Daya Saing Global RI Menurun Lagi

Daya Saing Global RI Menurun Lagi
Jakarta - Peringat indeks daya saing global Indonesia periode 2016-2017 merosot  ke urutan ke-41 dari semula urutan ke-37 pada periode 2015-2016, menurut Global Competitiveness Index (GCI) yang dibuat oleh World Economic Forum (WEF).
NERACA
Menurut Nikkei Asian Review, indeks yang memeringkat 138 negara tersebut, menilai berbagai aspek seperti lembaga, infrastruktur dan lingkungan ekonomi makro serta kesehatan dan pendidikan dasar. Swiss menduduki puncak GCI untuk tahun kedelapan berturut-turut sementara Jepang mengamankan posisi kedelapan dibandingkan dengan keenam tahun lalu.
Indonesia dinilai baik dalam hal pengembangan keuangan (42, naik tujuh peringkat), tetapi hanya berada di peringkat 100 di bidang kesehatan dan pendidikan dasar, di posisi 108 dalam efisiensi pasar tenaga kerja dan di posisi 91 dalam kesiapan teknologi. Dikatakan pula bahwa hanya seperlima dari populasi yang menggunakan internet, hanya satu koneksi broadband untuk setiap 100 orang.
Di sisi lain, India melonjak ke urutan ke-39, melesat 16 tingkat dari posisi ke-55 sebelumnya. Negara dari Asia Selatan ini merupakan bintang dan mencapai peningkatan terbesar tahun ini, menurut Forum yang berbasis di Jenewa itu.
Sementara India mendapat pujian atas reformasi baru-baru ini yang berfokus pada peningkatan lembaga-lembaga publik, membuka perekonomian untuk investor asing dan perdagangan internasional, dan meningkatkan transparansi dalam sistem keuangan.
India melesat melampaui Indonesia yang turun empat peringkat dan Filipina yang jatuh 10 peringkat. Filipina mengalami kemunduran terutama karena dianggap bermasalah dalam efisiensi birokrasi pemerintahan, korupsi dan ketersediaan infrtastruktur yang tidak memadai.
India dianggap hebat, dan kredit poin diberikan kepada Perdana Menteri Narendra Modi. Di tengah perlambatan global, India tetap merupakan ekonomi utama yang tumbuh paling cepat. ekonomi negara itu tumbuh 7,6% untuk tahun keuangan yang berakhir 31 Maret, sementara tahun sebelumnya mencatat pertumbuhan 7,2%. 
Indeks Daya-saing Global (Global Competitiveness Index-GCI) yang dipublikasikan secara reguler oleh WEF merupakan informasi yang berguna bagi pemerintah setiap negara karena dapat digunakan sebagai benchmarking dengan negara lain dalam hal daya-saing ekonomi. 
Menurut laporan itu, penurunan peringkat daya-saing pada tahun ini disebabkan oleh penurunan peringkat yang besar dari pilar efisiensi pasar tenaga kerja, efisiensi pasar barang dan kecanggihan bisnis. 
Secara lebih rinci lagi, penurunan peringkat daya-saing Indonesia disebabkan oleh penurunan yang signifikan dari indikator Perilaku Etis Perusahaan, Kualitas Pasokan Listrik, Indeks Hak Hukum, dan Kepemilikan Investor Asing. Faktor penghambat daya-saing bisnisyang utamaadalahkorupsi, birokrasi pemerintah yang tidak efisien, dan infrastruktur.
GCI melengkapi pemeringkatan kemajuan setiap negara dibandingkan dengan negara lain dalam banyak aspek yang semakin banyak dilakukan, seperti Corruption Perceptions Index (Transparency International), Doing Business Indicator (Bank Dunia), Human Development Index (UNDP), The Climate Competitiveness Index (PBB), dll. Untuk daya-saing sendiri, GCI bukan satu-satunya pemeringkatan daya-saing, adapula World Competitiveness Yearbook yang dikembangkan oleh IMD
Sebelumnya peringkat daya saing Indonesia juga mengalami penurunan, menurut laporan International Institute for Management Development (IMD) 2016, peringkat daya saing Indonesia turun enam peringkat dari peringkat ke-42 menjadi ke-48. 
Direktur IMD Competitiveness Center Profesor Arturo Bris mengatakan, Indonesia menjadi salah satu negara di Asia yang mengalami penurunan signifikan. "Taiwan, Malaysia, Korea Selatan, turun signifikan dari posisi tahun 2015," kata Bris dalam laporannya di situs resmi IMD. 
Bris tidak menyebutkan secara khusus alasan penurunan peringkat Indonesia dalam laporan resminya. Namun, dalam wawancara khusus dengan Forbes, Bris menyebutkan bahwa negara-negara Asia seperti Indonesia, Malaysia, Korea Selatan mengalami penurunan peringkat daya saing karena terimbas perekonomian Cina. 
"Negara-negara tersebut memiliki hubungan ekonomi yang erat dengan Cina dan terkena dampaknya tahun ini," kata Bris. 
