Konsistensi Operasi Pungli

Konsistensi Operasi Pungli
Rumitnya sistem birokrasi di Indonesia ternyata menjadi peluang dan dimanfaatkan sejumlah oknum untuk melakukan kegiatan pungutan liar (pungli), bukan hanya di jajaran pemerintahan namun juga masih terjadi di kalangan pejabat hukum seperti Polri.
Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Boy Rafli Amar  mengakui, kekuasaan yang dimiliki oleh pemerintah, terutama yang berkaitan dengan kewenangan-kewenangan yang dimiliki kadang berbenturan dengan kepentingan masyarakat. Di satu pihak memang masyarakat yang menginginkan segala sesuatu diproses cepat, sementara terkadang sistem birokrasinya tidak bisa berjalan cepat. 
"Dalam posisi sangat membutuhkan, ini memang terjadi proses antara kebutuhan aparat pemerintah dengan masyarakat yang tidak sehat disini. Yang berkuasa merasa punya kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan, katakanlah, meneliti, memperlambat dan bahkan sebaliknya bisa mempercepat namun dengan syarat tertentu," ujarnya saat berbicara di seminar di Jakarta, pekan lalu. 
Melihat potret seperti ini, kondisi tersebut menggambarkan pola bargaining power yang sebetulnya dilatarbelakangi oleh munculnya peluang. Nah, hal ini terkadang juga menjadi stimulan untuk katakanlah suatu perbuatan korup itu. Seperti kita ingat ada sebuah ungkapan di kalangan birokrat pelayanan publik, "Kalau Bisa Diperlambat Kenapa Harus Dipercepat". Ungkapan seperti ini masih sering kita temui di lapangan, yang tentu bertujuan supaya masyarakat yang berkepentingan dapat mengeluarkan dana yang berlebih kepada oknum instansi pemerintah. 
Karena itu, penegakan hukum dan pemberantasan pungli sekarang sudah mulai digencarkan  dan sudah ada instruksi langsung dari Presiden Jokowi. Artinya, presiden sudah serius bahkan menugaskan kepada Menkopolhukam Wiranto untuk menyiapkan program kegiatan "operasi bersih pungli" terhadap semua aparat kementerian maupun lembaga negara termasuk TNI dan Polri.
Hanya persoalannya, kelemahan sekaligus tantangan utama dari semangat memberantas pungutan liar adalah konsistensi sikap.  Apabila pemerintah tidak menetapkan target besar atau tolok ukur keberhasilan memerangi pungli, operasi  pemberantasan pungli (OPP) akan berakhir dengan kegagalan, sama halnya seperti kegagalan  Operasi Tertib (1977-1981) yang saat itu dikenal dengan sebutan Opstib.
Dalam konteks menjaga konsistensi itulah,  Presiden Jokowi dan Menko Polhukam Wiranto harus belajar dari pengalaman masa lalu. Pengalaman saat melaksanakan Undang-Undang (UU) No. 3/1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Presiden Soeharto menerbitkan Instruksi Presiden No. 9/1977 tentang Operasi Tertib (Opstib) periode 1977-1981.
Opstib pada era itu fokus pada pemberantasan pungli. Pelaksana tugas sehari-hari Opstib adalah Kaskopkamtib (Kepala Staf Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) yang ditunjuk oleh Pangkopkamtib.  Sayangnya, kerja Opstib tidak berkesinambungan dan sulit untuk mengukur keberhasilannya. Ini disebabkan Opstib juga belum terintegrasi dengan sub sistem lain, di samping fungsi inspektorat jenderal di semua kementerian tidak dimaksimalkan. 
Jadi, perlunya menetapkan target besar atau tolok ukur keberhasilan OPP menjadi sangat penting, karena proses pencapaian target itu bisa menjaga konsistensi semangat dan pelaksanaan OPP. Bersamaan dengan upaya mencapai target itu, pemerintah juga dituntut segera memperbaiki sistem pelayanan publik dengan memanfaatkan teknologi terkini.
Pelayanan publik pada tingkat pemerintah pusat maupun di daerah termasuk institusi negara lainnya, harus mengadopsi faktor teknologi terkini sebagai pendukung guna meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik. Perbaikan sistem pelayanan publik itu mutlak harus menutup celah bagi terjadinya praktik pungli. Semoga! 

 

Rumitnya sistem birokrasi di Indonesia ternyata menjadi peluang dan dimanfaatkan sejumlah oknum untuk melakukan kegiatan pungutan liar (pungli), bukan hanya di jajaran pemerintahan namun juga masih terjadi di kalangan pejabat hukum seperti Polri.

Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Boy Rafli Amar  mengakui, kekuasaan yang dimiliki oleh pemerintah, terutama yang berkaitan dengan kewenangan-kewenangan yang dimiliki kadang berbenturan dengan kepentingan masyarakat. Di satu pihak memang masyarakat yang menginginkan segala sesuatu diproses cepat, sementara terkadang sistem birokrasinya tidak bisa berjalan cepat. 

"Dalam posisi sangat membutuhkan, ini memang terjadi proses antara kebutuhan aparat pemerintah dengan masyarakat yang tidak sehat disini. Yang berkuasa merasa punya kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan, katakanlah, meneliti, memperlambat dan bahkan sebaliknya bisa mempercepat namun dengan syarat tertentu," ujarnya saat berbicara di seminar di Jakarta, pekan lalu. 

Melihat potret seperti ini, kondisi tersebut menggambarkan pola bargaining power yang sebetulnya dilatarbelakangi oleh munculnya peluang. Nah, hal ini terkadang juga menjadi stimulan untuk katakanlah suatu perbuatan korup itu. Seperti kita ingat ada sebuah ungkapan di kalangan birokrat pelayanan publik, "Kalau Bisa Diperlambat Kenapa Harus Dipercepat". Ungkapan seperti ini masih sering kita temui di lapangan, yang tentu bertujuan supaya masyarakat yang berkepentingan dapat mengeluarkan dana yang berlebih kepada oknum instansi pemerintah. 

Karena itu, penegakan hukum dan pemberantasan pungli sekarang sudah mulai digencarkan  dan sudah ada instruksi langsung dari Presiden Jokowi. Artinya, presiden sudah serius bahkan menugaskan kepada Menkopolhukam Wiranto untuk menyiapkan program kegiatan "operasi bersih pungli" terhadap semua aparat kementerian maupun lembaga negara termasuk TNI dan Polri.

Hanya persoalannya, kelemahan sekaligus tantangan utama dari semangat memberantas pungutan liar adalah konsistensi sikap.  Apabila pemerintah tidak menetapkan target besar atau tolok ukur keberhasilan memerangi pungli, operasi  pemberantasan pungli (OPP) akan berakhir dengan kegagalan, sama halnya seperti kegagalan  Operasi Tertib (1977-1981) yang saat itu dikenal dengan sebutan Opstib.

Dalam konteks menjaga konsistensi itulah,  Presiden Jokowi dan Menko Polhukam Wiranto harus belajar dari pengalaman masa lalu. Pengalaman saat melaksanakan Undang-Undang (UU) No. 3/1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Presiden Soeharto menerbitkan Instruksi Presiden No. 9/1977 tentang Operasi Tertib (Opstib) periode 1977-1981.

Opstib pada era itu fokus pada pemberantasan pungli. Pelaksana tugas sehari-hari Opstib adalah Kaskopkamtib (Kepala Staf Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) yang ditunjuk oleh Pangkopkamtib.  Sayangnya, kerja Opstib tidak berkesinambungan dan sulit untuk mengukur keberhasilannya. Ini disebabkan Opstib juga belum terintegrasi dengan sub sistem lain, di samping fungsi inspektorat jenderal di semua kementerian tidak dimaksimalkan. 

Jadi, perlunya menetapkan target besar atau tolok ukur keberhasilan OPP menjadi sangat penting, karena proses pencapaian target itu bisa menjaga konsistensi semangat dan pelaksanaan OPP. Bersamaan dengan upaya mencapai target itu, pemerintah juga dituntut segera memperbaiki sistem pelayanan publik dengan memanfaatkan teknologi terkini.

Pelayanan publik pada tingkat pemerintah pusat maupun di daerah termasuk institusi negara lainnya, harus mengadopsi faktor teknologi terkini sebagai pendukung guna meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik. Perbaikan sistem pelayanan publik itu mutlak harus menutup celah bagi terjadinya praktik pungli. Semoga! 

BERITA TERKAIT

Cegah Dampak El Nino

Ancaman El Nino di negeri belakangan ini semakin kentara, apalagi data BPS mengungkapkan sektor pertanian saat ini hanya berkontribusi sekitar…

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…

IKN Magnet Investasi

  Eksistensi UU Cipta Kerja dinilai cukup strategis dalam memajukan perekonomian Indonesia. UU Cipta Kerja akan menjadi salah satu regulasi…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Cegah Dampak El Nino

Ancaman El Nino di negeri belakangan ini semakin kentara, apalagi data BPS mengungkapkan sektor pertanian saat ini hanya berkontribusi sekitar…

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…

IKN Magnet Investasi

  Eksistensi UU Cipta Kerja dinilai cukup strategis dalam memajukan perekonomian Indonesia. UU Cipta Kerja akan menjadi salah satu regulasi…