MESKI OECD MEMBERIKAN RAPOR MERAH BUAT INDONESIA - Kondisi Keuangan RI Stabil dan Terkendali

Jakarta – Meski Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) menegaskan kondisi stabilitas sistem keuangan negeri ini pada kuartal III-2016 baik dan terkendali, OECD menilai Indonesia telah menjalani transformasi yang luar biasa selama dua dekade terakhir. Namun, organisasi tersebut mencatat beberapa hal yang patut diwaspadai, dari mulai rendahnya kepatuhan pajak, korupsi, hingga penggunaan batubara.

NERACA
"KSSK menyimpulkan kondisi stabilitas sistem keuangan pada kuartal III-2016 dalam kondisi baik dan terkendali," ujar Ketua KSSK yang merangkap Menkeu Sri Mulyani Indrawati kepada pers usai rapat berkala bersama BI, OJK, dan Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) di Jakarta, Senin (24/10).

Sri Mulyani mengatakan, KSSK memotret kondisi ekonomi global dan nasional, mulai dari nilai tukar rupiah, makroprudensial, sistem pembayaran, pasar modal, pasar surat berharga negara, sistem perbankan, lembaga keuangan non bank, LPS, dan kebijakan fiskal.

Menurut dia, sistem keuangan Indonesia dalam keadaan aman terkendali didukung dari beberapa faktor. Antara lain, sambungnya, penurunan tekanan terhadap kurs rupiah, membaiknya kinerja anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) yang merupakan instrumen fiskal sebagai dampak langkah pemerintah dari sisi belanja.

"Termasuk implementasi program pengampunan pajak (tax amnesty dan penerimaan pajak, membaiknya kondisi pasar modal, lembaga keuangan yang kondisinya terjaga dengan baik. Hal ini sejalan dengan konsistensi kebijakan Kemenkeu di fiskal," ujarnya.  

"Kemenkeu, BI, OJK, dan LPS sepakat menjaga sistem keuangan Indonesia supaya berjalan dengan baik, normal, melakukan fungsinya sebagai intermediary, maupun menjaga kepercayaan terhadap prospek perekonomian Indonesia," tutur dia.

Sementara itu, Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) menilai Indonesia telah menjalani transformasi yang luar biasa selama dua dekade terakhir. Namun, organisasi tersebut mencatat beberapa hal yang patut diwaspadai, dari mulai rendahnya kepatuhan pajak, korupsi, hingga penggunaan batubara.

Survei Ekonomi Indonesia 2016 OECD mencatat, basis pajak Indonesia masih sempit dan kepatuhan masih lemah. Dari total 260 juta penduduk Indonesia, hanya 27 juta yang merupakan wajib pajak pada tahun 2014 dan hanya 900.000 yang membayar kewajiban pajak mereka.

“Peningkatan pendapatan penting untuk mendanai investasi dan program-program sosial. Jumlah wajib pajak juga harus ditingkatkan melalui perbaikan kepatuhan dan penarikan pajak yang lebih efisien,” kata Sekjen OECD Angel Gurría, kemarin.

Gurría menyatakan efisiensi belanja publik juga harus diperbaiki. OECD menyimpulkan, walaupun penghapusan sebagian subsidi bahan bakar minyak berhasil mendukung peningkatan belanja di bidang-bidang prioritas seperti kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur, masih dibutuhkan tindakan lebih lanjut.

“Belanja untuk subsidi energi yang tidak efisien masih tinggi, pada kisaran 7% dari total belanja publik, dan mendorong kegiatan-kegiatan yang intensif menghasilkan polusi. Subsidi-subsidi seperti ini harus secara bertahap dihapuskan, diikuti dengan investasi pada energi terbarukan dan geotermal untuk memenuhi peningkatan kebutuhan energi,” ujarnya.

OECD mencatat bahwa mutu tata kelola publik di Indonesia berada pada peringkat yang lebih rendah apabila dibandingkan dengan kekuatan ekonomi baru (emerging economies) lainnya.

Kebijakan pemerintah yang mentargetkan 20% belanja untuk sektor pendidikan dan 5% untuk sektor kesehatan harus diiringi dengan perbaikan kendali dan penganggaran berbasis kinerja untuk meningkatkan efisiensi.

Korupsi dinilai masih menjadi penghalang utama berbisnis di Indonesia. OECD merekomendasikan untuk memberikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lebih banyak lagi sumber daya dan kewenangan, dan mendukung perluasan kegiatan pelatihannya ke daerah-daerah untuk membantu agar pemerintah daerah dapat mengidentifikasi dan menangani korupsi dengan lebih baik.

Sementara, desentralisasi berkembang dengan pesat di Indonesia dan pemerintah daerah pada saat ini melakukan sekitar setengah dari semua belanja publik. Tetapi, masih terdapat ketidakmerataan signifikan antar daerah.