Perekonomian Cina bukan menjadi satu-satunya faktor yang menjadi penyebab turunnya daya saing Indonesia. Faktor lainnya juga adalah turunnya harga komoditas. Ekonomi Indonesia yang selama ini bergantung pada komoditas, sudah jelas terpukul karena anjloknya harga. "Selain itu juga dipengaruhi harga minyak yang turun," kata Bris. 
Dia menjelaskan, ada lebih dari 340 kriteria yang digunakan untuk menentukan peringkat daya saing. Namun, secara umum, ada empat faktor utama yang dinilai yakni kinerja perekonomian, efektivitas pemerintahan, efektivitas bisnis, serta infrastruktur. Survei dilakukan kepada lebih dari 5.400 pelaku bisnis. 
Di level Asia Tenggara, peringkat Indonesia masih berada di bawah Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina. Singapura menempati peringkat empat atau turun satu peringkat, Malaysia turun lima peringkat ke posisi 19, Thailand naik dua peringkat ke posisi 28, sedangkan Filipina turun satu peringkat ke posisi 42. 
Bris menjelaskan, negara-negara yang berada pada peringkat 20 besar, secara umum sangat fokus pada perbaikan iklim dan regulasi bisnis. Mereka juga terus menggenjot perbaikan infrastruktur. 
Dia mencontohkan, Hong Kong yang kini berada di peringkat pertama, melakukan inovasi dengan menerapkan pajak yang rendah serta tidak melakukan pembatasan yang ketat terhadap dana-dana yang masuk atau yang keluar. 
Biaya Logistik Tinggi
Penurunan peringkat daya saing Indonesia tersebut setidaknya terkait dengan sejumlah komponen yang mempengaruhinya antara biaya logistik. Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang Industri Johnny Darmawan mengatakan, impor telah memangkas daya saing industri karena biaya logistik yang relatif tinggi. 
"Kalau melihat gejala deindustrialisasi bagaimana mengatasinya, mudah. Semua industri harus kita pikirkan kata kuncinya kompetitif. Tidak ada kata lain produksi atau proses dalam negeri. Logistik cost mahal, sparepart kalau impor dari luar negeri 20 sampai 30%," ujarnya di Jakarta, akhir pekan lalu. 
Johnny juga mengatakan perlunya sinkronisasi antar lembaga supaya segala bentuk perizinan menjadi mudah. Lantaran, birokrasi yang ribet membuat pengusaha enggan menanamkan modalnya.
"Roadmap punya tapi ada nggak koordinasinya. Saya banyak belajar di birokrasi itu nggak gampang karena kementerian mungkin nggak sinkron," ujar dia.
Dia menambahkan, untuk mendorong daya saing industri ada beberapa hal yang mesti dipenuhi. Di antaranya, infrastruktur seperti jalan, pelabuhan, serta kelistrikan.
Kemudian, penyediaan biaya energi murah. Sebab energi yang mahal juga menekan kinerja industri. "Bagaimana memikirkan bagaimana produksi kita kompetitif kalau harga gas kita salah satu termahal di dunia, kemudian listrik," ujarnya. 
Johnny juga bilang, mesti ada upaya untuk menekan harga bahan baku industri. "Kita membuat ketersediaan dari bahan baku murah, paling gampang," tandas dia.
Tidak hanya itu. Presiden Jokowi juga pernah mengingatkan Direktur Utama PT Pelindo II (Persero) untuk tidak berbangga hati dengan pencapaian waktu bongkar muat (dwelling time) di Pelabuhan Tanjung Priok‎ yang kini sudah turun menjadi 3,2 hari.
Menurut Jokowi, untuk menjadi pelabuhan bertaraf internasional yang memiliki kualitas dan daya saing, angka dwelling time tersebut harus kembali dipersingkat.
Dia mendesak Pelindo II segera melakukan hal itu. ‎"Saya tanya, hari ini berapa hari dwelling time-nya, Pelindo bilang 3,2 hari, Pak Menhub bilang 3,7 hari. Ya antara itu. Saya mintanya 2 hari. Jangan berhenti di 3,2 hari sudah senang," tegas Jokowi di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, beberapa waktu lalu. 
Menurut Jokowi, waktu bongkar muat (dwelling time) di Pelabuhan Tanjung Priok ini sudah mengalami perbaikan cukup signifikan. Dibandingkan tahun lalu, saat dirinya mengunjungi Pelabuhan Tanjung Priok, waktu dwelling time masih di kisaran 6-7 hari.
Tak hanya itu, untuk mewujudkan sistem logistik yang efisien, Jokowi meminta penurunan waktu bongkar muat ini juga berlaku di pelabuhan-pelabuhan lain di Indonesia, selain Tanjung Priok.
"Dan juga tidak hanya Tanjung Priok, saya minta Tanjung Perak, Belawan, Makasar, semua dwelling time diperbaiki. Di Belawan masih 7-8 hari. Jangan sampai masih 7-8 hari. Mau bersaing kayak apa kalau kita masih 7-8 hari," tegas Jokowi. bari/mohar/fba

