Setelah 2 Tahun Nawacita

 

 

Oleh: Bhima Yudhistira Adhinegara

Peneliti INDEF

 

Tak terasa masa kepemimpinan Jokowi-JK sudah memasuki 2 tahun. Nawacita yang digadang-gadang saat kampanye dulu nampaknya masih jauh dari kata berhasil. Kondisi perekonomian secara umum memang tidak menguntungkan pihak istana. Pertumbuhan ekonomi di akhir tahun 2015 hanya mencapai 4,79%. Ekspor menyentuh angka negatif. Daya beli masyarakat pun melemah. Investasi langsung tercatat menurun di triwulan ke-II dibanding triwulan sebelumnya.

Di dalam Nawacita sebenarnya terdapat tiga hal yang jadi target dari Pemerintah dibidang ekonomi, yakni meningkatnya produktivitas dan daya saing, kemandirian ekonomi, serta membangun dari pinggiran. Dari ketiga target tadi nampaknya capaian Pemerintah perlu dibedah satu persatu.

Produktivitas dan daya saing menarik untuk ditelisik. Indeks daya saing global yang baru dirilis menyebutkan bahwa posisi Indonesia menurun dari 37 menjadi 41 di tahun 2016. Penurunan ini disebabkan kualitas institusi yang rendah dan sarana kesehatan plus pendidikan dasar yang tertinggal. Soal institusi yang turun justru jadi tanda tanya. Pemerintah sudah punya 13 paket kebijakan yang salah satunya berkomitmen untuk melakukan deregulasi dan debirokratisasi. Tapi mengapa level institusi masih rendah? Nampaknya banyak reformasi kelembagaan yang terhambat di level daerah. Selain itu rent seeking alias pungli masih jadi masalah yang belum bisa diatasi.  

Kemandirian ekonomi dicerminkan oleh ketergantungan pada impor pangan yang cukup besar. Angkanya juga cukup fantastis. Soal impor beras misalnya posisi Januari-Juli 2016 sebesar 447 juta USD, nilainya lebih besar dari posisi Januari-Desember 2015 yakni 351 juta USD. Ketergantungan pada impor bahan makanan jadi problem serius di era Presiden Jokowi. Belum lagi bicara tentang ketergantungan impor BBM yang angkanya terus naik dan jadi beban APBN setiap tahunnya.

Membangun dari pinggiran biasanya ditunjukkan oleh grafik kemiskinan dan kesenjangan yang menurun sebagai tanda keberhasilan. Memang angka kemiskinan secara agregat menurun, namun indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan naik. Orang miskin terutama di daerah lebih dalam masuk ke jurang kemiskinan. Begitu juga soal indeks Gini yang jadi potret kesenjangan turun 0,39 per Maret 2016. Faktanya penurunan kesenjangan lebih didorong faktor rendahnya konsumsi pada masyarakat kaya bukan karena naiknya pendapatan masyarakat miskin. BPS melihat kesenjangan dari sisi pengeluaran, sedangkan dari sisi pendapatan tentu rasio ketimpangan makin melebar.

Setelah 2 tahun Nawacita, pekerjaan rumah Jokowi nampaknya masih berat. Berbagai indikator justru menunjukkan progress yang lambat. Tapi optimisme tentu harus dibangun karena masih tersisa 3 tahun kedepan untuk memperbaiki perekonomian dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.

 

 

BERITA TERKAIT

Ekspor Nonmigas Primadona

Oleh: Zulkifli Hasan Menteri Perdagangan Neraca perdagangan Indonesia kembali mencatatkan surplus pada periode Februari 2024 sebesar USD0,87 miliar. Surplus ini…

Jaga Kondusivitas, Tempuh Jalur Hukum

  Oleh: Rama Satria Pengamat Kebijakan Publik Situasi di masyarakat saat ini relatif kondusif pasca penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Perspektif UMKM di Ramadhan

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Memasuki pertengahan bulan suci Ramadhan seperti ini ada dua arus perspektif yang menjadi fenomena…

BERITA LAINNYA DI

Ekspor Nonmigas Primadona

Oleh: Zulkifli Hasan Menteri Perdagangan Neraca perdagangan Indonesia kembali mencatatkan surplus pada periode Februari 2024 sebesar USD0,87 miliar. Surplus ini…

Jaga Kondusivitas, Tempuh Jalur Hukum

  Oleh: Rama Satria Pengamat Kebijakan Publik Situasi di masyarakat saat ini relatif kondusif pasca penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Perspektif UMKM di Ramadhan

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Memasuki pertengahan bulan suci Ramadhan seperti ini ada dua arus perspektif yang menjadi fenomena…