Tolok Ukur Amnesti Pajak

Tolok Ukur Amnesti Pajak
Program amnesti pajak sudah memasuki penghujung bulan ketiga, di mana tarif terendah 2%berlaku hingga 30 September 2016, ternyata cukup memikat para pengusaha. Padahal, sebelumnya sempat terseok-seok di awal, minim peserta, dan menuai protes karena dianggap salah sasaran, kini mulai menunjukkan hasilnya dalam bulan ini.  
Di akhir Agustus 2016, uang tebusan yang dikumpulkan hanya sekitar Rp 2,5 triliun, atau sepersepuluh pencapaian minggu ini yang menembus angka Rp 25 triliun. Di tengah jalan, sempat ada rumor program ini salah sasaran karena justru menyasar wajib pajak dalam negeri seperti karyawan dan pensiunan yang relatif sudah patuh. Meski cukup berhasil diredam, minimnya hasil repatriasi menjadi bukti awal bahwa program ini penuh tantangan berat.
Amnesti pajak yang digadang-gadang mampu menyasar dana yang dimiliki warganegara Indonesia yang diparkir di luar negeri sekitar Rp 4.500 triliun, yang merupakan potensi pajak mahabesar, tampaknya perlu dukungan banyak pihak.
Namun tantangan untuk mengejar dana besar itu tidaklah mudah. Indonesia memiliki berbagai keterbatasan untuk menjangkau dan mengejar dana itu, baik karena alasan regulasi, keterbatasan administrasi, maupun kompetensi. Alhasil, amnesti pajak dipandang sebagai jalan tengah yang mampu menjembatani dua kondisi faktual saat ini, antara besarnya potensi pajak dan ketidakmampuan memungut pajak secara efektif. 
UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak merumuskan beberapa tujuan, antara lain mempercepat pertumbuhan dan restrukturisasi ekonomi melalui pengalihan harta atau repatriasi, mendorong reformasi perpajakan menuju sistem perpajakan yang lebih berkeadilan melalui perluasan basis pajak, dan meningkatkan penerimaan pajak. Repatriasi memang menjadi tujuan utama di samping perluasan basis pajak.
Hal yang perlu mendapat perhatian justru masih minimnya dana hasil repatriasi yang diharapkan menjadi darah segar bagi perekonomian domestik. Hingga 23 September 2016, baru Rp 39,1 triliun dana repatriasi, jauh di bawah total harta yang diungkap yaitu Rp 1.637 triliun. Melihat kondisi hampir berakhirnya periode pertama (Juli-Sept) dan beberapa hambatan dari negeri jiran, kita patut waswas dan mulai menimbang prospek amnesti pajak dengan repatriasi yang minim.
Tak dimungkiri repatriasi Sri Mulyani dari AS menjadi menteri keuangan di bulan Juli 2016 menjadi faktor penentu membumbungnya sentimen positif bagi program amnesti pajak. Kita lihat program yang sekonyong-konyong diimplementasikan tanpa sosialisasi memadai ini centang perenang tanpa arah di tahap awal. Implementasi dan repatriasi menjadi tahap paling krusial dan membutuhkan pengawasan yang baik. Hadirnya Sri Mulyani yang terkenal percaya diri , berintegritas, kepemimpinan yang kuat, dan memahami detil persoalan menjamin pelaksanaan yang terarah.
Sayang sekali, hampir tidak ada kepemimpinan nasional yang menjadi payung kebijakan ini, yang sekaligus mengkoordinasikan, mengarahkan, dan menyinergikan segenap potensi agar memiliki arah yang fokus dan jelas. Pelaksanaan menjadi bersifat coba-coba ketika aturan teknis pun dicicil, berikut skema investasi yang bongkar pasang. Sinyal bahwa Pemerintah siap dengan aneka proyek yang siap dibiayai dan menjanjikan tak kunjung kelihatan. 
Janji manis insentif yang diharapkan memikat para pemilik dana tak tersedia secara mudah sehingga mendulang keraguan. Perbankan yang sudah getol sejak awal kini meredup semangatnya dan mulai realistis. Sri Mulyani dengan bekal profesionalitas dan kerja keras pun mulai keteteran. Praktik di lapangan ternyata tak seiring sejalan dengan harapannya. Sejak dia tinggalkan enam tahun silam, praktik tak ada pengembangan administrasi yang memadai dan berdaya dukung tinggi bagi kerja-kerja luar biasa.
Beruntung sentimen negatif yang sempat mengkhawatirkan dapat diredam. Birokrasi mulai bekerja di rel yang benar, sanggup menjadi pelayan yang baik, meski ada compang camping di beberapa hal. Aturan teknis tuntas meski beberapa perlu direvisi agar lebih realistis. Bahkan para pengusaha besar pun mulai berbondong-bondong ikut dan tanpa sungkan memublikasikan keikutsertaan mereka agar menarik calon peserta lain.
Meski demikian, sebaiknya kita tak lantas berpuas diri dan lengah. Jika diukur dari target awal, pencapaian ini masih jauh dari memuaskan. Ditambah gangguan Singapura yang suka tidak suka memperberat repatriasi. Maka di waktu sempit yang tersisa perlu diambil beberapa langkah cepat dan tepat. Karena itu, kondisi kondusif perlu dipertahankan hingga berakhirnya program amnesti pajak, yaitu 31 Maret 2017. Semoga!

