Menghindar Jebakan Utang

 

 

Oleh: Bhima Yudhistira Adhinegara

Peneliti INDEF

 

Utang luar negeri per Juli 2016 meningkat 6,4% secara tahunan. Namun, peningkatan utang lebih didorong oleh sektor Pemerintah salah satunya untuk pembiayaan infrastruktur. Sementara utang luar negeri swasta turun -3,4% terkait dengan belum pulihnya ekspor, pelemahan daya beli domestik, dan penurunan produksi pada sektor industri.

Soal utang memang cerita yang selalu berulang. Setiap tahun Pemerintah pusat menerbitkan utang untuk menutup defisit anggaran yang makin lebar. Lihat saja dalam RAPBN 2017, pembiayaan utang naik jadi Rp389 T dari APBNP 2016 sebesar Rp371,5 T atau naik 4,7%. Tapi semakin lama utang makin tidak produktif. Bahkan mulai merangkak jadi beban yang menghimpit kas Negara.

Indonesia jika tidak hati-hati mengelola utang bisa terjebak pada kondisi overhang utang alias penambahan utang terhadap PDB secara konsisten justru menurunkan pertumbuhan ekonomi. Carmen Reihart dan Kenneth Rogoff telah memberi wejangan agar Pemerintah hati-hati dalam menambah utang. Dan hal itu rupanya tidak di cermati Pemerintah. Hasilnya rasio Utang Luar Negeri terhadap PDB meningkat dari 26,5% di 2010 menjadi 36,1% di 2015.

Kinerja utang yang makin tidak produktif ditunjukkan oleh Debt to Service Ratio (DSR) yang terus meningkat dari 23,1% di tahun 2014 menjadi 29,1% di 2015. Jika menggunakan metode DSR Tier 2 atau modifikasi DSR ditambah utang dagang maka angkanya lebih tinggi lagi yaitu 61,7% di 2015, sedangkan di 2014 sebesar 51,7%.

Pembayaran bunga utang terus meningkat, pada APBNP 2016 tercatat Rp191,2 triliun, sementara di RAPBN 2017 naik jadi Rp221,4 triliun. Akibatnya defisit keseimbangan primer semakin lebar di angka Rp111,43 T. Pemerintah gali lubang tutup lubang, cuma kali ini lubangnya yang semakin besar.

Bagi sektor swasta cerita hampir sama. Ditengah lesunya perekonomian justru sektor industri diberi beban pembayaran bunga utang yang tinggi di dalam negeri. Rata-rata bunga pinjaman domestik 6,7-8%. Sementara rata-rata bunga di luar negeri 1,5-2%. Dengan kondisi itu swasta akhirnya memilih untuk meminjam ke luar negeri dengan bunga murah.

Tapi resiko yang dihadapi dengan meminjam keluar negeri tidak enteng. Karena pinjaman ke luar negeri menggunakan mata uang asing konsekuensinya jadi rentan terhadap fluktuasi nilai tukar. Tanpa dibekali hedging atau lindung nilai, sulit bagi swasta selamat dari fluktuasi kurs yang tak tentu.

Berbicara soal lindung nilai, ada 2.543 korporasi yang memiliki ULN dalam bentuk valas asing sedangkan yang melapor baru 85%. Lebih bahaya lagi ketika baru ada 59% perusahaan yang melakukan lindung nilai di tahun 2015 sesuai aturan BI. Untuk keluar dari jebakan utang perlu komitmen jangka panjang agar tidak masuk ke lubang yang makin dalam.

BERITA TERKAIT

Ekspor Nonmigas Primadona

Oleh: Zulkifli Hasan Menteri Perdagangan Neraca perdagangan Indonesia kembali mencatatkan surplus pada periode Februari 2024 sebesar USD0,87 miliar. Surplus ini…

Jaga Kondusivitas, Tempuh Jalur Hukum

  Oleh: Rama Satria Pengamat Kebijakan Publik Situasi di masyarakat saat ini relatif kondusif pasca penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Perspektif UMKM di Ramadhan

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Memasuki pertengahan bulan suci Ramadhan seperti ini ada dua arus perspektif yang menjadi fenomena…

BERITA LAINNYA DI

Ekspor Nonmigas Primadona

Oleh: Zulkifli Hasan Menteri Perdagangan Neraca perdagangan Indonesia kembali mencatatkan surplus pada periode Februari 2024 sebesar USD0,87 miliar. Surplus ini…

Jaga Kondusivitas, Tempuh Jalur Hukum

  Oleh: Rama Satria Pengamat Kebijakan Publik Situasi di masyarakat saat ini relatif kondusif pasca penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Perspektif UMKM di Ramadhan

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Memasuki pertengahan bulan suci Ramadhan seperti ini ada dua arus perspektif yang menjadi fenomena…