Pengampunan Pajak, Perusahaan Cangkang, dan Kawasan Ekonomi Khusus

Oleh: Akhmad Solikin, Staf Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu *) 

 

Menurut Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2016, Pengampunan Pajak (Tax Amnesty/TA)  adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan, dengan cara mengungkap harta dan membayar uang tebusan. Dengan tagline ‘ungkap, tebus, lega’, program TA menargetkan untuk memperoleh penerimaan negara sebesar Rp165 triliun.

Ketentuan TA tidak hanya terkait pengampunan dan pembayaran uang tebusan, tetapi juga kepentingan yang lebih besar untuk deklarasi aset yang selama ini belum dilaporkan dan repatriasi aset tersebut ke dalam negeri. TA juga terkait dengan momentum reformasi perpajakan, kepastian hukum, dan perluasan basis data perpajakan (Kemenkeu, 2016a).  Deklarasi aset diharapkan dapat memperbaiki basis data untuk pengelolaan pajak yang lebih baik pada masa yang akan dating. Sementara, repatriasi aset dapat menyediakan tambahan modal yang dapat dimanfaatkan untuk pembangunan di dalam negeri. Tambahan dana masuk ke dalam negeri tersebut juga diharapkan dapat memperkuat nilai tukar, cadangan devisa, neraca pembayaran, dan likuiditas perbankan (Media Keuangan, April 2016).

Aturan pelaksanaan UU Pengampunan Pajak telah ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 118/PMK.08/2016. Selain itu, terdapat PMK lain dengan pengaturan yang lebih khusus. Untuk menampung dana hasil TA, misalnya, Menteri Keuangan telah menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 600/KMK.03/2016 yang menetapkan 77 bank persepsi yang dapat menerima dana tebusan dan dana repatriasi. Selain itu, ada pula PMK 119/PMK.08/2016 yang telah diubah dengan PMK 123/PMK.08/2016, yang mengatur mengenai pengalihan harta dan penempatan investasi pada instrumen investasi keuangan; serta PMK 122/PMK.08/2016 yang mengatur mengenai pengalihan harta dan investasi di luar instrumen keuangan.

Salah satu wacana yang masih dipertimbangkan oleh pemerintah (Kompas.com, 6 September 2016) terkait dengan TA adalah pendirian satu wilayah di Indonesia, baik berupa pulau atau kota khusus, yang disediakan untuk menampung dana repatriasi.  Langkah ini perlu dilakukan agar derasnya arus dana repatriasi tidak menyebabkan terjadinya gelembung ekonomi di dalam negeri. Selain itu, kawasan tersebut sekaligus dapat mencegah pelarian modal setelah periode investasi minimal dalam TA, yaitu tiga tahun, berdasarkan Pasal 13 PMK 118/PMK.03/2016. Bentuk yang diusulkan adalah semacam offshore financial center, yang dimodelkan semacam Labuan Offshore Company di Malaysia.

Citra Buruk 

Usulan untuk membentuk kawasan khusus tersebut dilandasi oleh pandangan bahwa pemerintah perlu mengakomodasi kepentingan pengusaha dan perusahaan Indonesia yang membutuhkan sarana dalam bentuk perusahaan cangkang (shell corporation) atau Special Purpose Vehicle (SPV) untuk mempermudah kepentingan bisnisnya. Ditengarai, banyak pengusaha dan perusahaan Indonesia mempergunakan SPV untuk menyimpan dananya agar tidak terdeteksi oleh otoritas pajak dan otoritas hukum di dalam negeri. SPV sendiri memiliki citra yang buruk, karena banyak SPV yang didirikan di negara atau kawasan surga pajak (tax haven) yang memberikan tarif pajak sangat rendah, atau bahkan bebas pajak, plus perlindungan kerahasiaan bank (bank secrecy). Dengan karakteristik tersebut, SPV dapat dipakai sebagai sarana untuk penghindaran atau penggelapan pajak, serta pencucian uang hasil kejahatan korupsi, narkotika, atau perdagangan manusia (Tempo.co, 6 April 2016).

Sebenarnya, hingga saat ini belum ada peraturan khusus yang mengatur mengenai SPV di Indonesia. SPV tidak diatur secara khusus dalam UU Perseroan Terbatas (PT) yang mengatur mengenai korporasi yang berkedudukan di Indonesia. Meskipun demikian, pada praktiknya, penggunaan SPV merupakan hal yang lumrah dalam bisnis (HukumOnline.com, 2016), sehingga harus diteliti kasus per kasus untuk menentukan apakah SPV digunakan untuk penghindaran pajak atau penggelapan pajak (Okezone, 19 April 2016). Secara umum, SPV memang didirikan untuk tujuan yang khusus dan dapat dipergunakan untuk melindungi korporasi atau individu pendirinya (atau dalam hal tertentu krediturnya), dengan membatasi tanggung jawabnya sebatas modal yang dipisahkan (Oktavinanda, 2013).

Ditinjau dari sisi perpajakan, setidaknya terdapat dua pengertian SPV. Pertama, menurut PMK 258/PMK.03/2008 perusahaan antara (special purpose company atau conduit company), yaitu perusahaan yang dibentuk untuk tujuan penjualan atau pengalihan saham perusahaan, yang didirikan atau bertempat kedudukan di negara yang memberikan perlindungan pajak (tax heaven country) yang mempunyai hubungan istimewa dengan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, atau bentuk usaha tetap di Indonesia. Definisi ini berkaitan dengan kepentingan pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 atas penghasilan dari pengalihan atau penjualan saham yang diterima atau diperoleh wajib pajak luar negeri. Kedua, PMK 127/PMK.010/2016 mendefinisikan SPV untuk kepentingan pengampunan pajak sebagai perusahaan antara yang didirikan semata-mata untuk menjalankan fungsi khusus tertentu untuk kepentingan pendirinya, seperti untuk pembelian dan/atau pembiayaan investasi, dan tidak melakukan kegiatan usaha aktif.

