Berantas Tuntas Korupsi

Berantas Tuntas Korupsi
Oleh: Firdaus Baderi
Wartawan Harian Ekonomi NERACA
Salah satu persoalan besar yang masih dihadapi Indonesia saat ini adalah Korupsi, yang telah membudaya di sebagian kalangan pejabat negara baik eksekutif, yudikatif maupun legislatif. Tidak heran jika ungkapan klasik Inggeris menyatakan: “Power tends to corrupt. Absolute power, corrupt absolutely.” Artinya, kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan yang mutlak, membuat korup secara mutlak. Inilah salah satu penyebab mengapa korupsi begitu mewabah hampir di banyak kementerian maupun lembaga negara, yang boleh disebabkan karena hilangnya rasa malu pada diri sebagian elit penguasa di negeri ini.
Mereka yang terlibat kasus korupsi atau menerima suap, merupakan bukti mereka tidak mampu mewujudkan janji kepada masyarakat. Mereka tidak punya malu berbuat Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Sebagai abdi masyarakat sejatinya semua pejabat negara adalah pelayan masyarakat, tak peduli apapun status sosial yang di sandang rakyat.  Apabila hal ini dipahami sepenuhnya oleh para pejabat negara dan pegawai negeri sipil (PNS) dengan benar dan baik, maka tidak akan ada lagi istilah untuk dilayani dan menjadi  "raja kecil" di setiap tempat pelayanan publik di kantor pemerintahan, sehingga masyarakat benar-benar merasakan manisnya pelayanan dari aparatur negara kita.
Praktik korupsi yang terbongkar di Kementerian Perhubungan baru-baru ini, jelas perbuatan itu sudah sejak lama terjadi. Budaya korup seperti ini masuk kategori sebagai bahaya laten korupsi, yang kronis dan berjamaah dari level pegawai eselon terbawah hingga eselon atas. Terbukti polisi berhasil menyita barang bukti antara lain buku tabungan bernilai lebih dari Rp 1 miliar, yang kemungkinan besar uang hasil korupsi tersebut siap mengalir ke rekening pejabat negara di level atasnya.  
Ini sekaligus membuktikan budaya korup di sebagian kalangan pejabat negara RI bisa membuat kondisi Indonesia menjadi negara yang sangat miskin dan terbelakang. Hal ini sesuai data BPS yang mengungkapkan masih ada penduduk miskin di negeri ini sebanyak 11% dari total penduduk Indonesia yang sekarang diprediksi mencapai 250 juta jiwa. 
Tidak hanya itu. Salah satu indikator menurunnya daya saing negara menurut World Economic Forum (WEF) 2016-2017 adalah faktor korupsi dan inefisiensi birokrasi, yang pada akhirnya membuat peringkat Indonesia merosot ke level 41 dibandingkan tahun lalu di level 38 dari 144 negara yang dinilai oleh lembaga internasional tersebut. 
Karena itu, kita mendukung penuh upaya Presiden Jokowi memberantas korupsi sampai tuntas di semua kementerian maupun lembaga negara, mengingat  bahaya laten korupsi sudah di depan mata kita. Ingat, perbuatan korup lebih buruk dan berbahaya ketimbang prostitusi dilihat dari pengaruhnya dalam merusak moralitas bangsa. 
Prostitusi mungkin hanya merusak moral seseorang secara individual. Tetapi Korupsi bisa merusak moral banyak orang termasuk pejabat negara, dan seluruh negeri menanggung akibatnya seperti pembangunan terhambat, pengangguran bertambah dan kemiskinan semakin meluas di penjuru negeri ini. 

 

Oleh: Firdaus Baderi

Wartawan Harian Ekonomi NERACA

Salah satu persoalan besar yang masih dihadapi Indonesia saat ini adalah korupsi, yang telah membudaya di sebagian kalangan pejabat negara baik eksekutif, yudikatif maupun legislatif. Tidak heran jika ungkapan klasik Inggeris menyatakan: “Power tends to corrupt. Absolute power, corrupt absolutely.” Artinya, kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan yang mutlak, membuat korup secara mutlak. Inilah salah satu penyebab mengapa korupsi begitu mewabah hampir di banyak kementerian maupun lembaga negara, yang boleh disebabkan karena hilangnya rasa malu pada diri sebagian elit penguasa di negeri ini.

