Suku Bunga vs NPL Bank

Suku Bunga vs NPL Bank
Respon dari otoritas moneter bisa dibilang sudah cukup sinkron untuk menyambut aliran dana yang tengah menggelembung dari hasil amnesti pajak. Hanya masalahnya sekarang, adalah perbankan Indonesia harus benar-benar siap dan efisien. Pasalnya, kebijakan perbankan mendatang dituntut mampu menjalankan fungsi intermediasinya dengan benar dan profesional. 
Pertama, perlu ada evaluasi yang komprehensif seputar penyebab rendahnya kualitas kredit terutama di sepanjang tahun 2016. Kalau diukur dari kinerja non-performing loan (NPL) yang menjadi indikator kredit macet perbankan, OJK merilis kredit modal kerja menjadi sektor yang paling bermasalah jika dibandingkan dengan kredit konsumsi dan investasi untuk periode Juli 2016. Namun bukan berarti sektor ini perlu dihindari, karena nilai benefit -nya terhadap sisi lain ekonomi masih sangat tinggi. 
Hal yang perlu dievaluasi sebenarnya mengapa kinerja NPL di beberapa sektor masih cukup tinggi? Apakah memang benar karena dampak ekonomi eksternal yang tak kunjung menemui titik akhir, atau justru karena memang ada yang masalah pada pengelolaan dari sisi perbankan? 
Kedua, perbankan juga harus konsisten menyambut pemangkasan berbagai suku bunga acuan dari BI dengan menyelenggarakan sistem kredit relevan. Terkait dengan kinerja kredit dari sisi perbankan, yang perlu diprioritaskan adalah tingkat efisiensi Net Interest Margin (NIM) agar nominal bunga riil yang diterima debitur juga menjadi lebih rendah. 
Berdasarkan data OJK (2016), NIM perbankan di Indonesia besarnya sekitar 5,4% dan termasuk paling tinggi di dunia yang memiliki rata-rata NIM antara 1-3%. Fakta ini menjadi pukulan telak bagi kinerja daya saingperbankandan sangat berdampak pada permintaan kredit domestik. 
Kalangan perbankan mengaku NIM kita cukup tinggi karena disebabkan menurunnya kualitas penyaluran kredit dan kenaikan biaya cadangan perbankan, sehingga ada kecenderungan mereka akan mengoptimalkan atau menyubstitusi profit dengan menerapkan NIM yang tinggi. 
Ketiga, perbankan perlu didorong untuk lebih fokus dalam upaya ekstensifikasi akses kredit. Misalnya dengan menambah alokasi Kredit Usaha Rakyat (KUR) terhadap sektor UMKM. Potensi KUR bagi UMKM sangat tinggi karena didukung jumlah pelaku usaha di dalamnya yang sangat mendominasi peta kontribusi berdasarkan skala ekonomi. Apalagi rata-rata pelaku UMKM memiliki akses permodalan yang relatif minim untuk bisa mengembangkan kapasitas usahanya. 
Namun risiko kredit terhadap sektor ini juga tidak bisa dikatakan kecil karena mayoritas UMKM rata-rata belum tanggap terhadap kaidah literasi keuangan. Keunggulan UMKM ialah relatif lebih safe dari guncangan ekonomi eksternal jika dibandingkan dengan sektor pertambangan yang selama ini menjadi sektor unggulan penyaluran kredit. 
Dalam perkembangannya hingga saat ini, sudah ada beberapa institusi keuangan yang sedang mengembangkan model pemeringkatan (rating ) bagi UMKM, yang bertujuan menyusun basis data UMKM untuk menunjang kelayakan pembiayaan. 
Pola ini akan membantu perbankan untuk mengukur risiko kredit terhadap UMKM. Dan keempat, menjawab catatan ketiga di atas, peran pemerintah masih amat dibutuhkan khususnya dalam pengembangan UMKM. Kalau pemerintah tidak turun tangan, yang penulis khawatirkan perbankan akan semakin enggan mengembangkan akses kreditnya. 
Pemerintah dapat berbagi peran pengembangan akses kredit dengan menjaga kinerja UMKM tetap progresif, agar mereka juga mampu menjaga kelancaran sistem kredit. Dari sisi mikro, peran pemerintah dapat diwujudkan dengan pembinaan manajerial yang lebuh mumpuni bagi UMKM.  
Sedangkan dari sisi makro, pemerintah dapat menunjang dengan melakukan pengembangan infrastruktur, layanan birokrasi yang efektif dan efisien. Dengan demikian momentum amnesti pajak bisa menjadi landasan yang kuat untuk menggairahkan kembali investasi di beberapa sektor strategis. 
Dengan mulai progresifnya hasil penerimaan dari program amnesti pajak, pemerintah dan otoritas moneter memang perlu segera berembuk untuk menentukan langkah selanjutnya. 
Langkah BI untuk menurunkan suku bunga acuan serta OJK yang berupaya untuk terus menekan NIM sudah sangat sinkron dengan kebijakan pemerintah yang tengah concern terhadap pengembangan infrastruktur dan beberapa jenis deregulasi investasi.
Tidak hanya itu. BI juga meminta kalangan bank penerbit kartu kredit agar menurunkan tingkat suku bunga dari semula 2,95% menjadi 2,25% per bulan. Dan BI juga meminta perbankan menurunkan biaya transaksi antarbank yang saat ini dinilainya cukup tinggi. Ini menggambarkan kondisi perbankan khususnya penerbit kartu kredit masih beroperasi dengan tingkat bunga yang sangat tinggi. Apalagi bank asing yang beroperasi di negeri ini, memasang suku bunga kartu kredit rata-rata di atas 3% per bulan. Jelas, ini dapat menimbulkan problem NPL di kemudian hari. 