Selain untuk transaksi negatif, SPV sebenarnya dapat digunakan untuk mempermudah transaksi. Sebagai contoh, perusahaan cangkang dapat dimanfaatkan untuk mendapatkan pembiayaan start up sebelum perusahaan beroperasi. Contoh lain adalah penggunaan SPV untuk kemudahan transaksi dalam penerbitan sukuk. Struktur sukuk secara umum menggunakan SPV untuk membantu proses penjualan dan penyewaan aset dari dan ke originator, pembayaran uang pembelian dan uang sewa kepada/dari originator, serta pengumpulan dana dan hasil investasi dari/kepada investor (Siskawati, 2010).

Kawasan Ekonomi Khusus Keuangan

Pendirian kawasan khusus untuk memungkinkan pendirian perusahaan cangkang di Indonesia dapat dilakukan dengan memanfaatkan payung hukum yang berkaitan dengan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), yaitu UU Nomor 39 Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2015. Aturan yang ada memungkinkan pendirian KEK khusus keuangan (Inilah.com, 23 Juni 2016). Meskipun demikian, apabila mengacu pada Labuan, diperlukan tarif pajak yang khusus agar KEK tersebut bisa bersaing dengan negara lain. Sebagaimana diketahui, Labuan memberikan tarif pajak yang sangat rendah, yaitu 3 persen, serta kemudahan syarat untuk mendirikan perusahaan, misalnya permodalan disetor minimal 1 dolar AS dan cukup satu orang pengurus perusahaan.

Dengan demikian, timbul pertanyaan dari segi hukum; apakah payung hukum yang tersedia dalam UU dan PP KEK cukup untuk mewadahi pendirian Offshore Financial Center (OFC) tersebut. Menurut hemat penulis, penetapan tarif pajak penghasilan yang sangat rendah di kawasan khusus tersebut memerlukan amandemen UU PPh yang berlaku  atau membuat UU tersendiri, karena jenis fasilitas dan kemudahan dalam KEK Khusus Keuangan dikhawatirkan tidak dapat bersaing dengan OFC di negara-negara lain. Selain itu, diperlukan juga amandemen UU PT atau pembuatan UU khusus yang mengatur kemudahan syarat-syarat pendirian SPV di kawasan khusus tersebut.

Di sisi lain, karakteristik kerahasiaan perbankan yang ketat sulit diberlakukan pada kawasan khusus tersebut. Hal tersebut merujuk pada rencana Indonesia mengikuti penyampaian data dan informasi keuangan secara otomatis (Automatic Exchange of Information) pada tahun 2018. Kelalaian untuk menepati program transparansi tersebut dapat menyebabkan Indonesia digolongkan sebagai non-cooperative jurisdiction yang dapat berakibat negatif bagi industri keuangan dan perekonomian Indonesia secara umum (Kemenkeu, 2016b). Tidak adanya pertukaran informasi, tarif pajak yang nol atau sangat rendah, kurangnya transparansi, serta tidak adanya aktivitas bisnis yang jelas bagi perusahaan di kawasan khusus, merupakan kriteria yang digunakan oleh Organisation on Economic Cooperation and Development (1998) untuk menggolongkan suatu negara atau kawasan sebagai tax haven. Label tersebut harus secara hati-hati dihindari oleh Indonesia apabila ingin membuat KEK Khusus Keuangan seperti OFC. (www.kemenkeu.go.id) *) Tulisan ini adalah buah pikiran penulis pribadi 

BERITA TERKAIT

Jaga Persatuan dan Kesatuan, Masyarakat Harus Terima Putusan MK

    Oleh : Ridwan Putra Khalan, Pemerhati Sosial dan Budaya   Seluruh masyarakat harus menerima putusan Mahkamah Konstitusi (MK)…

Cendekiawan Sepakat dan Dukung Putusan MK Pemilu 2024 Sah

    Oleh: David Kiva Prambudi, Sosiolog di PTS   Cendekiawan mendukung penuh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada sidang sengketa…

Dampak Kebijakan konomi Politik di Saat Perang Iran"Israel

  Pengantar Sebuah diskusi webinar membahas kebijakan ekonomi politik di tengah konflik Irang-Israel, yang merupakan kerjasama Indef dan Universitas Paramadina…

BERITA LAINNYA DI Opini

Jaga Persatuan dan Kesatuan, Masyarakat Harus Terima Putusan MK

    Oleh : Ridwan Putra Khalan, Pemerhati Sosial dan Budaya   Seluruh masyarakat harus menerima putusan Mahkamah Konstitusi (MK)…

Cendekiawan Sepakat dan Dukung Putusan MK Pemilu 2024 Sah

    Oleh: David Kiva Prambudi, Sosiolog di PTS   Cendekiawan mendukung penuh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada sidang sengketa…

Dampak Kebijakan konomi Politik di Saat Perang Iran"Israel

  Pengantar Sebuah diskusi webinar membahas kebijakan ekonomi politik di tengah konflik Irang-Israel, yang merupakan kerjasama Indef dan Universitas Paramadina…