 

Program amnesti pajak sudah memasuki penghujung bulan ketiga, di mana tarif terendah 2%berlaku hingga 30 September 2016, ternyata cukup memikat para pengusaha. Padahal, sebelumnya sempat terseok-seok di awal, minim peserta, dan menuai protes karena dianggap salah sasaran, kini mulai menunjukkan hasilnya dalam bulan ini.  

Di akhir Agustus 2016, uang tebusan yang dikumpulkan hanya sekitar Rp 2,5 triliun, atau sepersepuluh pencapaian minggu ini yang menembus angka Rp 25 triliun. Di tengah jalan, sempat ada rumor program ini salah sasaran karena justru menyasar wajib pajak dalam negeri seperti karyawan dan pensiunan yang relatif sudah patuh. Meski cukup berhasil diredam, minimnya hasil repatriasi menjadi bukti awal bahwa program ini penuh tantangan berat.

Amnesti pajak yang digadang-gadang mampu menyasar dana yang dimiliki warganegara Indonesia yang diparkir di luar negeri sekitar Rp 4.500 triliun, yang merupakan potensi pajak mahabesar, tampaknya perlu dukungan banyak pihak.

Namun tantangan untuk mengejar dana besar itu tidaklah mudah. Indonesia memiliki berbagai keterbatasan untuk menjangkau dan mengejar dana itu, baik karena alasan regulasi, keterbatasan administrasi, maupun kompetensi. Alhasil, amnesti pajak dipandang sebagai jalan tengah yang mampu menjembatani dua kondisi faktual saat ini, antara besarnya potensi pajak dan ketidakmampuan memungut pajak secara efektif. 

UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak merumuskan beberapa tujuan, antara lain mempercepat pertumbuhan dan restrukturisasi ekonomi melalui pengalihan harta atau repatriasi, mendorong reformasi perpajakan menuju sistem perpajakan yang lebih berkeadilan melalui perluasan basis pajak, dan meningkatkan penerimaan pajak. Repatriasi memang menjadi tujuan utama di samping perluasan basis pajak.

Hal yang perlu mendapat perhatian justru masih minimnya dana hasil repatriasi yang diharapkan menjadi darah segar bagi perekonomian domestik. Hingga 23 September 2016, baru Rp 39,1 triliun dana repatriasi, jauh di bawah total harta yang diungkap yaitu Rp 1.637 triliun. Melihat kondisi hampir berakhirnya periode pertama (Juli-Sept) dan beberapa hambatan dari negeri jiran, kita patut waswas dan mulai menimbang prospek amnesti pajak dengan repatriasi yang minim.

Tak dimungkiri repatriasi Sri Mulyani dari AS menjadi menteri keuangan di bulan Juli 2016 menjadi faktor penentu membumbungnya sentimen positif bagi program amnesti pajak. Kita lihat program yang sekonyong-konyong diimplementasikan tanpa sosialisasi memadai ini centang perenang tanpa arah di tahap awal. Implementasi dan repatriasi menjadi tahap paling krusial dan membutuhkan pengawasan yang baik. Hadirnya Sri Mulyani yang terkenal percaya diri , berintegritas, kepemimpinan yang kuat, dan memahami detil persoalan menjamin pelaksanaan yang terarah.

Sayang sekali, hampir tidak ada kepemimpinan nasional yang menjadi payung kebijakan ini, yang sekaligus mengkoordinasikan, mengarahkan, dan menyinergikan segenap potensi agar memiliki arah yang fokus dan jelas. Pelaksanaan menjadi bersifat coba-coba ketika aturan teknis pun dicicil, berikut skema investasi yang bongkar pasang. Sinyal bahwa Pemerintah siap dengan aneka proyek yang siap dibiayai dan menjanjikan tak kunjung kelihatan. 

Janji manis insentif yang diharapkan memikat para pemilik dana tak tersedia secara mudah sehingga mendulang keraguan. Perbankan yang sudah getol sejak awal kini meredup semangatnya dan mulai realistis. Sri Mulyani dengan bekal profesionalitas dan kerja keras pun mulai keteteran. Praktik di lapangan ternyata tak seiring sejalan dengan harapannya. Sejak dia tinggalkan enam tahun silam, praktik tak ada pengembangan administrasi yang memadai dan berdaya dukung tinggi bagi kerja-kerja luar biasa.

Beruntung sentimen negatif yang sempat mengkhawatirkan dapat diredam. Birokrasi mulai bekerja di rel yang benar, sanggup menjadi pelayan yang baik, meski ada compang camping di beberapa hal. Aturan teknis tuntas meski beberapa perlu direvisi agar lebih realistis. Bahkan para pengusaha besar pun mulai berbondong-bondong ikut dan tanpa sungkan memublikasikan keikutsertaan mereka agar menarik calon peserta lain.

Meski demikian, sebaiknya kita tak lantas berpuas diri dan lengah. Jika diukur dari target awal, pencapaian ini masih jauh dari memuaskan. Ditambah gangguan Singapura yang suka tidak suka memperberat repatriasi. Maka di waktu sempit yang tersisa perlu diambil beberapa langkah cepat dan tepat. Karena itu, kondisi kondusif perlu dipertahankan hingga berakhirnya program amnesti pajak, yaitu 31 Maret 2017. Semoga!

BERITA TERKAIT

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…