“OECD menyarankan untuk meningkatkan kapasitas teknis pemerintah daerah untuk memperbaiki belanja dan administrasi penganggaran dan meningkatkan sumber-sumber pendapatan. Untuk jangka pendek, OECD merekomendasikan bahwa hibah-hibah harus diarahkan pada bidang-bidang prioritas nasional,” ujar Gurría.

Tak hanya itu, OECD menilai Indonesia masih mengalami ketergantungan pada batubara yang terus berlanjut, konsumsi bahan bakar fosil yang tidak dikenai pajak dan buruknya penegakan hukum terhadap deforestasi dengan cara membakar hutan. Hal itu dinilai mengancam ekosistem Indonesia yang unik, memperparah polusi udara dan berkontribusi pada peningkatan emisi gas rumah kaca.

Masalah Koordinasi

Secara terpisah, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Haryadi Sukamdani sebelumnya menyatakan, dalam 2 tahun pemerintahan Jokowi-JK, Indonesia masih dihadapkan pada permasalahan koordinasi di internal pemerintah.

Masalah koordinasi ini membuat investasi dan sektor ekonomi Indonesia tidak bisa tumbuh secara optimal. ‎"Jadi memang perjalanan 2 tahun ini tidak mudah, karena kondisi ekonominya sedang melemah semuanya dan dari segi permasalahan yang ada di dalam koordinasi lumayan jadi masalah.‎ Permasalahan yang dihadapi pemerintah selain masalah global juga masalah koordinasi dalam birokrasi. Ini tantangan yang harus diselesaikan," ujarnya.

Lantas bagaimana penilaian evaluasi publik atas kondisi ekonomi nasional? Menurut Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC),  mengumumkan hasil evaluasi publik nasional dua tahun pemerintah Jokowi-JK. Secara umum, 40% warga Indonesia menilai kondisi ekonomi nasional lebih baik. Namun masih ada beberapa catatan merah yang menjadi tantangan Kabinet Kerja ke depan.

Survei Nasional Oktober 2014-2016 ini melibatkan 1.035 responden yang diwawancarai langsung. Jumlah ini 84,8 persen dari total responden yang dipilih secara acak sebanyak 1.220 responden. Responden ini berasal dari 34 Provinsi di Indonesia mulai dari Aceh sampai Papua dengan pelaksanaan survei pada 13-17 Oktober 2016.

Peneliti SMRC Sirojudin Abbas mengungkapkan, sekitar 45% warga merasa kondisi ekonomi rumah tangganya lebih baik sekarang ini dibanding tahun lalu. Sebanyak 65% atau mayoritas warga bahkan optimistis kondisi ekonomi rumah tangganya setahun ke depan akan lebih baik.

Kemudian sebesar 40% warga merasa kondisi ekonomi nasional lebih baik, meliputi perkembangan inflasi yang lebih terkendali. Sementara mayoritas warga 56% yakin ekonomi nasional setahun ke depan lebih baik dibanding sekarang ini.   

"Ekonomi secara umum belum memenuhi harapan publik, tapi menunjukkan kecenderungan membaik, dan publik makin optimis," ujar Sirojudin di Jakarta, Minggu (23/10).  

Dia menjelaskan, hasil survei menunjukkan lapangan kerja atau pengangguran, tingkat kemiskinan, pemenuhan kebutuhan pokok, dan pemerataan masih menjadi tantangan pemerintahan Jokowi-JK.

Data SMRC mencatat, pertama, sebesar 49% warga merasa semakin berat dalam memenuhi kebutuhan pokok karena daya beli masyarakat cukup rendah. Sebesar 16% merasa lebih ringan, dan 34% mengaku sama saja.  "Ini tantangan pemerintahan Jokowi untuk memperkuat daya beli masyarakat supaya pemenuhan kebutuhan pokok sedikit membaik," harap Sirojudin.

Kedua, menurut dia, sebanyak 56% warga menilai jumlah pengangguran semakin banyak. Kemudian 16% warga lainnya menilai pengangguran semakin berkurang, dan kondisi sama saja dinilai 24% warga.

Lebih jauh Sirojudin menyebut persoalan ketiga menyangkut jumlah orang miskin. Sebesar 49% warga menilai angka jumlah orang miskin sekarang lebih banyak dibanding tahun lalu. Warga yang menilai jumlah orang miskin berkurang 21% dan sama saja 27%.  "Jumlah pengangguran dan orang miskin adalah tantangan serius bagi pemerintahan ini," ujarnya.  

Hal ini terjadi karena makin susah dalam mencari pekerjaan. Sirojudin mengatakan, mayoritas atau 63% warga merasa mencari kerja saat ini lebih sulit dibanding tahun lalu. Hasilnya pemerataan kesejahteraan menjadi permasalahan.

"Sekitar 28% warga menilai kesejahteraan di negara kita semakin tidak merata. Yang merasa sudah merata ada 24% warga, dan menilai sama saja 43%," ujarnya. bari/mohar/fba

BERITA TERKAIT

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…