Mengakhiri Kegaduhan di Batam

 

 

Oleh: Bhima Yudhistira Adhinegara

Peneliti INDEF

 

Batam kembali menyita perhatian setelah sebelumnya sempat gonjang-ganjing akibat dualisme kewenangan Pemerintah pusat-daerah. Kali ini sumber masalahnya adalah tarif UWTO (Uang Wajib Tahunan Otorita) yang mengalami penyesuaian akibat keluarnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.148/PMK.05/2016. Pelaku usaha jelas menolak karena dinilai menjadi beban baru ditengah lesunya ekonomi saat ini.

Sebenarnya yang jadi titik persoalan adalah momentum dari keluarnya PMK tersebut. Kegaduhan Batam beberapa waktu lalu akibat dualisme kewenangan menimbulkan ketidakpastian bagi dunia usaha. Ditambah dengan keluarnya PMK 148 yang berimplikasi pada kenaikan sewa tanah tentu dari segi waktu kurang pas.

Bak bola liar, kini isu PMK 148 beralih menjadi isu ketidakpercayaan bagi pimpinan BP Batam yang baru saja dipilih. Tentu kita harus paham bahwa kepemimpinan BP Batam baru berjalan 7 bulan. Waktu yang masih baru untuk berbenah. PR jelas menumpuk mulai dari tata kelola lembaga, infrastruktur, pemberantasan pungli hingga tata kelola aset termasuk urusan sewa lahan. PR yang banyak itu butuh waktu untuk diselesaikan. Alangkah bijak mendudukkan permasalahan satu per satu, ketimbang menuding BP Batam tidak pro dunia usaha.

Faktanya PMK 148 sebenarnya sudah diusulkan jauh hari sebelum pimpinan baru BP Batam terpilih. Hanya saja realisasi keluarnya aturan baru dari pusat bertepatan dengan masa kepemimpinan BP Batam yang baru. Momentum keluarnya aturan yang kurang pas ini bisa diselesaikan dengan duduk bersama antar pihak Dewan Kawasan dan Asosiasi Pengusaha.

Oleh karena itu kegaduhan akibat pemberlakuan PMK 148 jelas tidak perlu. Pemerintah pusat wajib sadar kondisi Batam sedang mengalami tahap revitalisasi. Saat ini pimpinan baru yang ditunjuk punya tugas berat untuk mengembalikan kejayaan Batam agar bisa mengejar kawasan industri lain seperti Iskandar di Malaysia dan Shenzhen di China. Disatu sisi pengusaha dinilai harus fair, bahwa permasalahan tarif sewa lahan yang baru tidak lantas menggenalisir upaya reformasi yang dilakukan BP Batam lainnya menjadi tidak berarti.

Tantangan Batam saat ini jelas makin kompleks. Batam mengalami deindustrialisasi dini. Penurunan porsi industri makin besar. Di tahun 1998, porsi industri bisa mencapai 67% dari total PDB. Di tahun 2015 lalu porsi industri tinggal 55%. Batam mulai banyak di isi oleh pembangunan properti ketimbang pabrik-pabrik industri. Padahal marwah awal pendirian kawasan perdagangan bebas di Batam adalah mendorong industrialisasi.

Sebagai usul, gejolak tarif sewa lahan ini memang harus segera diakhiri. Pasalnya ada masalah yang lebih urgen untuk segera diselesaikan seperti pembangunan dan perbaikan infrastruktur. Pelabuhan trans-shipment dan peningkatan kapasitas pelabuhan mutlak dilakukan. Jangan terjebak pada persoalan yang sifatnya temporer.

 

BERITA TERKAIT

Kolaborasi Hadapi Tantangan Ekonomi

Oleh: Sri Mulyani Indrawati Menteri Keuangan Proses transisi energi yang adil dan terjangkau cukup kompleks. Untuk mencapai transisi energi tersebut,…

Dunia Kepelautan Filipina

  Oleh: Siswanto Rusdi Direktur The National Maritime Institute (Namarin)   Dunia kepelautan Filipina Tengah “berguncang”. Awal ceritanya dimulai dari…

Dilemanya LK Mikro

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Kehadiran lembaga keuangan (LK) mikro atau lembaga keuangan mikro syariah (LKM/LKMS) dipandang sangat strategis.…

BERITA LAINNYA DI

Kolaborasi Hadapi Tantangan Ekonomi

Oleh: Sri Mulyani Indrawati Menteri Keuangan Proses transisi energi yang adil dan terjangkau cukup kompleks. Untuk mencapai transisi energi tersebut,…

Dunia Kepelautan Filipina

  Oleh: Siswanto Rusdi Direktur The National Maritime Institute (Namarin)   Dunia kepelautan Filipina Tengah “berguncang”. Awal ceritanya dimulai dari…

Dilemanya LK Mikro

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Kehadiran lembaga keuangan (LK) mikro atau lembaga keuangan mikro syariah (LKM/LKMS) dipandang sangat strategis.…