (Trans Pacific Partnership), akan memberikan ruang bagi Tiongkok untuk lebih berperan di kawasan Asia Pasifik.  Sementara itu,  Pasar Anak Benua India akan dikuasai oleh Negara-negara Teluk.

 Penyesuaian Kebijakan 

Indonesia harus adaptif merespon pergeseran konstelasi tersebut. Kerja sama regional untuk saling membuka pasar dengan keunggulan kompetitif masing-masing harus ditingkatkan. Penguatan  daya beli dan daya serap gas domestik harus diupayakan. Untuk itu harus ada relaksasi hilirisasi industri gas, dengan mendorong integrasi vertikal atau konglomerasi.

Hal ini akan memperkuat dan memastikan adanya captive (pasar bahan baku), dan memberi kesempatan untuk berkembangnya industri turunan yang menggunakan gas.  Kontrak-kontrak kerja sama migas yang masih prospektif, apabila akan diperpanjang hendaknya disertai dengan komitmen untuk juga berinvestasi di industri hilir, atau di sektor infrastruktur. (www.satuharapan.com)

 

BERITA TERKAIT

Indonesia Tidak Akan Utuh Tanpa Kehadiran Papua

    Oleh : Roy Andarek, Mahasiswa Papua Tinggal di Jakarta   Papua merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Negara…

Masyarakat Optimis Keputusan MK Objektif dan Bebas Intervensi

  Oleh: Badi Santoso, Pemerhati Sosial dan Politik   Masyarakat Indonesia saat ini menunjukkan optimisme yang tinggi terhadap proses penyelesaian…

Perang Iran-Israel Bergejolak, Ekonomi RI Tetap On The Track

    Oleh: Ayub Kurniawan, Pengamat Ekonomi Internasional   Perang antara negeri di wilayah Timur Tengah, yakni Iran dengan Israel…

BERITA LAINNYA DI Opini

Indonesia Tidak Akan Utuh Tanpa Kehadiran Papua

    Oleh : Roy Andarek, Mahasiswa Papua Tinggal di Jakarta   Papua merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Negara…

Masyarakat Optimis Keputusan MK Objektif dan Bebas Intervensi

  Oleh: Badi Santoso, Pemerhati Sosial dan Politik   Masyarakat Indonesia saat ini menunjukkan optimisme yang tinggi terhadap proses penyelesaian…

Perang Iran-Israel Bergejolak, Ekonomi RI Tetap On The Track

    Oleh: Ayub Kurniawan, Pengamat Ekonomi Internasional   Perang antara negeri di wilayah Timur Tengah, yakni Iran dengan Israel…