Mereka yang terlibat kasus korupsi atau menerima suap, merupakan bukti mereka tidak mampu mewujudkan janji kepada masyarakat. Mereka tidak punya malu berbuat Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Sebagai abdi masyarakat sejatinya semua pejabat negara adalah pelayan masyarakat, tak peduli apapun status sosial yang di sandang rakyat. Apabila hal ini dipahami sepenuhnya oleh para pejabat negara dan pegawai negeri sipil (PNS) dengan benar dan baik, maka tidak akan ada lagi istilah untuk dilayani dan menjadi  "raja kecil" di setiap tempat pelayanan publik di kantor pemerintahan, sehingga masyarakat benar-benar merasakan manisnya pelayanan dari aparatur negara kita.

Praktik korupsi yang terbongkar di Kementerian Perhubungan baru-baru ini, jelas perbuatan itu sudah sejak lama terjadi. Budaya korup seperti ini masuk kategori sebagai bahaya laten korupsi, yang kronis dan berjamaah dari level pegawai eselon terbawah hingga eselon atas. Terbukti polisi berhasil menyita barang bukti antara lain buku tabungan bernilai lebih dari Rp 1 miliar, yang kemungkinan besar uang hasil korupsi tersebut siap mengalir ke rekening pejabat negara di level atasnya.  

Ini sekaligus membuktikan budaya korup di sebagian kalangan pejabat negara RI bisa membuat kondisi Indonesia menjadi negara yang sangat miskin dan terbelakang. Hal ini sesuai data BPS yang mengungkapkan masih ada penduduk miskin di negeri ini sebanyak 11% dari total penduduk Indonesia yang sekarang diprediksi mencapai 250 juta jiwa. 

Tidak hanya itu. Salah satu indikator menurunnya daya saing negara menurut World Economic Forum (WEF) 2016-2017 adalah faktor korupsi dan inefisiensi birokrasi, yang pada akhirnya membuat peringkat Indonesia merosot ke level 41 dibandingkan tahun lalu di level 38 dari 144 negara yang dinilai oleh lembaga internasional tersebut. 

Karena itu, kita mendukung penuh upaya Presiden Jokowi memberantas korupsi sampai tuntas di semua kementerian maupun lembaga negara, mengingat  bahaya laten korupsi sudah di depan mata kita. Ingat, perbuatan korup lebih buruk dan berbahaya ketimbang prostitusi dilihat dari pengaruhnya dalam merusak moralitas bangsa. 

Prostitusi mungkin hanya merusak moral seseorang secara individual. Tetapi Korupsi bisa merusak moral banyak orang termasuk pejabat negara, dan seluruh negeri menanggung akibatnya seperti pembangunan terhambat, pengangguran bertambah dan kemiskinan semakin meluas di penjuru negeri ini. 

 

BERITA TERKAIT

Kolaborasi Hadapi Tantangan Ekonomi

Oleh: Sri Mulyani Indrawati Menteri Keuangan Proses transisi energi yang adil dan terjangkau cukup kompleks. Untuk mencapai transisi energi tersebut,…

Dunia Kepelautan Filipina

  Oleh: Siswanto Rusdi Direktur The National Maritime Institute (Namarin)   Dunia kepelautan Filipina Tengah “berguncang”. Awal ceritanya dimulai dari…

Dilemanya LK Mikro

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Kehadiran lembaga keuangan (LK) mikro atau lembaga keuangan mikro syariah (LKM/LKMS) dipandang sangat strategis.…

BERITA LAINNYA DI

Kolaborasi Hadapi Tantangan Ekonomi

Oleh: Sri Mulyani Indrawati Menteri Keuangan Proses transisi energi yang adil dan terjangkau cukup kompleks. Untuk mencapai transisi energi tersebut,…

Dunia Kepelautan Filipina

  Oleh: Siswanto Rusdi Direktur The National Maritime Institute (Namarin)   Dunia kepelautan Filipina Tengah “berguncang”. Awal ceritanya dimulai dari…

Dilemanya LK Mikro

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Kehadiran lembaga keuangan (LK) mikro atau lembaga keuangan mikro syariah (LKM/LKMS) dipandang sangat strategis.…