 

Respon dari otoritas moneter bisa dibilang sudah cukup sinkron untuk menyambut aliran dana yang tengah menggelembung dari hasil amnesti pajak. Hanya masalahnya sekarang, adalah perbankan Indonesia harus benar-benar siap dan efisien. Pasalnya, kebijakan perbankan mendatang dituntut mampu menjalankan fungsi intermediasinya dengan benar dan profesional. 

Pertama, perlu ada evaluasi yang komprehensif seputar penyebab rendahnya kualitas kredit terutama di sepanjang tahun 2016. Kalau diukur dari kinerja non-performing loan (NPL) yang menjadi indikator kredit macet perbankan, OJK merilis kredit modal kerja menjadi sektor yang paling bermasalah jika dibandingkan dengan kredit konsumsi dan investasi untuk periode Juli 2016. Namun bukan berarti sektor ini perlu dihindari, karena nilai benefit -nya terhadap sisi lain ekonomi masih sangat tinggi. 

Hal yang perlu dievaluasi sebenarnya mengapa kinerja NPL di beberapa sektor masih cukup tinggi? Apakah memang benar karena dampak ekonomi eksternal yang tak kunjung menemui titik akhir, atau justru karena memang ada yang masalah pada pengelolaan dari sisi perbankan? 

Kedua, perbankan juga harus konsisten menyambut pemangkasan berbagai suku bunga acuan dari BI dengan menyelenggarakan sistem kredit relevan. Terkait dengan kinerja kredit dari sisi perbankan, yang perlu diprioritaskan adalah tingkat efisiensi net interest margin (NIM) agar nominal bunga riil yang diterima debitur juga menjadi lebih rendah. 

Berdasarkan data OJK (2016), NIM perbankan di Indonesia besarnya sekitar 5,4% dan termasuk paling tinggi di dunia yang memiliki rata-rata NIM antara 1-3%. Fakta ini menjadi pukulan telak bagi kinerja daya saing perbankan dan sangat berdampak pada permintaan kredit domestik. 

Kalangan perbankan mengaku NIM kita cukup tinggi karena disebabkan menurunnya kualitas penyaluran kredit dan kenaikan biaya cadangan perbankan, sehingga ada kecenderungan mereka akan mengoptimalkan atau menyubstitusi profit dengan menerapkan NIM yang tinggi. 

Ketiga, perbankan perlu didorong untuk lebih fokus dalam upaya ekstensifikasi akses kredit. Misalnya dengan menambah alokasi Kredit Usaha Rakyat (KUR) terhadap sektor UMKM. Potensi KUR bagi UMKM sangat tinggi karena didukung jumlah pelaku usaha di dalamnya yang sangat mendominasi peta kontribusi berdasarkan skala ekonomi. Apalagi rata-rata pelaku UMKM memiliki akses permodalan yang relatif minim untuk bisa mengembangkan kapasitas usahanya. 

Namun risiko kredit terhadap sektor ini juga tidak bisa dikatakan kecil karena mayoritas UMKM rata-rata belum tanggap terhadap kaidah literasi keuangan. Keunggulan UMKM ialah relatif lebih safe dari guncangan ekonomi eksternal jika dibandingkan dengan sektor pertambangan yang selama ini menjadi sektor unggulan penyaluran kredit. 

Dalam perkembangannya hingga saat ini, sudah ada beberapa institusi keuangan yang sedang mengembangkan model pemeringkatan (rating ) bagi UMKM, yang bertujuan menyusun basis data UMKM untuk menunjang kelayakan pembiayaan. 

Pola ini akan membantu perbankan untuk mengukur risiko kredit terhadap UMKM. Dan keempat, menjawab catatan ketiga di atas, peran pemerintah masih amat dibutuhkan khususnya dalam pengembangan UMKM. Kalau pemerintah tidak turun tangan, yang penulis khawatirkan perbankan akan semakin enggan mengembangkan akses kreditnya. 

Pemerintah dapat berbagi peran pengembangan akses kredit dengan menjaga kinerja UMKM tetap progresif, agar mereka juga mampu menjaga kelancaran sistem kredit. Dari sisi mikro, peran pemerintah dapat diwujudkan dengan pembinaan manajerial yang lebuh mumpuni bagi UMKM.  

Sedangkan dari sisi makro, pemerintah dapat menunjang dengan melakukan pengembangan infrastruktur, layanan birokrasi yang efektif dan efisien. Dengan demikian momentum amnesti pajak bisa menjadi landasan yang kuat untuk menggairahkan kembali investasi di beberapa sektor strategis. 

Dengan mulai progresifnya hasil penerimaan dari program amnesti pajak, pemerintah dan otoritas moneter memang perlu segera berembuk untuk menentukan langkah selanjutnya. 

Langkah BI untuk menurunkan suku bunga acuan serta OJK yang berupaya untuk terus menekan NIM sudah sangat sinkron dengan kebijakan pemerintah yang tengah concern terhadap pengembangan infrastruktur dan beberapa jenis deregulasi investasi.

Tidak hanya itu. BI juga meminta kalangan bank penerbit kartu kredit agar menurunkan tingkat suku bunga dari semula 2,95% menjadi 2,25% per bulan. Dan BI juga meminta perbankan menurunkan biaya transaksi antarbank yang saat ini dinilainya cukup tinggi. Ini menggambarkan kondisi perbankan khususnya penerbit kartu kredit masih beroperasi dengan tingkat bunga yang sangat tinggi. Apalagi bank asing yang beroperasi di negeri ini, memasang suku bunga kartu kredit rata-rata di atas 3% per bulan. Jelas, ini dapat menimbulkan problem NPL di kemudian hari. 

 

BERITA TERKAIT

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…