RUU Perdagangan Jadi Ancaman Petani Tebu

NERACA

Jakarta - Rancangan Undang-Undang Perdagangan yang kini sedang disusun pemerintah, bisa menjadi ancaman bagi kelangsungan nasib jutaan petani tebu. Pasal pasal 76 ayat B dalam draf RUU Perdagangan tersebut, bisa menjadi momok bagi petani tebu.

“Lima hari lalu saya mendapatkan salinan draf RUU Perdagangan dan telah mempelajari isinya. Ada salah satu pasal yang isinya sangat mengkhawatirkan,” kata Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) HM Arum Sabil, kemarin.

Menurut Arum Sabil, dalam Pasal itu menyebutkan mencabut dan menyatakan tidak berlaku Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 8 tahun 1962 tentang Perdagangan Barang-Barang dalam Pengawasan.

“Nah, gula masuk salah satu komoditas perdagangan yang diawasi, sehingga kalau Perpu itu dicabut, berarti impor gula akan semakin bebas membanjiri pasaran,” tegas Arum Sabil.

Selain itu, ada rencana dari pemerintah untuk merevisi Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 527 tahun 2004, terutama terkait penghapusan importir terdaftar untuk dikembalikan menjadi importir umum.

“Lebih mengkhawatirkan lagi, pasar gula kristal putih dan gula rafinasi akan dilebur jadi satu. Kemudian keberadaan Dewan Gula Indonesia (DGI) juga akan dibubarkan," ujarnya.

Dia mengungkapkan bahwa sebelum ada rencana pencabutan Perpu Nomor 8 tahun 1962 dan revisi SK Menperindag Nomor 527 tahun 2004, nasib petani tebu dan industri gula dalam negeri sudah cukup mengkhawatirkan.

Hal itu karena membanjirnya produk gula impor di pasaran, terutama gula rafinasi yang dijual bebas di pasar tanpa dipisahkan dengan gula konsumsi. “Kami akan segera menemui pembuat kebijakan, seperti Komisi VI DPR, Menteri Perdagangan, dan kementerian terkait, termasuk Kadin (Kamar Dagang dan Industri), untuk memberikan masukan agar pasal tersebut tidak diloloskan. Kalau sampai lolos bisa bahaya,” tegas Arum Sabil.

Kalau sampai pasal tersebut lolos dalam RUU Perdagangan, tandas Arum Sabil, berarti ada mafia gula yang sudah masuk di lingkungan pengambil kebijakan.

Sementara itu, Ketua Badan Eksekutif Gabungan Asosiasi Petani Perkebunan Indonesia (Gapperindo) Agus Pakpahan mengutarakan, pencabutan Perpu 8/1962 menjadi titik awal masuknya liberalisasi produk perkebunan dan pertanian ke Indonesia. Indonesia bukan menolak produk impor, tapi masalah stabilitas dan ketahanan pangan juga perlu menjadi perhatian dari pemerintah.

Menurut Agus, Perpu no 8 tahun 1962 yang diterbitkan pemerintah sebagai salah satu upaya menjaga dan mengamankan stabilitas dalam negeri, terutama dari sektor ekonomi.

BERITA TERKAIT

Kunci Cermat Bermedia Sosial - Pahami dan Tingkatkan Kompetensi Platform Digital

Kecermatan dalam bermedia sosial sangat ditentukan oleh pemahaman dan kompetensi pengguna terkait platform digital. Kompetensi tersebut meliputi pemahaman terhadap perangkat…

IKM Tenun Terus Dipacu

NERACA Jakarta – Dalam menjaga warisan budaya nusantara, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus berupaya mendorong pengembangan sektor industri kerajinan dan wastra…

PLTP Kamojang Jadi Salah Satu Rujukan Perumusan INET-ZERO

NERACA Jakarta – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tengah menyusun Dokumen…

BERITA LAINNYA DI Industri

Kunci Cermat Bermedia Sosial - Pahami dan Tingkatkan Kompetensi Platform Digital

Kecermatan dalam bermedia sosial sangat ditentukan oleh pemahaman dan kompetensi pengguna terkait platform digital. Kompetensi tersebut meliputi pemahaman terhadap perangkat…

IKM Tenun Terus Dipacu

NERACA Jakarta – Dalam menjaga warisan budaya nusantara, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus berupaya mendorong pengembangan sektor industri kerajinan dan wastra…

PLTP Kamojang Jadi Salah Satu Rujukan Perumusan INET-ZERO

NERACA Jakarta – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tengah menyusun Dokumen…