 

Jakarta - Peringat indeks daya saing global Indonesia periode 2016-2017 merosot  ke urutan ke-41 dari semula urutan ke-37 pada periode 2015-2016, menurut Global Competitiveness Index (GCI) yang dibuat oleh World Economic Forum (WEF).

NERACA

Menurut Nikkei Asian Review, indeks yang memeringkat 138 negara tersebut, menilai berbagai aspek seperti lembaga, infrastruktur dan lingkungan ekonomi makro serta kesehatan dan pendidikan dasar. Swiss menduduki puncak GCI untuk tahun kedelapan berturut-turut sementara Jepang mengamankan posisi kedelapan dibandingkan dengan keenam tahun lalu.

Indonesia dinilai baik dalam hal pengembangan keuangan (42, naik tujuh peringkat), tetapi hanya berada di peringkat 100 di bidang kesehatan dan pendidikan dasar, di posisi 108 dalam efisiensi pasar tenaga kerja dan di posisi 91 dalam kesiapan teknologi. Dikatakan pula bahwa hanya seperlima dari populasi yang menggunakan internet, hanya satu koneksi broadband untuk setiap 100 orang.

Di sisi lain, India melonjak ke urutan ke-39, melesat 16 tingkat dari posisi ke-55 sebelumnya. Negara dari Asia Selatan ini merupakan bintang dan mencapai peningkatan terbesar tahun ini, menurut Forum yang berbasis di Jenewa itu.

Sementara India mendapat pujian atas reformasi baru-baru ini yang berfokus pada peningkatan lembaga-lembaga publik, membuka perekonomian untuk investor asing dan perdagangan internasional, dan meningkatkan transparansi dalam sistem keuangan.

India melesat melampaui Indonesia yang turun empat peringkat dan Filipina yang jatuh 10 peringkat. Filipina mengalami kemunduran terutama karena dianggap bermasalah dalam efisiensi birokrasi pemerintahan, korupsi dan ketersediaan infrtastruktur yang tidak memadai.

