Penilaian Legislator - Industri Farmasi Butuh Perbaikan Tata Kelola Bisnis Obat

NERACA

Jakarta – Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf menyatakan perlu ada upaya pembenahan terhadap regulasi yang menghambat produksi dan distribusi obat nasional agar industri farmasi hidup dan berkembang. Pihaknya masih kerap mendapat keluhan dari perusahaan farmasi terkait izin edar yang begitu sulit dari otoritas yang menangani bidang tersebut.

“Harus ada penataan ulang regulasi jangan sampai hal itu justru menjadi bumerang bagi industri farmasi dalam negeri,” kata Dede Yusuf pada Munas Gabungan Pengusaha Farmasi Indonesia (GPFI) di Bandung, Jawa Barat, sebagaimana disalin dari Antara di Jakarta, kemarin.

Menurut Dede, susahnya izin edar obat itu membuat peredaran obat menjadi terkendala. Bahkan berandil dengan kerap adany kekurangan pasokan obat di rumah sakit pemerintah maupun swasta. Ia menyambut baik dari upaya Badan Pengawasann Obat dan Makanan (BPOM) yang telah mempersingkat waktu pelayanan pendaftaran produk dari 40 hari menjadi seminggu. Namun selain itu diharapkan juga diikuti dengan perubahan regulasi yang bisa menggairahkan produksi farmasi dalam negeri. “Keluhan dari pengusaha farmasi, ya di izin edar itu. Bila ada yang bisa diubah ya ubah. Kebijakan yang bagus kita dukung, tapi bila ada yang kurang bagus kita perbaiki bersama,” katanya.

Pada kesempatan itu, ia berharap pemerintah memberikan kemudahan bagi industri farmasi dan tidak memberatkan bagi mereka sehingga bisa menjadi kekuatan dalam mendukung program kesehatan masyarakat.

Dede Yusuf menyebutkan, pihaknya telah membentuk Panitia Kerja yang menangani peredaran vaksin dan obat-obatan. Di dalamnya, menurut dia termasuk tata kelola obat serta mempersiapkan ke depannya dari perkembangan farmasi nasional.

“Tata kelola obat nasional perlu menjadi perhatian, jangan sampai pemenang tender obat yang nilainya kecil harus dikirim ke daerah yang membutuhkan biaya besar yang tidak sebanding. Dampaknya bisa terjadi kekurangan obat untuk program JKN, nanti BPJS Kesehatan kena bully karena obat tidak ada di rumah sakit,” katanya. Dede Yusuf menegaskan, Komisi IX DPR berkepentingan melihat industri obat agar menjadi kekuatan negara dalam pemberian layanan kesehatan dalam hal ini pemenuhan obat kepada warganya.

 Gabungan Pengusaha Farmasi Indonesia (GPFI) menargetkan pada tahun 2019, kebutuhan obat untuk keperluan program BPJS Kesehatan dapat 100 persen tertangani. “Saat ini pasokan untuk obat BPJS Kesehatan tertangani 70 persen, itu bagus, yang sisanya impor karena tergolong obat yang mahal. Tahun 2019, kami targetkan sudah bisa 100 persen kebutuhan obat secara universal di Indonesia sudah bisa terpenuhi,” kata Direktur Eksekutif GPFI Darajatun Sanusi pada Munas GPFI XV Tahun 2016 di Bandung, sebagaimana disalin dari Antara, di Jakarta, kemarin.

Ia mengatakan Munas yang berlangsung sejak 23 hingga 25 Oktober 2016 itu di antaranya membahas tentang kemampuan para pengusaha farmasi nasional dalam memproduksi obat untuk keperluan masyarakat, khususnya kebutuhan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Selain kemampuan produksi nasional, hal lain yang menjadi pembahasan adalah kemampuan berinovasi dalam riset dan produksi obat nasional agar tercipta kemandirian farmasi. Namun ia mengakui jika untuk mencapai kemandirian perlu kerja keras, sebab sebagian besar bahan baku farmasi masih diimpor.

Sementara itu Ketua Umum GPFI Johannes Setijono mengakui bila bahan baku pembuatan farmsi masih tergantung dari impor. Namun menurutnya kondisi itu juga dialami oleh negara lain didunia. “Amerika Serikat bahkan masih impor bahan baku sekitar 80 persennya. Namun kami terus berusaha agar bahan baku bisa terpenuhi didalam negeri,” katanya.

Menurut dia, beberapa jenis obat GPFI akan berusaha untuk mendirikan industri bahan baku obatnya. Namun hanya untuk beberapa jenis obat yang memiliki daya saing dan memiliki sumber bahan baku yang banyak. Sehingga bahan baku itu tidak hanya untuk diserap bagi perusahaan farmasi lokal, namun juga bisa ekspor.

“Sebab untuk membangun industri bahan baku obat ini perlu waktu antara tiga hingga empat tahun, serta dukungan regulasi dari pemerintah yang memudahkan. Selain itu pemerintah juga harus bisa menjamin penyerapan bahan baku obat industri nasional tersebut,” katanya.

Ia mengatakan saat ini sudah ada tujuh perusahaan yang siap membangun industri bahan baku obat lokal sehingga diperkirakan tahun 2019 ketersediaan bahan baku lokal sudah ada. “Akan ada belasan industri bahan baku obat hingga tahun 2025,” katanya.

Munas GPFI dihadiri oleh Kepala BPOM Penny Kusumastuti Lukito dan Dirjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI Maura Linda Sitanggang dan Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris.

BERITA TERKAIT

Konflik Iran dan Israel Harus Diwaspadai Bagi Pelaku Industri

NERACA Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus memantau situasi geopolitik dunia yang tengah bergejolak. Saat ini situasi Timur Tengah semakin…

Soal Bisnis dengan Israel - Lembaga Konsumen Muslim Desak Danone Jujur

Yayasan Konsumen Muslim Indonesia, lembaga perlindungan konsumen Muslim berbasis Jakarta, kembali menyuarakan desakan boikot dan divestasi saham Danone, raksasa bisnis…

Tiga Asosiasi Hilir Sawit dan Forwatan Berbagi Kebaikan

NERACA Jakarta – Kegiatan promosi sawit dan bakti sosial diselenggarakan Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) bersama tiga asosiasi hilir sawit yaitu…

BERITA LAINNYA DI Industri

Konflik Iran dan Israel Harus Diwaspadai Bagi Pelaku Industri

NERACA Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus memantau situasi geopolitik dunia yang tengah bergejolak. Saat ini situasi Timur Tengah semakin…

Soal Bisnis dengan Israel - Lembaga Konsumen Muslim Desak Danone Jujur

Yayasan Konsumen Muslim Indonesia, lembaga perlindungan konsumen Muslim berbasis Jakarta, kembali menyuarakan desakan boikot dan divestasi saham Danone, raksasa bisnis…

Tiga Asosiasi Hilir Sawit dan Forwatan Berbagi Kebaikan

NERACA Jakarta – Kegiatan promosi sawit dan bakti sosial diselenggarakan Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) bersama tiga asosiasi hilir sawit yaitu…