Tantangan Masih Berat

Tantangan Masih Berat
Oleh: Firdaus Baderi
Wartawan Harian Ekonomi NERACA
Meski nilai deklarasi amnesti pajak Indonesia menduduki peringkat tertinggi di dunia dengan perolehan Rp 2.514 triliun hingga 28 September 2016, pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla jangan merasa puas dulu. Pasalnya, kondisi  utang pemerintah dalam dua tahun terakhir ini memprihatinkan dan perlu perhatian dari banyak pihak untuk mengatasi jalan keluarnya. 
Utang Indonesia telah tumbuh 22,4% dari posisi 2014 sebesar Rp 2.608 triliun menjadi Rp 3.362 triliun pada tahun ini, atau pemerintah telah menarik utang hingga Rp 754 triliun selama dua tahun terakhir. Jadi, rata-rata pertahun menarik utang Rp 377 triliun.
Di sisi lain, kemampuan riil pemerintah dalam membayar utang terus melemah, terutama sejak 2009. Ini tercermin pada rasio utang yang ditarik pada tahun berjalan terhadap realisasi penerimaan pajak pada tahun berjalan. Kita lihat periode 2009-2015, realisasi penerimaan pajak rata-rata tumbuh 12,47% per tahun, sedangkan total utang yang ditarik pemerintah tumbuh mencapai 22,79%, atau hampir dua kali lipatnya. 
Akibatnya, neraca keseimbangan primer sebagai tolak ukur untuk menilai kemampuan pemerintah dalam membayar utang terus mengalami penurunan kapasitasnya. Berdasarkan data pada Kemenkeu, defisit keseimbangan primer dalam APBN-P 2015 meningkat 203,8% dari target Rp 66,8 triliun, realisasinya mencapai Rp 136,1 triliun. Defisit tersebut juga lebih besar dibandingkan 2014 yang Rp 93,3 triliun, atau 87,9% dari target Rp 106 triliun. Nah, kenaikan defisit ini tentunya harus diwaspadai,  karena besarnya defisit neraca keseimbangan primer mengindikasikan kemampuan anggaran negara menutup utang yang semakin melemah.
Ironisnya lagi, pinjaman yang ditarik pemerintah saat ini, tidak semuanya untuk menutup defisit, melainkan sebagian besar untuk membayar bunga utang. Dalam periode 2011-2015 cicilan pokok dan bunga utang yang telah dibayarkan mencapai Rp 1.527,118 trilliun.
Tidak hanya itu. Peringkat indeks daya saing global Indonesia periode 2016-2017 sekarang merosot  lagi ke urutan ke-41 dari semula urutan ke-37 pada periode 2015-2016, menurut Global Competitiveness Index (GCI) yang dibuat oleh World Economic Forum (WEF). Jelas, ini menggambarkan kondisi persaingan usaha antarnegara di dunia semakin ketat. Khususnya di kawasan ASEAN, Indonesia ternyata masih tertinggal dibandingkan Singapura, Malaysia dan Thailand.
Terlepas dari berbagai permasalahan tersebut, kita melihat kebijakan fiskal merupakan salah satu instrumen makro ekonomi yang  sangat strategis dalam mencapai stabilitas ekonomi, dengan mempertahankan pertumbuhan ekonomi positif dan dapat mengurangi jumlah pengangguran di negeri ini.  Karena itu, pengelolaan APBN harus sehat, kredibel dan sustainable di masa mendatang. Semoga!

Oleh: Firdaus Baderi

Wartawan Harian Ekonomi NERACA

Meski nilai deklarasi amnesti pajak Indonesia menduduki peringkat tertinggi di dunia dengan perolehan Rp 2.514 triliun hingga 28 September 2016, pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla jangan merasa puas dulu. Pasalnya, kondisi  utang pemerintah dalam dua tahun terakhir ini memprihatinkan dan perlu perhatian dari banyak pihak untuk mengatasi jalan keluarnya. 