India dianggap hebat, dan kredit poin diberikan kepada Perdana Menteri Narendra Modi. Di tengah perlambatan global, India tetap merupakan ekonomi utama yang tumbuh paling cepat. ekonomi negara itu tumbuh 7,6% untuk tahun keuangan yang berakhir 31 Maret, sementara tahun sebelumnya mencatat pertumbuhan 7,2%. 

Indeks Daya-saing Global (Global Competitiveness Index-GCI) yang dipublikasikan secara reguler oleh WEF merupakan informasi yang berguna bagi pemerintah setiap negara karena dapat digunakan sebagai benchmarking dengan negara lain dalam hal daya-saing ekonomi. 

Menurut laporan itu, penurunan peringkat daya-saing pada tahun ini disebabkan oleh penurunan peringkat yang besar dari pilar efisiensi pasar tenaga kerja, efisiensi pasar barang dan kecanggihan bisnis. 

Secara lebih rinci lagi, penurunan peringkat daya-saing Indonesia disebabkan oleh penurunan yang signifikan dari indikator Perilaku Etis Perusahaan, Kualitas Pasokan Listrik, Indeks Hak Hukum, dan Kepemilikan Investor Asing. Faktor penghambat daya-saing bisnisyang utamaadalahkorupsi, birokrasi pemerintah yang tidak efisien, dan infrastruktur.

GCI melengkapi pemeringkatan kemajuan setiap negara dibandingkan dengan negara lain dalam banyak aspek yang semakin banyak dilakukan, seperti Corruption Perceptions Index (Transparency International), Doing Business Indicator (Bank Dunia), Human Development Index (UNDP), The Climate Competitiveness Index (PBB), dll. Untuk daya-saing sendiri, GCI bukan satu-satunya pemeringkatan daya-saing, adapula World Competitiveness Yearbook yang dikembangkan oleh IMD

Sebelumnya peringkat daya saing Indonesia juga mengalami penurunan, menurut laporan International Institute for Management Development (IMD) 2016, peringkat daya saing Indonesia turun enam peringkat dari peringkat ke-42 menjadi ke-48. 

Direktur IMD Competitiveness Center Profesor Arturo Bris mengatakan, Indonesia menjadi salah satu negara di Asia yang mengalami penurunan signifikan. "Taiwan, Malaysia, Korea Selatan, turun signifikan dari posisi tahun 2015," kata Bris dalam laporannya di situs resmi IMD. 

Bris tidak menyebutkan secara khusus alasan penurunan peringkat Indonesia dalam laporan resminya. Namun, dalam wawancara khusus dengan Forbes, Bris menyebutkan bahwa negara-negara Asia seperti Indonesia, Malaysia, Korea Selatan mengalami penurunan peringkat daya saing karena terimbas perekonomian Cina. 

"Negara-negara tersebut memiliki hubungan ekonomi yang erat dengan Cina dan terkena dampaknya tahun ini," kata Bris. 

Perekonomian Cina bukan menjadi satu-satunya faktor yang menjadi penyebab turunnya daya saing Indonesia. Faktor lainnya juga adalah turunnya harga komoditas. Ekonomi Indonesia yang selama ini bergantung pada komoditas, sudah jelas terpukul karena anjloknya harga. "Selain itu juga dipengaruhi harga minyak yang turun," kata Bris. 

Dia menjelaskan, ada lebih dari 340 kriteria yang digunakan untuk menentukan peringkat daya saing. Namun, secara umum, ada empat faktor utama yang dinilai yakni kinerja perekonomian, efektivitas pemerintahan, efektivitas bisnis, serta infrastruktur. Survei dilakukan kepada lebih dari 5.400 pelaku bisnis. 

Di level Asia Tenggara, peringkat Indonesia masih berada di bawah Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina. Singapura menempati peringkat empat atau turun satu peringkat, Malaysia turun lima peringkat ke posisi 19, Thailand naik dua peringkat ke posisi 28, sedangkan Filipina turun satu peringkat ke posisi 42. 

