Basmi Kartel Pangan!

Keberanian Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengajak Kapolri, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan Menteri Pangan Amran Sulaiman, bertekad menindak tegas kartel pangan, patut kita apresiasi.  Pasalnya, kartel komoditas pangan selama ini telah mengambil keuntungan besar dari impor daging sapi, kedelai, jagung, gula, bawang putih, dan bawang merah. 

Kartel, merupakan kerja sama sejumlah per-usahaan yang bersaing untuk mengoordinasi kegiatannya sehingga dapat mengendalikan jumlah produksi dan harga suatu barang dan atau jasa untuk memperoleh keuntungan di atas tingkat keuntungan yang wajar, yang secara klasik menguasai jalur harga, produksi, dan wilayah pemasaran. 

Meski kegiatan kartel tidaklah mudah di-buktikan dan sebagian besar praktik kartel dilakukan secara diam-diam, membuat otoritas pengawas seringkali kesulitan mendapatkan bukti-bukti sahih untuk menyeret pelaku kartel.  

Tidak mengherankan bila sebagian besar kartel pangan yang mendapat dukungan birokrasi korup, berubah jadi amat struktural, bagai tembok kedap air. Meskipun sudah dihukum pada 2006, praktik kartel garam kembali terulang pada 2015. Pelaku “jual-beli” kuota impor daging sapi ditangkap dan dihukum 2013, namun harga daging sapi sampai sekarang masih mahal. 

Kondisi serupa bukan mustahil masih melekat dalam tata niaga komoditas strategis lain. Kartel pangan tumbuh subur di negeri ini bukan hanya karena kue ekonomi dan peluang keuntungannya amat besar, tetapi juga didorong oleh kecenderungan perilaku pelaku ekonomi untuk menjadi rent seekers, lemahnya penegakan aturan main dan pengawasan, serta buruknya aransemen kelembagaan dan kualitas kebijakan (ekonomi). 

Akibat itu, hampir pada setiap jengkal aktivitas ekonomi pangan, baik yang pasarnya diatur maupun yang sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pasar, selalu muncul peluang terjadi kartel pangan. Ini terutama terjadi pada komoditas-komoditas pangan penting yang kue ekonominya amat besar: beras, jagung, kedelai, terigu, gula, daging, dan gula. 

Kartel kian menggila apabila produksi domestik tidak mencukupi. Dalam ilmu ekonomi dikenal dua bentuk ekstrem struktur pasar: monopsoni plus varian berupa oligopsoni dan struktur monopoli plus varian berupa oligopoli. Struktur ekonomi disebut monopsoni apabila pembeli hanya satu, atau beberapa pembeli (oligopsoni) bersekongkol mengatur harga beli komoditas pangan. 

Struktur pasar disebut monopoli apabila penjual komoditas hanya satu, atau beberapa penjual (oligopoli) bersekongkol mengaturhargajualkomoditas. Empat bentuk struktur itu menandai telah terjadi kegagalan pasar (market failures). Istilah ini sering disandingkan dengan istilahkegagalannegara (statefailures), yang ditandai ketidakmampuan negara melakukan eksekusi program sampai menegakkan aturan yang dibuatnya sendiri.  

Apa pun bentuk dan struktur pasarnya, petani dan konsumen selalu berada pada pihak yang dirugikan. Di hulu, petani berhadapan dengan para tengkulak yang bisa disebut pengijon.  Mereka terkadang amat leluasa menentukan harga beli produk pangan. Caranya, mereka menetapkan kriteria sepihak, serba tidak jelas, tidak transparan, dan tidak adil. 

Artinya, petani tidak berdaya. Selain tidak memiliki alternatif pasar, informasi pasar sepenuhnya juga berada di tangan tengkulak. Situasi makin rumit apabila petani terikat utang kepada pengijon, baik untuk modal kerja maupun kebutuhan hidup.  

Apalagi kondisi diperparah oleh kebijakan pemerintah yang tanpa sadar ternyata telah memfasilitasi terjadi penguasaan pasar melalui kebijakan tata niaga yang salah. Menurut pakar pangan Khudori, ada empat hal yang harus dilakukan. Pertama, reformasi struktur pasar. Caranya, mendorong munculnya pelaku-pelaku usaha baru di setiap komoditas strategis. 

Reformasi struktur pasar tidak untuk mematikan pelaku usaha lama, tapi mendorong munculnya pelaku usaha baru. Kedua, membenahi administrasi pergudangan. Ketika informasi gudang dikuasai, gerak arus barang dari satu titik ke titik lain mudah diestimasi, termasuk fluktuasi harga. 

Lebih dari itu, administrasi yang baik dengan mudah mendeteksi aksi aji mumpung, baik menimbun maupun menciptakan kelangkaan pasar semu pelaku kartel. Ketiga , meningkatkan produksi, produktivitas, dan efisiensi usaha tani dan tata niaga komoditas pangan di hulu. Produksi pangan yang baik akan menekan dampak buruk inefisiensi perdagangan. 

Perbaikan sistem informasi harga, informasi pasar, dan teknologi baru akan mengurangi inefisiensi sistem perdagangan yang akut. Keempat, memperkuat Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) baik dalam kewenangan menemukan alat bukti, memperluas definisi pelaku usaha sebagai subjek hukum KPPU, maupun meningkatkan denda administratif menjadi Rp500 miliar agar mereka jera. Untuk itu, perlunya amendemen UU Nomor 5/1999 segera dilakukan. 

BERITA TERKAIT

Sinergitas Lintas Sektoral

Dalam upaya menjaga Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Kamtibmas), serta untuk menciptakan situasi dan kondisi di wilayah agar tetap dalam keadaan…

Optimalisasi Pangan

Harga pangan di sejumlah wilayah Indonesia mengalami kenaikan dalam beberapa waktu terakhir, terlebih menjelang Ramadhan dan Lebaran Idul Fitri. Tidak…

Momentum Jalin Persatuan

Pasca pemilihan umum, bulan Ramadhan menyajikan momentum yang berharga bagi masyarakat untuk menyatukan diri. Meskipun perbedaan politik mungkin telah menimbulkan…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Sinergitas Lintas Sektoral

Dalam upaya menjaga Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Kamtibmas), serta untuk menciptakan situasi dan kondisi di wilayah agar tetap dalam keadaan…

Optimalisasi Pangan

Harga pangan di sejumlah wilayah Indonesia mengalami kenaikan dalam beberapa waktu terakhir, terlebih menjelang Ramadhan dan Lebaran Idul Fitri. Tidak…

Momentum Jalin Persatuan

Pasca pemilihan umum, bulan Ramadhan menyajikan momentum yang berharga bagi masyarakat untuk menyatukan diri. Meskipun perbedaan politik mungkin telah menimbulkan…