Krisis Berikutnya Bisa Dipicu Bubble Bank Sentral

 

 

 

NERACA

 

Jakarta - Seorang bankir menyatakan krisis ekonomi global berikutnya bisa dipicu oleh gelombang kebijakan suku bunga negatif dari berbagai bank sentral dunia (central bank) yang bisa memicu gelembung (bubble) peningkatan nilai instrumen keuangan yang tidak sesuai nilai fundamentalnya. Direktur Keuangan PT Bank Rakyat Indonesia Persero Tbk (BRI) Haru Koesmahargyo di Jakarta, Kamis (27/10), mengatakan kebijakan suku bunga nol persen dan suku bunga minus oleh beberapa bank sentral telah meningkatkan nilai berbagai instrumen keuangan yang tidak berbasiskan bunga di pasar global.

Lazimnya, ketika suku bunga nol persen atau negatif, dana dari bank akan dipindahkan ke instrumen keuangan di pasar modal, karena bunga yang ditawarkan bank tidak menarik. "Semakin turun bunga acuan bank sentral maka akan semakin meningkatkan 'value' (nilai) instrumen finansial," kata Haru. Hal itu, kata Haru, bisa terjadi di pasar keuangan global, terutama sejak Bank Sentral Jepang dan Bank Sentral Eropa menerapkan suku bunga negatif pada awal tahun. Pembelian instrumen keuangan non-bank secara masif (bubble) juga dikhawatirkan berdasarkan spekulasi.

Hal itu, kata Haru, akan memicu potensi gejolak atau instabilitas ketika kebijakan suku bunga negatif tersebut akan menemui titik balik dan memicu jatuhnya harga instrumen keuangan. "Makin rendah suku bunga, maka semakin tinggi 'value' instrumen. Namun, tidak ada sumur yang tidak memiliki dasar. Ketika ada titik balik, harga instrumen finansial yang 'bubble' akan jatuh," kata dia.

Sebelumnya, kata dia, terdapat dua fenomena "bubble" yang menyebabkan badai atau krisis ekonomi global, yakni pada 1999 dan 2008. "1999 berasal dari emiten-emiten dot-com di pasar modal Amerika Serikat, namum dampaknya tidak terlalu terasa di Indonesia. Kemudian tahun 2008 krisis keuangan, berasal dari bubble properti," kata dia.

Haru menekankan penempatan dana lebih baik diprioritaskan untuk sektor riil dan sektor yang tidak berpotensi terjadi "bubble". "Pertumbuhan ekonomi harus didorong dengan mengeser dana-dana di instrumen keuangan di atas ke sektor riil. Sebab dia menilai, pembiayaan ke sektor riil cenderung terhindar dari gelembung ekonomi," ujarnya.

Bank sentral AS atau Federal Reserve mungkin harus mempertahankan suku bunga rendah untuk waktu lebih lama guna meyakinkan investor dan masyarakat bahwa bank sentral serius mencapai target inflasi dua persen, Presiden Federal Reserve Chicago, Charles Evans, menyatakan pada Senin (24/10). Dengan inflasi yang berjalan terlalu rendah, baik di Amerika Serikat maupun global, the Fed perlu menunjukkan komitmennya untuk mencapai target inflasi "berkelanjutan, simetris, dan lebih cepat," kata Evans dalam slide yang disiapkan untuk sebuah pidato di Chicago.

Untuk melakukan hal itu, kata dia, mungkin memerlukan "tingkat pengangguran di bawah batas (undershooting) dan target inflasi melampaui batas (overshooting)." Inflasi telah berjalan di bawah dua persen sejak 2012 dan pengangguran saat ini di lima persen, kisaran di mana banyak ekonom percaya konsisten dengan lapangan pekerjaan penuh.

Evans, yang akan berotasi menjadi pemilik hak suara pada panel kebijakan Fed tahun depan, telah berada di antara suara-suara paling keras bahwa Fed harus melakukan pendekatan sabar dan bertahap dalam menaikkan suku bunganya.
Dia tidak mengacu pada kecepatan kenaikan suku bunga yang lebih disukai secara pribadi, dan malah mengatakan dia ingin melihat laju kenaikan suku bunga terkait dengan kemajuan pada inflasi.

Meskipun prospek jangka pendek untuk pertumbuhan ekonomi adalah "relatif baik," kata dia, pertumbuhan angkatan kerja lebih lambat dan faktor-faktor lain yang membatasi potensi untuk ekspansi lebih cepat di masa depan, memaksa The Fed untuk mempertahankan suku bunga rendah guna memelihara pertumbuhan yang ada. Jadi sementara suku bunga jangka pendek hanya di atas nol, kebijakan moneter bukan sebagai akomodatif karena itu tampak kuat, dan the Fed memiliki sedikit "ruang" untuk menaikkan suku, katanya.

The Fed terakhir menaikkan suku bunga pada Desember tahun lalu. Kenaikan suku bunga lebih lanjut, kata Evans dalam slide-nya, harus dikaitkan dengan angka inflasi yang lebih tinggi, angka tinggi pada ekspektasi inflasi, dan penurunan tingkat pengangguran.

BERITA TERKAIT

Survei BI : Kegiatan Dunia Usaha Meningkat di Triwulan I/2024

    NERACA Jakarta – Hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) Bank Indonesia (BI) mengindikasikan bahwa kinerja kegiatan dunia usaha…

BRI Catat Setoran Tunai Lewat ATM Meningkat 24,5%

  NERACA Jakarta – PT Bank Rakyat Indonesia Persero Tbk (BRI) mencatat setoran tunai melalui ATM bank tersebut meningkat sebesar 24,5 persen…

Bank DKI Jadi Penyumbang Deviden Terbesar ke Pemprov

    NERACA Jakarta – Bank DKI menjadi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) penyumbang dividen terbesar bagi Provinsi DKI Jakarta sepanjang…

BERITA LAINNYA DI Jasa Keuangan

Survei BI : Kegiatan Dunia Usaha Meningkat di Triwulan I/2024

    NERACA Jakarta – Hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) Bank Indonesia (BI) mengindikasikan bahwa kinerja kegiatan dunia usaha…

BRI Catat Setoran Tunai Lewat ATM Meningkat 24,5%

  NERACA Jakarta – PT Bank Rakyat Indonesia Persero Tbk (BRI) mencatat setoran tunai melalui ATM bank tersebut meningkat sebesar 24,5 persen…

Bank DKI Jadi Penyumbang Deviden Terbesar ke Pemprov

    NERACA Jakarta – Bank DKI menjadi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) penyumbang dividen terbesar bagi Provinsi DKI Jakarta sepanjang…