Arcandra Come Back

 

Oleh: Bhima Yudhistira Adhinegara

Peneliti INDEF

 

Siapa yang menduga posisi Menteri ESDM akan diisi oleh Jonan, sementara Wakil Menteri oleh Arcandra? Soal Jonan lain cerita, tapi soal Arcandra justru menimbulkan pertanyaan sebegitu pentingnya sosok Arcandra sehingga kasus dwi kewarganegaraan beberapa waktu lalu seolah sudah lewat. Publik seolah dibuat amnesia.

Paska pencopotan Arcandra sebagai Menteri ESDM, kehadirannya tetap malang melintang di dunia migas Indonesia. Beberapa waktu lalu bahkan Luhut Pandjaitan memboyong Arcandra untuk melakukan negosiasi dengan Jepang, terutama soal blok Masela. Archandra oleh pihak istana dianggap orang yang mengerti betul letak permasalahan blok Masela, proyek gas bernilai jutaan dolar itu.

Blok Masela memang penting, tapi isu lain yang dihadapi Arcandra bukan sekedar Masela. Beberapa tugas berat menanti. Sebut saja harga gas yang masih terbilang mahal. Sebelumnya Presiden sudah mengeluarkan paket kebijakan soal harga gas untuk industri yang tidak kompetitif. Harga gas di Indonesia bisa lebih dari US$ 8 per mmbtu, padahal Singapura sebagai negara net importir gas mematok harga dibawah US$ 5 per mmbtu.

Mahalnya harga gas untuk industri diduga permainan trader gas. Hanya dengan investasi pipa gas yang panjangnya beberapa meter, trader bisa menikmati keuntungan rente gas. Ujung-ujungnya harga gas di hilir memberatkan industri. Otomatis daya saing terus menurun, karena harga barang industri kurang kompetitif akibat mahalnya harga gas.

Selain masalah gas, masalah pelik yang dihadapi oleh ESDM adalah pungli. Hal ini sudah lama dikeluhkan oleh investor migas. Pantas saja eksplorasi mandek, karena biaya yang dikeluarkan dengan cara bayar sana-sini masih tinggi. Sektor energi sejak zaman orde baru selalu jadi sarang mafia. Ambil contoh kasus mega korupsi Pertamina dibawah Ibnu Sutowo. Oleh karena itu pemberantasan pungli bukan hanya dengan membentuk tim Saber (Satgas Sapu Bersih) tapi dibutuhkan reformasi birokrasi yang jelas.

Pungli terkait erat dengan perizinan. Dalam soal perizinan inilah upaya Pemerintah masih sebatas deregulasi di level pusat. Faktanya deregulasi paling penting ada di daerah. Pusat bisa bebas pungli, tapi bagaimana dengan kenyataan di daerah? Toh jelas, masalah perizinan paling besar ada di daerah. Seharusnya deregulasi pusat di ikuti oleh daerah, dan Kementerian ESDM punya tugas memastikan segala izin rampung baik pusat maupun daerah.

Masalah ketiga yang jadi tantangan Jonan-Arcandra adalah hilirisasi produk tambang. Progress pembangunan smelter jalan di tempat. Perusahaan tambang kecil ditekan untuk punya smelter, sementara perusahaan besar yang jelas punya modal justru mangkir. Jonan-Arcandra harus punya sikap, jangan hanya berat sebelah pada kepentingan perusahaan besar, termasuk kepentingan asing.   

BERITA TERKAIT

Antisipasi Kebijakan Ekonomi & Politik dalam Perang Iran -Israel

    Oleh: Prof. Dr. Didik Rachbini Guru Besar Ilmu Ekonomi, Ekonom Pendiri Indef   Serangan mengejutkan dari Iran sebagai…

Iklim dan Reformasi Kebijakan

Oleh: Suahasil Nazara Wakil Menteri Keuangan Sebagai upaya untuk memperkuat aksi iklim, Indonesia memainkan peran penting melalui kepemimpinan pada Koalisi…

Cawe-cawe APBN dalam Lebaran 1445 H

  Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi melaporkan kepada Presiden Joko…

BERITA LAINNYA DI

Antisipasi Kebijakan Ekonomi & Politik dalam Perang Iran -Israel

    Oleh: Prof. Dr. Didik Rachbini Guru Besar Ilmu Ekonomi, Ekonom Pendiri Indef   Serangan mengejutkan dari Iran sebagai…

Iklim dan Reformasi Kebijakan

Oleh: Suahasil Nazara Wakil Menteri Keuangan Sebagai upaya untuk memperkuat aksi iklim, Indonesia memainkan peran penting melalui kepemimpinan pada Koalisi…

Cawe-cawe APBN dalam Lebaran 1445 H

  Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi melaporkan kepada Presiden Joko…