Rezim Bunga Rendah

Upaya Bank Indonesia selaku pemegang otoritas moneter akhirnya mampu menurunkan tingkat suku bunga acuan (BI Rate) dari 7,25% (Januari 2016) menjadi 7% (Februari) dan 6,75% (Maret). Bahkan tingkat bunga 7 day repo terus meluncur turun hingga 5,75% pada Oktober 2016. Meski penurunan itu bergerak perlahan, keputusan ini tentu menjadi pertanda yang baik bagi sektor riil yang membutuhkan dorongan untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi melalui penguatan aksesibilitas kredit, serta mendorong sektor riil bergerak cepat. 

Langkah BI tersebut memang mengikuti kebijakan beberapa bank sentral di negara-negara maju seperti Jepang, Swiss, Denmark, Swedia, dan Uni Eropa. Karena penurunan tingkat suku bunga merupakan langkah penyeimbang dan sikap konstruktif atas perlambatan ekonomi dunia yang terjadi. Kebijakannya pun cukup beragam, ada negara yang menurunkan hingga mendekati nol basis poin dan bahkan ada juga yang menerapkan suku bunga negatif. 

Seperti Bank of Japan (BoJ) di Jepang, merilis suku bunga negatif sebagai upaya untuk memulihkan perekonomiannya. Kondisi makroekonomi Jepang yang tengah mengalami resesi karena produktivitas yang sedang menurun dan diperparah dengan jumlah penduduk yang menua terus meningkat, dijawab dengan penetapan suku bunga negatif. 

Tentu saja dengan harapan masyarakat akan menarik dananya dan meningkatkan belanjanya. Selain itu, pemerintah berharap ada respon lain berupa munculnya aktivitas yang mendorong produktivitas sektor industri dan jasa, yang selama ini kalah bersaing. Jelas, latar belakang ini sama dengan kondisi pemerintah Indonesia. 

Namun yang merisaukan sejauh ini, kendati suku bunga 7 day repo sudah cenderung menurun terus, jika dibandingkan dengan negara- negara ASEAN, suku bunga di negara kita masih tergolong yang tertinggi yaitu double digit. Posisi ini pasti kurang menguntungkan posisi daya saing Indonesia, serta berimbas pada posisi daya saing perbankan di Indonesia. 

Oleh karena itu, pemerintah masih tetap berharap BI secara sukarela terus mendorong menurunkan tingkat suku bunga acuan yang lebih rendah lagi agar turut menekan bunga pinjaman hingga single digit. Jika tingkat bunga pinjaman dapat ditekan menjadi di bawah 10%, bisa diharapkan secara pasti sektor riil akan berkembang pesat ketimbang saat ini. Outcome kebijakan ini tentu terciptanya peluang perbaikan nilai tambah produk industri kita dan peluang kerja yang semakin besar bagi para tenaga kerja kita. 

Persoalannya, selain BI Rate, besaran tingkat bunga kredit di perbankan Indonesia saat ini masih rata-rata 13%-15% per tahun, bahkan untuk kredit UMKM lebih tinggi lagi hingga mencapai 17%-20% per tahun. Ini disebabkan rata-rata bunga pinjaman tersebut dibentuk dari tiga komponen yang terdiri dari cost of fund, biaya operasional, serta net interest margin (NIM).

Ketiga unsur tersebut yang seharusnya perlu ditekan lebih rendah, sebagai bagian dari kebijakan penurunan BI Rate, terutama dalam usaha mewujudkan target single digit. Tingginya cost of fund tersebut diakui oleh pihak perbankan dan Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan, yang mendesak untuk segera diregulasi ulang. 

Hanya persoalan internal bank yang menghambat laju penurunan suku bunga. Ada bank yang sudah mampu memberikan suku bunga pinjaman mendekati 10%, namun masih ada bank lain yang masih memberikan suku bunga di atas 15% per tahun. Sementara tingkat bunga kartu kredit masih ada bank yang mematok suku bunga rata-rata di atas 3% per bulan` Ini menjadi tantangan OJK ke depan untuk melakukan verifikasi kalangan perbankan.

Cost of fund sendiri dipengaruhi oleh banyak faktor di dalamnya seperti BI Rate, LPS Rate, dan tingkat risiko atas kredit. Jadi, kunci strategis di antara ketiganya adalah suku bunga acuan BI, karena LPS Rate dan tingkat risiko atas kredit yang umumnya sering kali bergerak mengikuti laju BI Rate. Bagaimanapun, penetapan bunga deposito sebagai daya tarik bagi pemodal relatif sekitar 1% di atas bunga 7 day repo. Semoga!

BERITA TERKAIT

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…