Bris menjelaskan, negara-negara yang berada pada peringkat 20 besar, secara umum sangat fokus pada perbaikan iklim dan regulasi bisnis. Mereka juga terus menggenjot perbaikan infrastruktur. 

Dia mencontohkan, Hong Kong yang kini berada di peringkat pertama, melakukan inovasi dengan menerapkan pajak yang rendah serta tidak melakukan pembatasan yang ketat terhadap dana-dana yang masuk atau yang keluar. 

Biaya Logistik Tinggi

Penurunan peringkat daya saing Indonesia tersebut setidaknya terkait dengan sejumlah komponen yang mempengaruhinya antara biaya logistik. Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang Industri Johnny Darmawan mengatakan, impor telah memangkas daya saing industri karena biaya logistik yang relatif tinggi. 

"Kalau melihat gejala deindustrialisasi bagaimana mengatasinya, mudah. Semua industri harus kita pikirkan kata kuncinya kompetitif. Tidak ada kata lain produksi atau proses dalam negeri. Logistik cost mahal, sparepart kalau impor dari luar negeri 20 sampai 30%," ujarnya di Jakarta, akhir pekan lalu. 

Johnny juga mengatakan perlunya sinkronisasi antar lembaga supaya segala bentuk perizinan menjadi mudah. Lantaran, birokrasi yang ribet membuat pengusaha enggan menanamkan modalnya.

"Roadmap punya tapi ada nggak koordinasinya. Saya banyak belajar di birokrasi itu nggak gampang karena kementerian mungkin nggak sinkron," ujar dia.

Dia menambahkan, untuk mendorong daya saing industri ada beberapa hal yang mesti dipenuhi. Di antaranya, infrastruktur seperti jalan, pelabuhan, serta kelistrikan.

Kemudian, penyediaan biaya energi murah. Sebab energi yang mahal juga menekan kinerja industri. "Bagaimana memikirkan bagaimana produksi kita kompetitif kalau harga gas kita salah satu termahal di dunia, kemudian listrik," ujarnya. 

Johnny juga bilang, mesti ada upaya untuk menekan harga bahan baku industri. "Kita membuat ketersediaan dari bahan baku murah, paling gampang," tandas dia.

Tidak hanya itu. Presiden Jokowi juga pernah mengingatkan Direktur Utama PT Pelindo II (Persero) untuk tidak berbangga hati dengan pencapaian waktu bongkar muat (dwelling time) di Pelabuhan Tanjung Priok‎ yang kini sudah turun menjadi 3,2 hari.

Menurut Presiden, untuk menjadi pelabuhan bertaraf internasional yang memiliki kualitas dan daya saing, angka dwelling time tersebut harus kembali dipersingkat.

Dia mendesak Pelindo II segera melakukan hal itu. ‎"Saya tanya, hari ini berapa hari dwelling time-nya, Pelindo bilang 3,2 hari, Pak Menhub bilang 3,7 hari. Ya antara itu. Saya mintanya 2 hari. Jangan berhenti di 3,2 hari sudah senang," tegas Jokowi di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, beberapa waktu lalu. 

Menurut Jokowi, waktu bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Priok ini sudah mengalami perbaikan cukup signifikan. Dibandingkan tahun lalu, saat dirinya mengunjungi Pelabuhan Tanjung Priok, waktu dwelling time masih di kisaran 6-7 hari.

Tak hanya itu, untuk mewujudkan sistem logistik yang efisien, Jokowi meminta penurunan waktu bongkar muat ini juga berlaku di pelabuhan-pelabuhan lain di Indonesia, selain Tanjung Priok.

"Dan juga tidak hanya Tanjung Priok, saya minta Tanjung Perak, Belawan, Makasar, semua dwelling time diperbaiki. Di Belawan masih 7-8 hari. Jangan sampai masih 7-8 hari. Mau bersaing kayak apa kalau kita masih 7-8 hari," tegas Jokowi. bari/mohar/fba

BERITA TERKAIT

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…