Mental Konsumtif yang Buruk

Oleh : Ahmad Nabhani

Wartawan Harian Ekonomi NERACA

Besarnya populasi masyarakat Indonesia sekitar 240 juta penduduk, menjadi pasar empuk bagi masuknya barang-barang impor ke dalam negeri. Terlebih, tingkat konsumtif masyarakat cukup besar. Maka tidak usah heran jika, berbagai produk teknologi dan gadget laku terjual habis dan ini belum menyangkut industri lainnya.

Tengok saja, kasus kericuhan membludaknya antrean masyarakat pembeli produk baru Blackberry Bold 9790 (Bellagio) di salah satu mal di Jakarta. Kondisi tersebut memberikan gambaran sosial masyarakat Indonesia yang sangat besar tingkat konsumsinya guna memenuhi gaya hidup dan bahkan sudah menjadi kebutuhan hidup.

Rupanya tidak hanya antrean bantuan langsung tunai (BLT), raskin atau sembako saja yang biasa terjadi, tetapi juga Blacberry yang dilakukan masyarakat kelas menengah ini. Ekonom Standard Chartered, Eric Alexander Sugandi pernah bilang, pertumbuhan kelas menengah menjadi tulang punggung bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia karena tingkat konsumsinya. Bahkan konsumsi rumah tangga mengambil porsi 56% dari PDB.

Jadi, dengan pertumbuhan kelas menengah ini, maka konsumsi rumah tangga diperkirakan juga akan naik. Bahkan dengan pertumbuhan kelas menengah baru, pertumbuhan ekonomi Indonesia diprediksi mampu menjadi terbesar keenam pada masa super r-cycle tahun 2025-2030. Super-cycle sendiri merupakan suatu periode di mana perekonomian dunia tumbuh cepat sebagai dampak dari kombinasi beberapa faktor, misalnya saja kemajuan teknologi dan sumber daya alam. Dalam periode ini, ekonomi Indonesia diperkirakan bisa berada di bawah Amerika Serikat, India, Brasil, dan Jepang.

Namun ironisnya, dibalik pertumbuhan masyarakat kelas menengah atau mereka yang berpenghasilan US$ 6-US$10 per hari tidak sejalan dengan gaya hidup sehat untuk memiliki simpanan ke depan. Pasalnya, Bank Indonesia (BI) merilis Sedikitnya 38 juta keluarga atau 62% dari 61,6 juta rumah tangga (RT) di Indonesia tidak memiliki tabungan sama sekali dan 79% masyarakat tidak mempunyai uang untuk ditabung.

Bila sudah demikian, mental bangsa ini harus diperbaiki agar tingkat konsumtif tidak lebih parah dan membawa dampak negatif. Karena seharusnya yang dibutuhkan bangsa ini adalah tingkat produktivitas yang tinggi dan bukan sebaliknya menjadi pasar bagi orang lain. Apa untungnya pertumbuhan konsumtif bagi pertumbuhan ekonomi dalam negeri, tetapi tidak memberikan dampak bagi industri kecil dan menengah dan bahkan kalah dengan barang impor.

Selain itu, besarnya tingkat konsumtif masyarakat khususnya mereka yang mengalami kenaikan kelas status ekonominya akan menjadi perbedaan yang jelas antara yang kaya dan yang miskin. Hal ini makin memperburuk hubungan harmonis tingkat sosial masyarakat dan bisa menimbulkan kecemburuan sosial sehingga berpotensi terjadi konflik sosial dengan berbagai macam isu seperti ketidakadilan dan kesejahteraan.

BERITA TERKAIT

Dunia Kepelautan Filipina

  Oleh: Siswanto Rusdi Direktur The National Maritime Institute (Namarin)   Dunia kepelautan Filipina Tengah “berguncang”. Awal ceritanya dimulai dari…

Dilemanya LK Mikro

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Kehadiran lembaga keuangan (LK) mikro atau lembaga keuangan mikro syariah (LKM/LKMS) dipandang sangat strategis.…

Antisipasi Kebijakan Ekonomi & Politik dalam Perang Iran -Israel

    Oleh: Prof. Dr. Didik Rachbini Guru Besar Ilmu Ekonomi, Ekonom Pendiri Indef   Serangan mengejutkan dari Iran sebagai…

BERITA LAINNYA DI

Dunia Kepelautan Filipina

  Oleh: Siswanto Rusdi Direktur The National Maritime Institute (Namarin)   Dunia kepelautan Filipina Tengah “berguncang”. Awal ceritanya dimulai dari…

Dilemanya LK Mikro

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Kehadiran lembaga keuangan (LK) mikro atau lembaga keuangan mikro syariah (LKM/LKMS) dipandang sangat strategis.…

Antisipasi Kebijakan Ekonomi & Politik dalam Perang Iran -Israel

    Oleh: Prof. Dr. Didik Rachbini Guru Besar Ilmu Ekonomi, Ekonom Pendiri Indef   Serangan mengejutkan dari Iran sebagai…