Teknis Amnesti Pajak

Program Amnesti Pajak pada hakikatnya merupakan usaha dari pemerintah Jokowi untuk meningkatkan kinerja ekonomi dari pemerintahan Kabinet Kerja, setelah pada tahun pertama (2015) berbagai target di bidang ekonomi tidak terpenuhi. Misalnya saja realisasi pendapatan negara Rp1.491,5 triliun yang hanya memenuhi 84,7% dari target APBN, serta realisasi pendapatan pajak sebesar Rp1.235,8 triliun, hanya memenuhi 83% dari target (Bank Dunia, Maret 2016).

Apabila menyimak isu amnesti pajak dalam perspektif kebijakan publik dari segi formulasi  dan pelaksanaannya. Kebijakan ini tampaknya belum optimal diimplementasikan. Pasalnya, hingga 13 September 2016, dana tebusan baru terkumpul Rp9,31 triliun dari target Rp165 triliun, sedangkan dari target Rp1000 triliun modal yang direpatriasi, baru terwujud Rp19,1 triliun.

Dalam memformulasikan kebijakan publik tentu framing dan narasi dari kebijakan, harusnya dapat menentukan keefektifan dari sebuah kebijakan Rancangan Undang- Undang Tax Amnesty  yang dibahas di DPR  sejak awal 2016, narasi kebijakan difokuskan pada repatriasi aset bagi para konglomerat-konglomerat Indonesia yang diduga banyak menyimpan asetnya di luar Indonesia.

Selain itu, juga formulasi kebijakan dipengaruhi oleh sebuah momentum atau peristiwa politik sebagai pendorong munculnya sebuah kebijakan. Momentum kebijakan tax amnesty didorong oleh dua hal, yakni timbulnya fenomena global Panama Papers dan masuknya Partai Golkar dalam koalisi pendukung pemerintah. Peristiwa Panama Papers awal April 2016, menampilkan dokumen yang bocor dari kantor pengacara besar berbasis di Panama Mossack Fonseca.

Sebanyak 11,5 juta data dari tahun 1970 hingga 2015 dibocorkan. Data-data tersebut memberikan gambaran bagaimana dunia offshore bekerja, di mana berbagai transaksi dana berjumlah besar disembunyikan sehingga menimbulkan modus manipulasi data untuk menghindari pajak dari negara asal.

Di Indonesia sendiri lebih dari 800 tokoh kebanyakan adalah pengusaha besar disebut terlibat dalam Panama Papers. Momentum Panama Papers tersebut dimanfaatkan oleh pemerintah untuk mendorong disetujuinya RUU Tax Amnesty. Menteri keuangan saat itu Bambang Brodjonegoro berjanji akan menggunakan data dari Panama Papers sebagai data pembanding yang dimiliki Kementerian Keuangan untuk mengidentifikasi para pengemplang pajak.

Kemudian pada tahap eksekusi dari kebijakan tax amnesty, pemerintah Jokowi mulai menghadapi hambatan yang tidak ringan. Skala pekerjaannya tentu saja jauh lebih besar dibandingkan hanya meyakinkan sebagian besar dari 560 anggota DPR yang mendukung RUUTax Amnesty.

Hal ini mencakup sekitar 6.000 individu yang menguasai aset sebesar Rp11.000 triliun, atau lebih dari nilai PDB Indonesia, menurut menkeu saat itu.  Tentu saja instrumen kebijakan serta kesiapan infrastuk t u r khususnya pada Direktorat Pajak yang perlu dipersiapkan akan lebih kompleks dan membutuhkan waktu yang tidak singkat. Terlebih tax amnesty hanya berlaku kurang dari dua tahun hingga Maret 2017 mendatang.

Sepertinya pemerintah belum memperoleh framing dan narasi kebijakan tax amnesty yang efektif, khususnya terhadap pemilik modal tersebut. Presiden Jokowi sendiri sudah turun tangan langsung dalam menyampaikan sosialisasi mengenai tax amnesty dengan didampingi oleh para menteri di bidang ekonomi dengan pesan menggugah nasionalisme para pemilik modal besar tersebut, untuk memulangkan modalnya dari luar negeri ke Indonesia.

Totalitas dari Presiden Jokowi dalam melakukan sosialisasi sepertinya tidak dapat diimbangi oleh kesiapan pejabat pelaksana serta infrastruktur di Direktorat Pajak untuk menindaklanjuti  janji presiden. Menkeu Sri Mulyani Indrawati mengakui bahwa jajarannya di direktorat pajak kewalahan untuk melayani antusiasme calon peserta tax amnesty, dimulai dari call center yang tidak siap dan para staf yang harus bekerja hingga akhir pekan.

Mengingat pengalaman suksesnya melakukan reformasi birokrasi di Kemenkeu termasuk Direktorat Pajak saat menjabat menkeu di tahun 2005-2010 dan baru saja diangkat kembali sebagai menkeu akhir Juli 2016, Sri Mulyani beranggapan bahwa idealnya reformasi institusi perpajakan direformasi terlebih dahulu sebelum kebijakan pengampunan pajak diluncurkan sehingga tidak ada kesan terburu-buru.

Apalagi UU Tax Amnesty saat itu belum dilengkapi dengan berbagai aturan teknis pelaksanaannya baik dalam bentuk peraturan pemerintah, peraturan Kemenkeu atau pada tingkat Direktorat Pajak. Tidak heran program tax amnesty sempat membuat resah kalangan menengah bawah, terkait besarnya dana tebusan yang harus dibayarkan atas aset yang belum dilaporkan sebelumnya. Akibatnya kontrol narasi kebijakan tax amnesty oleh pemerintah sempat tenggelam dalam reaksi negatif.

 

BERITA TERKAIT

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…