Utang Indonesia telah tumbuh 22,4% dari posisi 2014 sebesar Rp 2.608 triliun menjadi Rp 3.362 triliun pada tahun ini, atau pemerintah telah menarik utang hingga Rp 754 triliun selama dua tahun terakhir. Jadi, rata-rata per tahun menarik pinjaman Rp 377 triliun.

Di sisi lain, kemampuan riil pemerintah dalam membayar utang terus melemah, terutama sejak 2009. Ini tercermin pada rasio utang yang ditarik pada tahun berjalan terhadap realisasi penerimaan pajak pada tahun berjalan. Kita lihat periode 2009-2015, realisasi penerimaan pajak rata-rata tumbuh 12,47% per tahun, sedangkan total utang yang ditarik pemerintah tumbuh mencapai 22,79%, atau hampir dua kali lipatnya. 

Akibatnya, neraca keseimbangan primer sebagai tolak ukur untuk menilai kemampuan pemerintah dalam membayar utang terus mengalami penurunan kapasitasnya. Berdasarkan data pada Kemenkeu, defisit keseimbangan primer dalam APBN-P 2015 meningkat 203,8% dari target Rp 66,8 triliun, realisasinya mencapai Rp 136,1 triliun. Defisit tersebut juga lebih besar dibandingkan 2014 yang Rp 93,3 triliun, atau 87,9% dari target Rp 106 triliun. Nah, kenaikan defisit ini tentunya harus diwaspadai,  karena besarnya defisit neraca keseimbangan primer mengindikasikan kemampuan anggaran negara menutup utang yang semakin melemah.

Ironisnya lagi, pinjaman yang ditarik pemerintah saat ini, tidak semuanya untuk menutup defisit, melainkan sebagian besar untuk membayar bunga utang. Dalam periode 2011-2015 cicilan pokok dan bunga utang yang telah dibayarkan mencapai Rp 1.527,118 trilliun.

Tidak hanya itu. Peringkat indeks daya saing global Indonesia periode 2016-2017 sekarang merosot  lagi ke urutan ke-41 dari semula urutan ke-37 pada periode 2015-2016, menurut Global Competitiveness Index (GCI) yang dibuat oleh World Economic Forum (WEF). Jelas, ini menggambarkan kondisi persaingan usaha antarnegara di dunia semakin ketat. Khususnya di kawasan ASEAN, Indonesia ternyata masih tertinggal dibandingkan Singapura, Malaysia dan Thailand.

Terlepas dari berbagai permasalahan tersebut, kita melihat kebijakan fiskal merupakan salah satu instrumen makro ekonomi yang  sangat strategis dalam mencapai stabilitas ekonomi, dengan mempertahankan pertumbuhan ekonomi positif dan dapat mengurangi jumlah pengangguran di negeri ini.  Karena itu, pengelolaan APBN harus sehat, kredibel dan sustainable di masa mendatang. Semoga!

 

BERITA TERKAIT

Investasi Emas Pasca Lebaran

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Usai lebaran Idul Fitri 1445 H masyarakat Indonesia mulai menjalankan aktifitas kembali seperti biasanya…

Tantangan APBN Paska Pemilu

   Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Pemilu untuk Presiden dan Wakil Presiden, serta DPR, DPD…

Kebijakan Satu Peta

 Oleh: Susiwijono Moegiarso Plt. Deputi Bidang Koordinasi Pengembangan Wilayah dan Tata Ruang Kemenko Perekonomian Percepatan pelaksanaan Kebijakan Satu Peta atau…

BERITA LAINNYA DI

Investasi Emas Pasca Lebaran

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Usai lebaran Idul Fitri 1445 H masyarakat Indonesia mulai menjalankan aktifitas kembali seperti biasanya…

Tantangan APBN Paska Pemilu

   Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Pemilu untuk Presiden dan Wakil Presiden, serta DPR, DPD…

Kebijakan Satu Peta

 Oleh: Susiwijono Moegiarso Plt. Deputi Bidang Koordinasi Pengembangan Wilayah dan Tata Ruang Kemenko Perekonomian Percepatan pelaksanaan Kebijakan Satu Peta atau…