Bahaya Inflasi Rendah

Perekonomian Indonesia sekarang seperti memasuki fase babak baru. Apabila melihat tahun-tahun sebelumnya negeri ini terlihat mampu menggenjot mencapai pertumbuhan yang optimal dengan angka inflasi yang relatif tinggi. Namun dalam rentang waktu 1-2 tahun terakhir ini pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat dengan tingkat inflasi yang relatif rendah.

Dinamika pertumbuhan ekonomi dan inflasi ini seperti pedang bermata dua yang tidak bisa dipisahkan, bahkan seolah-olah telah menjadi hukum kausalitas. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi maka berdampak pasti inflasi yang tinggi. Sebaliknya, pertumbuhan ekonomi yang rendah maka akan menciptakan inflasi yang rendah pula. Hukum kausalitas ekonomi antara pertumbuhan dan inflasi ini, mencerminkan pola pembangunan ekonomi akan sangat dipengaruhi oleh orientasi pembangunan dari pemimpinnya.

Pemerintah saat ini tampaknya perlu lebih berhati- hati, karena sebenarnya cukup sulit mengidentifikasi anomali yang sesungguhnya terjadi di antara kausalitas ekonomi yang ada. Selain menggunakan informasi perkembangan inflasi dari BPS, pemerintah juga melihat hasil survei dari BI yang merilis Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Kuartal III-2016. IKK memiliki korelasi yang kuat terhadap target inflasi karena di dalamnya memuat ekspektasi dan perkembangan konsumsi rumah tangga di Indonesia untuk 6 bulan ke depan.

Hasilnya cukup mengejutkan, karena banyak hal yang diproyeksikan negatif. Dari segi IKK secara triwulanan, memang masyarakat masih memandang cukup positif dengan adanya kenaikan dari 111,6 poin menjadi 112,5 poin dari triwulan sebelumnya. Tren penurunan tersebut disebabkan banyak indikator di dalamnya yang sedang dalam posisi melemah.

Indeks Kondisi Ekonomi saat ini (IKE) yang membandingkan kondisi terkini dengan 6 bulan yang lalu sedang melemah 1,2 poin, karena indikator penghasilan dan ketepatan waktu pembelian barang tahan lama pada September sedang menurun. Sementara indikator ketersediaan lapangan kerja justru lebih positif.

Pada Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK), tren penurunannya lebih tinggi lagi hingga 5,5 poin pada periode September. Indikator ekspektasi penghasilan, ekspektasi ketersediaan lapangan kerja, dan ekspektasi kegiatan usaha semuanya berada pada persepsi negatif.

Kesimpulan sederhananya posisi persepsi konsumen pada September kemarin tidak cukup yakin dengan ekspektasi perbaikan dalam enam bulan ke depan. Survei ini memiliki nilai strategis karena sangat terkait dengan ekspektasi inflasi dan proyeksi pertumbuhan ekonomi, dan seperti yang kita ketahui bersama hingga saat ini konsumsi rumah tangga masih sangat dominan sebagai tulang punggung pertumbuhan ekonomi dalam negeri.

Berbeda ketika pemerintahan SBY-Boediono, perekonomian diarahkan untuk mencapai titik pertumbuhan yang paling optimal dengan tingkat inflasi yang relatif besar. Pemerintahan rezim SBY-Boediono mencoba untuk menciptakan margin positif dari selisih antara pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Rezim SBY-Boediono berharap bahwa kesejahteraan yang ditimbulkan dari pertumbuhan ekonomi masih lebih besar daripada tergerusnya kesejahteraan karena adanya inflasi.

Namun, pemerintahan Jokowi-JK terlihat lebih menitikberatkan pembangunan ekonomi pada pemerataan tingkat kesejahteraan. Pada pola pembangunan yang seperti ini maka fokus utama pembangunannya ialah pengendalian harga guna mempertahankan daya beli masyarakat. Dengan kata lain, pola pembangunan sepeti ini akan cenderung mempertahankan tingkat inflasi pada level yang rendah dengan konsekuensi pertumbuhan ekonomi yang relatif rendah juga.

Di sisi lain, pemerintah saat ini terus berupaya menggenjot kinerja investasi untuk lebih produktif agar penghasilan masyarakat menjadi terkerek meningkat, meski target kenaikan investasi tidak bisa dijalankan secara instan, karena ada beberapa prasyarat yang cukup tegas di dalam upaya perbaikannya.

Kalau kita melihat laporan tahunan World Economic Forum (WEF, 2016), pemerintah juga perlu memperbaiki sisi birokrasinya untuk menutup peluang korupsi dan inefisiensi usaha yang diakui menjadi penghambat terbesar daya saing investasi di Indonesia.

Masalah prioritas lainnya yang juga perlu segera dituntaskan adalah akses pendanaan, dan ketidakstabilan kebijakan. Dan pemerintah bisa mengoneksikan kedua gagasan tersebut dengan proyeksi kebijakan yang terkait dengan hasil penerimaan dari tax amnesty . Semoga!

 

BERITA TERKAIT

Cegah Dampak El Nino

Ancaman El Nino di negeri belakangan ini semakin kentara, apalagi data BPS mengungkapkan sektor pertanian saat ini hanya berkontribusi sekitar…

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…

IKN Magnet Investasi

  Eksistensi UU Cipta Kerja dinilai cukup strategis dalam memajukan perekonomian Indonesia. UU Cipta Kerja akan menjadi salah satu regulasi…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Cegah Dampak El Nino

Ancaman El Nino di negeri belakangan ini semakin kentara, apalagi data BPS mengungkapkan sektor pertanian saat ini hanya berkontribusi sekitar…

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…

IKN Magnet Investasi

  Eksistensi UU Cipta Kerja dinilai cukup strategis dalam memajukan perekonomian Indonesia. UU Cipta Kerja akan menjadi salah satu regulasi…